JAKARTA, kabarbisnis.com: Sejumlah koalisi organisasi non pemerintah (Ornop) yang bernama Aliansi untuk Kedaulatan Pangan memberikan tujuh catatan kritis sebagai respon pembentukan Kabinet Bekerja Jokowi-Kalla dibidang pertanian dan kelautan-perikanan selama lima tahun mendatang.
Petisi itu dicetuskan Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Riza Damanik dari Indonesia for Global Justice (IGJ), dan Martin Hadiwinata, Koalisi Rakyat untuk Keadilan perikanan (KIARA) di Jakarta, Senin (27/10/2014).
Sebagai catatan pertama, Riza Damanik, mengatakan, adanya sinyal agenda liberalisasi pangan akan makin massif, Ini berbagai perjanjian perdagangan yang sudah dilakukan Indonesia diantaranya WTO,Asean Economic Community.Kesepakatan yang akan mefasilitasi masuknya perusahaan ke Indonesia, termasuk sektor pangan.
Untuk catatan kedua, menurut Riza, pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan akan dilakukan dengan pendekatan pasar. Pendekatan pasar yang berorientasi pada tingginya produksi telah meminggirkan peran perempuan dalam pertanian dan menghancurkan sistem pengelolaan pangan.
Hadirnya pemimpin yang berlatar belakang pengusaha diyakini akan memperberat jeratan pasar/korporasi pada sendi kehidupan petani. Korporasi pangan telah terbukti mengontrol produksi benih. Akibatnya petani kehilangan kedaulatan akan benih.
Saat ini, 10 perusahaan benih multinasional saat ini mengontrol 73% pasar benih komersial dunia, meningkat dari hanya 37% di tahun 1995. “Seperti, Monsanto, East west seed, Dupont, Syngenta, dan lain sebagainya,” terang Riza mencontohkan.
Ketiga, sambung Said Abdullah, Mentan dari kalangan pengusaha akan semakin mendorong lebarnya jarak antara kepentingan pemimpin dan petani. Hal ini karena ketidakhadiran pemimpin disektor pertanian yang mampu memahami kebutuhan dan budaya petani.
“Begitu pula pengusaha perikanan yang akan dikhawatirkan akan tetap menciptakan rantai nilai yang panjang sehingga tidak menyejahterakan nelayan tradisional,” tambah Martin Hadiwinata.
Untuk catatan keempat, lanjut Said, kedaulatan pangan yang menekankan pada kedaulatan petani dan nelayan tidak akan tercapai karena subyek pembangnan pertanian Indonesia akan diarahkan pada korporasi yang memasifkan industrialisasi pangan. Korporasi yang berorientasi kepada pencarian keuntungan sebesar-besarnya sangat bertentangan dengan konsep petani.
Sebagai subjek pembangunan,petani berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari, pelestarian benih dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
Sebagai landasan utama pencapaian demokrasi ekonomi, kemakmuran petani dan kedaulatan pangan adalah dilaksanakannya reforma agraria. Sesuai visi misi JKW-JK,berkomitmen melaksanakan Reformasi Agraria melalui akses dan asset reform, terkait menyerahkan 9 juta ha tanah kepada petani tak bertanah, buruh tani dan kepemilikan tanah petani yang gurem menjadi 2 ha per keluarga.
Dengan latar belakang Mentan sebagai pengusaha pertambangan dan kelapa sawit yang membutuhkan lahan luas, maka program ini niscaya akan sulit dilaksanakan.
Adapun catatan ke enam, Said juga menduga akan terulangnya kembali kegagalan pembangunan pertanian akibat revolusi hijau yang mengakibatkan hancurnya agroekosistem mandegnya produksi pangan, rendahnya kesejahteraan petani. Pembangunan model korporasi sarat input luar dan racun nampaknya akan dilakukan jika kementerian tetap diisi oleh pengusaha.
Sebagai catatan terakhir,adalah munculnya potensi konflik kepentingan dengan latar belakang dan posisi Amran Sulaiman sebagai pengusaha di berbagai bidang, termasuk 10 bidang perusahaan di dalamnya. Aliansi untuk Kedaulatan Pangan menilai ,dengan pemilihan figur Mentan dan MKP seperti itu hanya akan menempatkan petani sebagai obyek dan alat produksi yang tak berdaulat dan tak mulia.
“Presiden telah mengambil sikap memunggungi petani, meninggalkan petani yang menjadi kelompok terbesar memilihnya ketika pemilu presiden lalu,” pungkasnya.kbc11
sumber :
http://www.kabarbisnis.com/read/2851797#.VE9aGH-tX0M.twitter