Bisnis Indonesia, Jakarta 11 September 2015. Peningkatan daya saing industry untuk menggenjot kinerja ekspor melalui paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah pada Rabu (9/9) lalu, dikhawatirkan hanya menjadi langkah normative.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan dengan kondisi kemacetan bisnis dan penurunan daya beli saat ini, pemerintah mesti melakukan terobosan konkret.
“Sekarang pemerintah paham enggak terkait dengan masalah daya saing. Kalau enggak paham, bagaimana bisa menentukan apa yang harus dilakukan,” kata Enny pada Bisnis, Kamis (10/9).
Pemerintah, lanjutnya, berencana melakukan deregulasi dan debirokrasi regulasi, tetapi regulasi yang dimaksud masih belum jelas. Selain itu, eksekutor harmonisasi deregulasi tersebut juga tidak jelas.
Dalam rencana stimulus yang akan dilakukan dalam beberapa tahap tersebut, seharusnya yang menjadi stimulus pertama adalah permasalahan yang dianggap paling mendesak untuk segera dilakukan.
Adapun yang dilakukan saat ini, kembali ke permasalahan umum. “Ketika pemerintah memetakan persoalan saja tidak bisa, bagaimana meyakinkan pasar bahwa pemerintah mampu mengelola ekspetasi pasar, mampu menyelesaikan persoalan?”
Ketua Umum Asosiasi Perstektilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai rencana deregulasi yang diwacanakan pemerintah masih belum jelas.
Ade menyebukan pihaknya sama sekali tidak pernah diajak untuk membahas masalah apa saja yang menhambat daya saing di sector tekstil dan produk tekstil (TPT).
Menurutnya, permasalahan paling mendesak diselesaikan pemerintah untuk meningkatkan daya saing industry tekstil seharusnya adalah menurunkan biaya energi sehingga industry dalam negeri bisa kembali kompetitif.
Dari sector regulasi, penyederhanaan impor bahan baku juga diperlukan. Selama ini, kebutuhan bahan baku impor untuk sector ini masih cukup tinggi.
Dengan kondsi saat ini, Ade memperkirakan kinerja ekspor untuk TPT tidak akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu.
“Pelemeahan ekonomi tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga dinegara-negara lainnya yang menjadi Negara tujuan ekspor tekstil Indonesia. Ini menyebabkan permintaan dari luar negeri juga melemah.”
Orientasi Ekspor
Ketua Komite Tetap Industri Pengelolaan Makanan dan Minuman Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Thomas Darmawan mengatakan untuk meningkatkan ekspor Indonesia, pemerintah bisa mengembangkan sector pertanian dan perikanan yang berorientasi ekspor.
“Dengan keterbatasan saat ini, saya lebih setuju kalau kita focus pada produk yang renewable dan punya sustainable, seperti pertanian atau perikanan. Itu bisa dikembangkan dengan bagus.” Kata Thomas.
Sektor tersebut, menurutnya, lebih menjanjikan dibandingkan dengan pengembangangan industry berorientasi ekspor, seperti elektronik, yang saat ini sudah mencapai titik jenuh.
Produk-produk tersebut memiliki siklus hidup yang pendek. Dengan kondisi saat ini, dimana permintaan masih lesu, timbul oversupply atau pasokan berlebih.
Menurutnya, kerjasama antara Negara-negara produsen, khususnya yang berada dikawasan Asean, bisa menjadi salah satu langkah untuk mendongkrak harga-harga komoditas tersebut.
Manajer Riset dan Pusat Pengetahuan Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti berharap pemerintah tidak hanya menyiapkan strategi jangka pendek sebagai langkah pemulihan kinerja ekspor nasional.
“Persoalan efektif atau tidaknya kebijakan yang diambil, itu terkait pasar. Persoalannya, sampai hari ini saja, mayoritas produk ekspor andalan kita ini masih didominasi barang-barang ekstraktif yang justru terjadi penurunan. Mau kita cek dari kapan pun, konsepsinya selalu negatif,” kata Rachmi.**
File Berita : Bisnis Indonesia 110915