Izin pertambangan jadi salah satu kebijakan yang harus segera dibenahi
Senin, 13 Oktober 2014, 17:25 Siti Nuraisyah Dewi, Daru Waskita (Yogyakarta)
VIVAnews – Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015. Berbagai kebijakan harus dibenahi oleh pemerintah, agar masyarakat turut merasakan dampak positif dari MEA dan tidak menjadi korban atas diberlakukannya MEA.
Salah satu kebijakan yang segera harus dibenahi pemerintah adalah, dalam bidang perijinan pertambangan yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
Izin yang dikeluarkan pemerintah saat ini, ditengarai justru mengancam pembangunan lingkungan berkelanjutan.
Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Pratikno, mengatakan dalam daftar Resource Governance Index yang dirilis pada 2013, Indonesia berada di peringkat 14 dari 58 negara yang disurvei untuk urusan tata kelola sumber daya alam (SDA). Bahkan, posisi Indonesia masih di bawah Timor Leste yang menempati peringkat 13.
Beberapa daerah di Indonesia diketahui memiliki sumber daya alam berlimpah, tetapi karena praktik sistem tata kelola pemerintahan yang buruk, menjadikan warga sekitar yang seharusnya mendapatkan limpahan dari ‘keberkahan’ itu tidak mendapatkan dampak ekonomi, bahkan terjadi ketidakadilan ekonomi dan konflik sosial.
“Dampak yang kerap ditimbulkan dari kegiatan pertambangan umumnya marjinalisasi masyarakat adat, konflik horizontal dan kerusakan lingkungan. Yang paling banyak merasakan dampak dari ketiganya, adalah masyarakat lokal,” katanya, Senin 13 Oktober 2014.
Menurutnya, daerah yang memiliki SDA mampu mendorong tumbuhnya industri ekstraktif. Industri itu mampu mengundang investor, terkumpulnya perputaran uang dalam jumlah besar, dan memberi peluang bagi masuknya teknologi maju.
Sangat disayangkan, manfaat dari industri ekstraktif ini hanya dirasakan oleh segelintir elit politik dan elit ekonomi lokal.
“Demokrasi ekonomi menjadi tidak jalan, keuntungan yang didapat seharusnya bisa memberdayakan mayarakat,” jelasnya.
Pratikno berpendapat, pembangunan ekonomi dari kegiatan ekstraktif seharusnya banyak melibatkan partisipasi masyarakar sekitar.
Adapun masyarakat sipil dan akademisi juga perlu mengawasi dampak sosial dan lingkungan yang kemungkinan bisa muncul di kemudian hari.
“Satu sisi kita mendorong pembangunan ekonomi, di sisi lain juga perlu mengerem masalah lingkungan. Semuanya butuh inovasi dan kreativitas,” ujarnya.
Guru Besar Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM, Purwo Santoso, mengatakan desentralisasi membawa peran yang lebih luas bagi pemerintah daerah dalam mengelola urusan di bawah kewenangannya, termasuk di sektor ekstraktif seperti pertambangan, migas, kehutanan dan perikanan.
Menjelang diberlakukan MEA, kata Purwo, pemerintah dan tokoh lokal mau tidak mau harus berwawasan keluar, karena pemimpin lokal menjadi pelaku penting dalam memberikan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang dipimpinnya. (asp)
© VIVA.co.id