Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Joko Widodo diminta untuk tidak membahas keterlibatan Indonesia dalam Trans Pacific Partnership (TPP) saat berkunjung ke Amerika Serikat (AS) pada 24-26 Oktober 2015.
Indonesia for Global Justice (IGJ) berpendapat TPP merupakan suatu mega trading blok yang mendorong kerja sama perdagangan bebas dan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang mewakili 40% kekuatan ekonomi dunia.
Pada 5 Oktober 2015, TPP yang dikomandoi AS telah mencapai kesepakatannya dan menyatukan 12 negara, diantaranya Australia, Brunei Darussalam, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika, dan Korea Selatan.
“Berdasarkan pengalaman sebelumnya, implementasi perjanjian perdagangan bebas menjadikan Indonesia hanya sebagai pemasok bahan mentah dan menjadi pasar impor bagi produk barang dan jasa negara lain,” papar IGJ dalam siaran pers, Selasa (21/10/2015).
Jika Indonesia bergabung dengan TPP maka tidak banyak peluang yang bisa diraih Indonesia dalam meningkatkan kinerja perdagangannya, khususnya ditengah situasi pelemahan ekonomi global hari ini.
Hal ini didukung dengan data perdagangan Indonesia dengan ke-12 negara anggota TPP, 80% diantaranya terus mengalami kecenderungan negatif dari seluruh total perdagangan.
Neraca perdagangan Indonesia terus menunjukan defisit, seperti dengan Australia, Brunai, Chille, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Singapura, Korea Selatan, dan Vietnam.
Lebih lanjut, IGJ berpendapat TPP juga menerapkan standar kewajiban hukum yang lebih tinggi dan ketat, dan memaksa negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasional dengan standar TPP, yang merupakan standar AS.
“Ini sama saja seperti kita mengimpor seluruh regulasi AS ke Indonesia. Celakanya, TPP juga meliberalisasi sektor penggadaan pemerintah (government procurement).”