Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (KMSKE) menilai sangat tidak relevan Pemerintah Indonesia masih menjadi anggota WTO hingga hari ini. Mengingat keanggotaan Indonesia di WTO tidak mampu memberi keuntungan bagi masyarakat, khusus bagi petani, nelayan dan buruh.
Koalisi menegaskan Jika pemerintah tidak mampu mendesakkan kepentingan masyarakat Indonesia, sebaiknya Pemerintah Indonesia menarik diri dari keanggotaannya di WTO. Hal itu disampaikan berkaitan dengan Konferensi Tingkat Menteri ke-11 WTO di Buenos Aires, Argentina.
“Jika Indonesia masih ingin menjadi anggota WTO setidaknya Pemerintah harus bisa mendesakkan berbagai kepentingan masyarakat seperti ketentuan mengenai subsidi perikanan, pangan dan lain sebagainya,” kata aktivis Indonesia for Global Justice, Rahmat Maulana Siddik secara tertulis, Selasa (12/12).
Rahmat menuturkan; sejak Indonesia meratifikasi berbagai kebijakan dalam WTO, kondisi perekonomian negara Indonesia tidak semakin membaik, bahkan Indonesia yang dahulunya dikenal sebagai negara agraris penghasil produk-produk pertanian bergeser menjadi negara pengimpor produk pertanian seperti kedelai, kentang, bawang putih, garam dan sebagainya.
Belum lagi aturan WTO tentang pengurangan subsidi yang terus di dorong negara maju telah berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan perikanan akibat tingginya biaya produksi sehingga produk impor dapat mudah masuk pasar domestic dan menimbulkan berkurangnya penyerapan produk lokal.
“Catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, pada tahun 1995 Indonesia mampu memenuhi konsumsi pasar domestic untuk produk bawang putih sebesar 95% dengan total produksi mencapai 279 ribu ton, namun saat ini Indonesia hanya mampu memproduksi sebesar 10% dari kebutuhan nasional dan selebihnya dipenuhi dari impor negara China dan India,” ujar dia.
Pada saat bersamaan, subsidi yang menjadi fokus pembahasan dalam putaran Argentina dan sering dipermasalahkan oleh negara-negara WTO adalah terkait dengan subsidi sektor perikanan dan produk-produk perikanan.
“Pemberian subsidi BBM untuk nelayan dianggap dapat menghambat WTO dan negara-negara maju. Pusat Data dan Informasi KIARA menyebutkan pencabutan subsidi merupakan bentuk pemiskinan nelayan, dimana 60% biaya produksi nelayan melaut adalah mengakses BBM bersubsidi,” sesal dia.
Karenanya dia meilah keberadaan WTO telah menghilangkan kedaulatan negara, dimana aturan undang-undang negara yang dibangun untuk melindungi masyarakatnya digugat untuk kepentingan korporasi negara maju.
“Masih hangat dibenak kita, pada November 2017 lalu, Indonesia dinyatakan kalah dalam appellate body WTO terkait kasus hortikultura dan produk ternak, hal ini disebabkan karena UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan dinilai sebagai hambatan (barrier) dalam perdagangan,” imbuh dia.
Lebih jauh lagi UU No, 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan yang telah menempatkan peran petani sebagai aktor vital dalam perekonomian bangsa dimana negara harus berperan aktif dalam meningkatkan kesejahteraannya. Namun, komitmen Indonesia dalam WTO sangat berlawanan dengan kedua undang-undang tersebut, sehingga kedaulatan pangan yang selama ini didengung-dengungkan pemerintahan Jokowi mustahil akan tercapai
“Selain itu Indonesia for Global Justice mencatat, setidaknya sejak 2004 Indonesia sudah digugat 13 kali dan 12 kali menggugat. Pada umumnya gugatan itu berkaitan dengan isu pertanian dan peternakan. Karena itu, jika memang timbangan untung rugi menunjukkan kita lebih banyak buntung lebih baik Indonesia keluar saja dari WTO,” pungkas dia.