Jakarta, Aktual.com – Indonesia for Global Justise (IGJ) menilai kedatangan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dengan CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson untuk menyelesaikan proses negosiasi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia.
Hal ini dikarenakan, solusi yang dihasilkan masih memberikan keistimewaan bagi Freeport ketimbang menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar RI 1945 dan UU Minerba No.4 Tahun 2009.
Pertemuan Menteri ESDM dengan Freeport McMoran di Houston, AS, kata dia, memang mencari titik temu mengenai empat isu krusial, yakni tentang perpanjangan masa operasi PT FI, pembangunan fasilitas pemurnian, divestasi saham, dan ketentuan fiskal.
“Tapi pertemuan itu masih jauh dari keberhasilan dalam perspektif masyarakat sipil karena antara lain, proses itu tidak menunjukkan adanya terobosan baru dalam sikap pemerintah terhadap Freeport,” ujar Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Indonesia for Global Justic (IGJ), Budi Afandi dalam keterangan yang diterima, Minggu (30/7).
Selanjutnya, dia menegaskan, negosiasi yang dilakukan pemerintah juga jauh dari keterbukaan pada publik, negara dan korporasi seakan tidak merasa perlu bersikap transparan.
Ia mencontohkan, isu pembangunan smelter yang menjadi kewajiban perusahaaan tambang seharusnya sudah selesai dengan pengaturan Permen ESDM No.1 Tahun 2014. Apalagi untuk menunjukkan komitmen dalam membangun smelter itu sudah diatur sebelumnya, namun tetap tidak dipenuhi.
“Lalu apa yang dimaksud dengan kesepakatan pembangunan smelter sekarang? Apa kembali ke model lama yang hanya dengan memberikan dana jaminan kesungguhan untuk pembangunan smelter? Tentu akan lucu kalau kembali pada model lama, karena itu tidak berhasil menekan perusahaan bangun smelter,” tandas dia.
Bahkan, kata dia, dengan perubahan kontrak karya (KK) menjadi IUPK, posisi pemerintah harus siap. “Mestinya, mereka mau mengubah KK menjadi IUPK itu karena mereka mau mengikuti syarat dari kita, bukan syarat mereka yang mengendalikan kita,” tandasnya.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti menambahkan, ada yang janggal dari hasil pertemuan antara Jonan Freeport McMoran itu. Di tengah anggapan adanya kemajuan dari proses negosiasi, Freeport tetap meminta adanya perjanjian kerjasama kedua pihak sebagai bentuk jaminan kepastian investasi.
“Mestinya, permintaan Freeport untuk membuat perjanjian kerjasama secara terpisah harus ditolak oleh Pemerintah Indonesia karena tidak diatur di dalam UU. Kan sudah ada IUPK, yaitu penetapan dari Menteri ESDM yang dijamin oleh UU. Dan Pemerintah harus konsisten dengan bentuk hukum yang telah disepakati dan diatur di dalam UU itu,” tuturnya.
Menurut Rachmi, Perjanjian Kerjasama secara terpisah hanya akan menempatkan Pemerintah Indonesia dibawah kendali Freeport. Apalagi, secara logika hukum perjanjian itu akan mengikat Pemerintah Indonesia secara perdata.
“Dan menjadi konsekuensi logis dimana para pihak akan menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketanya, yang biasanya lebih memilih arbitrase internasional. Itu yang akan merugikan Indonesia,” kata dia.
(Busthomi)
(Andy Abdul Hamid)