JAKARTA-Anggota Komisi VII DPR, Mercy Chriesty Barends melihat banyak persoalan perdagangan dan investasi yang merugikan kepentingan negara dan rakyat Indonesia.
Salah satu isi dari perjanjian perdagangan ini yaitu tidak mengijinkan alih teknologi. Artinya, sampai mati, Indonesia akan terus bergantung pada negara-negara maju. “Kami menolak dengan keras bagian isi perjanjian yang tidak memungkinkan investasi tanpa alih teknologi, pemberlakuan TRIP-Plus yang menghalangi masuknya obat-obatan generik dengan harga murah dan terjangkau, dan rekrutmen tanaga kerja asing besar-besar-besaran dalam suatu investasi dengan mengabaikan tenaga kerja lokal,” ujar Mercy Barends saat menjadi salah satu Narasumber dalam kegiatan Diskusi Panel Ahli tentang Perundingan RCEP dan Tantangannya di Ruang KK1 Gedung Nusantara DPR RI dalam keterangan di Jakarta, Jumat (9/12).
Diskusi panel ini juga menghadirkan panelis lainnya yaitu Charles Santiago, Anggota DPR Malaysia;Ketua APHR, Shally Gupta, Peneliti Doctor Without Boarder, MSF dan Sanya Reid Smith, Peneliti South Centre, Indonesia Global Justice (IGJ), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Green Economic Caucus (GEC) DPR RI dan Asean Parlementarians for Human Right (APHR).
Adapun diskusi panel ini digelar menyikapi putaran ke-16 perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebuah blok mega perjanjian perdagangan regional dengan China sebagai motor penggerak terbesar yang melibatkan 10 negara Asean termasuk Indonesia, China, India, Korea Selatan, New Zealand, Jepan dan Australia.
Mercy menjelaskan, perjanjian perdagangan ini akan berdampak massive di hampir 50% penduduk dunia, 30% ekonomi dunia menguasai pasar dunia 3.4 milyar penduduk dengan total GDP 21.4 trilyun US$.
Hal ini melahirkan kekhawatiran. Apalagi, negosiasi RCEP sangat tertutup, tidak transparan dan tidak memberi ruang bagi masyarakat dan berbagai pihak terkait lainnya untuk memberi masukan demi kepentingan rakyat. Bahkan dari 16 putaran negosiasi hanya 3 diantaranya yang membuka ruang partisipasi publik. “Selebihnya, tertutup,” ungkapnya.
Lebih jauh, Mercy melihat beverapa pasal perjanjian yang berkaitan dengan barang, jasa dan investasi cenderung merugikan Indonesia. Pasalnya, negara yang menandatangani perjanjian tidak bisa merubah atau membuat UU baru yang bertentangan dengan isi perjanjian. Ini artinya, negara dapat dituntut dan kehilangan ruang kebijakan publik,” tuturnya.
Bahkan ujar Mercy, negara atau korposasi yang melakukan investasi di suatu negara tertentu dapat membawa tenaga kerja murah dari negara asalnya. Ini artinya, pasar tenaga kerja nasional akan rusak dan angka pengangguran semakin tinggi,” imbuhnya.
Kerugian lainnya yang bakal diderita Indonesia urainya pemberlakuan pemotongan tarif import. Dengan aturan ini, Indonesia hanya akan menjadi pasar produk negara lain, khususnya barang-barang China dengan kwalitas rendah,” terangnya.
Politisi PDI Perjuangan ini melanjutkan prinsip Sustainable Development yang mencakup penghargaan atas lingkungan hidup, HAM dan social justice tidak bersifat binding (mengikat). Hal ini membuat rakyat kecil akan dirugikan dan pemberangusan atas hak hidup dan hak adat masyarakat.
Bahkan di bidang kesehatan lebih parah lagi, karena pemberlakuan TRIP-Plus (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Right) menjamin pemegang hak patent obat-obatan untuk menghalangi obat-obat generik masuk pasar obat-obatan nasional/lokal. Sementara ribuan Puskesmas, rumah sakit rujukan, pelayanan BPJS menggunakan hampir 90% obat2 generik. “Jadi, RCEP ini berdampak terhadap hidup dan matinya rakyat kecil di Indonesia. Rakyat kecil akan sulit mendapat obat-obat generik yang murah dan terjangkau,” tuturnya.
Karena itu, Mercy Barens meminta DPR dan pemerintah yang terkait dengan isi perjanjian RCEP sudah harus memastikan untuk memasukan Human Right Impact Assessment (HRIA) sebagai mandatory step diawal sebelum perjanjian perdagangan bebas ini ditandatangi. “Memastikan proses negosiasi berlangsung transparan dengan melibatkan partisipasi publik untuk memberikan masukan dan saran untuk menjamin kepentingan masyarakat,” pintanya.
“Kami juga ingin memastikan Investor-State Despute Setllement (ISDS) atau proses Penuntutan Perkara Antara Investor-Negara melalui Arbitrase Internasional tidak merugikan kedaulatan negara, tidak mengabaikan ketentuan perundang-undangan nasional, HAM, hak masyarakat adat,” pungkasnya.