JAKARTA – Pemerintahan Jokowi-JK bertindak teledor. Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No 16/2015 yang merupakan revisi Permenaker 12/2013 tentang Tata Cara Penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak memasukkan syarat wajib berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing.
Sejumlah elemen masyarakat menyesalkan keputusan pemerintah itu. Pasalnya dengan kewajiban TKA menguasai bahasa Indonesia akan melindungi tenaga kerja domestik dari ancaman arus liberalisasi.
‘’Jika pencabutan ini benar dilakukan pemerintah, pemerintahan Jokowi-JK, sudah mempraktikan liberalisasi yang melilit negara ini. Maka sangat kami sesalkan keteledoran ini,’’ kata Niko Amrullah, Koordinator Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ), dalam siaran persnya kepada Suara Merdeka, kemarin.
Bila merujuk data Komisi Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) 2008, indikator utama yang mempengaruhi kelangsungan investasi di Indonesia adalah tata kelola ekonomi daerah khususnya perizinan. ‘’Tidak relevan bilamana bahasa Indonesia dijadikan alasan penghambat investasi asing.’’
Di sisi lain Badan Pusat Statistik (BPS) merilis tingkat pengangguran usia muda (15-24 tahun) menunjukkan peningkatan dari angka 19.62 orang di 2012 menjadi 22.20 (2014). Lebih jauh, Tingkat pekerja berupah rendah pun semakin bertambah dari 30.17 (2011) menjadi 32.19 (2014). Bertambahnya tingkat pekerja berupah rendah, maka semakin rendah pula daya saing tenaga kerja domestik.
Sulit Berkomunikasi
Sementara, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia ( OPSI), Timboel Siregar mengungkapkan, revisi tersebut tidak bijak dan berpotensi memperburuk hubungan industrial. Persyaratan bisa berbahasa Indonesia bagi TKAadalah penting dalam bekerja mengingat mayoritas berbahasa Indonesia.
‘’TKA tersebut akan sulit berkomunikasi dan akibatnya akan kontraproduktif. Bila TKA yang menjadi atasan yang punya anak buah, akan sulit berkomunikasi dan perintah kerja akan berpotensi menjadi bias dan kecenderungan yang akan disalahkan pekerja Indonesia. Ini tidak adil,’’kata Timboel.
Jadi kalau Jokowi menghapus persyaratan TKA bisa berbahasa Indonesia maka hal ini akan berpotensi menjadi masalah di tempat kerja dan berpotensi meningkatkan permasalahan hubungan industrial di tempat kerja. ‘’Presiden Jokowi hanya berpikir tentang mudahnya investasi masuk yang berkorelasi dengan masuknya TKA dengan mudah.
Aturan ttg persyaratan bisa berbahasa Indonesia dipandang akan mempersulit masuknya Investasi karena TKA nya akan sulit bekerja di Indonesia. Ini pemikiran yang salah. Pemerintah hanya berorientasi pada investasi tanpa memikirkan eksistensi pekerja kita,” pungkas Timboel.( F4-90)