Proses negosiasi perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia sebagai bagian dari ASEAN dengan enam negara maju yang dikenal dengan RCEP atau Regional Comprehensive Economic Partnership tengah berlangsung di Serpong sampai Jumat (10/12) nanti. Kalangan aktivis mengatakan negosiasi ini tidak transparan dan lebih banyak merugikan.
Rencana Presiden AS terpilih Donald Trump untuk membatalkan keikutsertaan Amerika Serikat dalam perjanjian perdagangan bebas lintas Pasifik, Trans-Pacific Partnership (TPP) ternyata berpengaruh pada Indonesia.
Indonesia, yang awalnya ingin bergabung dengan TPP, kini harus mengalihkan harapannya pada proses RCEP untuk meraih pasar yang luas di beberapa negara bagi barang dan jasa asal Indonesia, kata Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Affandi Lukman.
“Dari sisi PDB, dari sisi ukuran pasar, itu cukup besar, dibandingkan dengan Indonesia hanya dengan ASEAN, kalau Indonesia hanya bilateral saja, tapi kalau itu Indonesia sebagai bagian dari regional, 16 negara, dengan jumlah populasi yang juga penduduk India, penduduk Cina, itu menciptakan pasar peluang bagi negara-negara di luar RCEP untuk datang, harapannya, ke Indonesia,” kata Rizal.
Sejak 2013, Indonesia dan negara ASEAN sudah melakukan perundingan kerja sama perdagangan dengan enam negara mitra, yaitu Cina, Australia, Selandia Baru, India, Jepang, dan Korea. Rencananya perjanjian kerjasama dagang ini akan disepakati pada 2017.
Namun keuntungan yang dikejar pemerintah lewat perjanjian ini, menurut Rachmi Hertanti, direktur eksekutif Indonesia for Global Justice, harus diwaspadai.
“Ada paradigma yang seharusnya diubah, ada sektor-sektor yang akan mendapat keuntungan, tapi saya tak bisa mengatakan bahwa seluruhnya akan menguntungkan Indonesia.
“Model perdagangan bebas hari ini sudah sangat jauh melampaui aktivitas perdagangan ekspor impor barang semata. Karena kan kita tidak tahu ya, bagaimana proses perundingannya, transparansi informasinya, kita juga tidak tahu apa yang sedang dirundingkan pemerintah, bagaimana pemerintah melakukan pertahanan informasi dan sebagainya,” kata Rachmi.
Menurutnya perjanjian ini sudah “terlalu luas masuk dalam ranah kebijakan negara”, sehingga negara “dibatasi” dalam membuat aturan perundang-undangan “agar tidak bertentangan” dengan kepentingan investor.
“Misalnya kenaikan upah buruh kalau dirasa merugikan investor maka pemerintah bisa dengan mudahnya digugat,” kata Rachmi.
Namun hal ini dibantah oleh Rizal. Menurutnya, aturan upah buruh yang ada sekarang justru sudah lebih jelas dalam menjelaskan komponen serta formula kenaikan yang bisa diterima oleh pengusaha.
Selain itu, Rizal juga mengatakan bahwa proses pemberian masukan serta konsultasi terhadap negosiasi sudah cukup terbuka dengan mengundang asosiasi industri dan profesi.
Meski begitu, pandangan Rachmi akan kerugian yang mungkin timbul akibat perjanjian perdagangan bebas tersebut dibenarkan oleh pengamat ekonomi Enny Sri Hartati dari INDEF. Tetapi, dalam pandangannya, ada cara agar perjanjian perdagangan RCEP kelak bisa membawa manfaat positif.
“Jadi misalnya, Cina kerjasama dengan Indonesia, mereka sudah mengidentifikasi di mana potensi-potensi ekonomi yang bisa mereka kerjasamakan, Indonesia punya apa, mereka punya apa, dan berapa penetrasi pasarnya ketika mereka membuka kerjasama dengan Indonesia.
“Katakanlah mereka akan memberi dispensasi bagi ekspor Indonesia, tapi untuk yang jumlahnya kecil, sementara mereka akan berjuang untuk mendapatkan dispensasi dari Indonesia tapi untuk produk-produk mereka yang memang nilainya sangat besar,” kata Enny
“Mengapa Indonesia tidak melakukan kajian yang komprehensif dan mendalam,” katanya lagi.
Pada Oktober 2015 lalu, Presiden Jokowi saat jumpa pers bersama Presiden Obama di Gedung Putih mengungkapkan keinginan Indonesia akan bergabung dalam Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Dengan nasib TPP yang masih belum jelas di bawah Trump, Indonesia kini punya alternatif.
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38225350