Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang tinggal tersisa waktu kurang dari 2 tahun, Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal kesiapan dan harmonisasi standardisasi produk.
Padahal, Indonesia tidak memiliki pilihan selain harus ikut serta dalam arus perdagangan bebas regional guna meraih peluang ekspor lebih besar di pasar global, yang selalu berlaku prinsip survival of the fittest, di mana hanya yang kuat yang dapat bertahan hidup.
Ketertinggalan Indonesia tersebut terlihat dari minimnya jumlah perjanjian standardisasi yang telah diratifikasi maupun kesesuaian standar produk, terutama kelompok produk dari sektor-sektor yang akan diintegrasikan di level regional Asean.
Saat ini, terdapat 12 sektor prioritas yang yang telah disepakati untuk diintegrasikan (priority integration sectors/PIS), yakni produk berbasis agrikultur, produk berbasis karet, produk berbasis kayu, produk otomotif, produk kesehatan, produk elektrikal dan elektronik, produk tekstil, produk perikanan, jasa perjalanan udara, pariwisata, e-Asean, dan logistik.
Dari 12 PIS tersebut, ada enam kelompok produk yang telah selesai dibahas di forum Asean Consultative Committee on Standards and Quality (ACCSQ) terkait dengan aspek standardisasi dan penilaian kesesuaian. Keenam kelompok produk itu adalah otomotif, kesehatan, karet, elektronik, kayu dan produk agrikultur.
Namun, dari enam kelompok produk itu, Badan Standardisasi Nasional (BSN) sejauh ini baru memfokuskan standardisasi pada empat produk yakni produk elektronik, kesehatan, kayu, dan karet. Sayangnya, dari keempat kelompok itu, hanya standardisasi produk elektronik saja yang dinilai cukup kuat untuk membentengi pasar domestik dari serbuan barang impor.
Adapun, untuk produk kesehatan termasuk kosmetik, farmasi, obat tradisional, dan alat medis— Indonesia baru meratifikasi satu dari empat perjanjian terkait dengan standardisasi, yaitu soal kesepakatan inspeksi di pabrik.
Kepala BSN Bambang Prasetya mengakui standardisasi merupakan competitive tool yang krusial dan instrumen yang paling tepat untuk memfasilitasi perdagangan yang fair, termasuk memperjuangkan ke pentingan nasional. “Jadi SNI berperan sebagai protektor sekaligus penguatan produk dalam negeri,” ujarnya akhir pekan lalu.
Kendati demikian, Bambang mengakui upaya untuk mempercepat penyesuaian standardisasi sebelum implementasi MEA, selama ini terkendala oleh minimnya sinkronisasi antarkementerian teknis.
“Memang ada keterbatasan, karena kami ber gantung pada panitia teknis di kementerian,” ujarnya.
Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Riza Damanik berpendapat bahwa dengan semua kondisi itu, Indonesia sulit mengejar ketertinggalannya.
Sumber : Bisnis Indonesia (3/3/2014)
http://m.bisnis.com/bisnis-indonesia/read/20140303/244/207265/siapkah-indonesia-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-2015