• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • GENI
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Petani Berdaulat Tanpa WTO

Desember 13, 2017
in IGJ Update from WTO meeting, Uncategorized @id, WTO
Home IGJ Update from WTO meeting
984
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

“Petani Berdaulat Tanpa WTO”

Jakarta, 11 Desember 2017

Kepada Yth

Bapak Joko Widodo, Presiden RI

Bapak Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI

Bapak Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan RI

Ibu Sondang Anggraini, Duta Besar Indonesia untuk WTO

Bapak Iman Pambagyo, Dirjen Perundingan Perjanjian Internasional, Kemendag RI

Bapak Jully Paruhum Tambunan, Direktur Perundingan Multilateral, Kemendag RI

Bapak Adi Dzulfuat, Kasubdit Penanganan Sengketa Perdagangan dan Kekayaan Intelektual

Direktorat PKKI, Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia

di Tempat

 Hal: Penyampaian Tuntutan Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia Tentang Isu Subsidi Pertanian & Cadangan Pangan Nasional Dalam Perundingan KTM Ke-11 WTO

Dengan hormat,

Kami, kelompok masyarakat sipil Indonesia yang bertanda tangan di bawah ini, dengan ini menyampaikan beberapa pandangan dan masukan kritis kami untuk perundingan subsidi pertanian dan cadangan pangan nasional dalam perundingan KTM ke-11 WTO yang akan berlangsung pada 10-15 Desember 2017, di Buenos Aires, Argentina.

Kami menilai, bahwa nasib petani kecil Indonesia selalu dipertaruhkan dalam perundingan WTO. Isu pertanian, sebagai salah satu agenda pembangunan Doha (Doha Development Agenda/DDA) masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai di dalam perundingan WTO. Tidak pernah ada hasil perundingan yang memuaskan bagi petani, selain kegagalan demi kegagalan hasil perundingan pertanian yang selalu memenangkan kepentingan negara maju ketimbang petani kecil di negara berkembang.

Apalagi kekalahan Indonesia dalam kasus hortikultura dan produk ternak di WTO yang telah diputus oleh Appellate Body WTO November 2017 yang lalu semakin menunjukan kalau WTO tidak bekerja untuk petani kecil Indonesia.

Melihat situasi tersebut diatas, maka berikut adalah beberapa pandangan kritis kami terhadap perundingan isu pertanian di WTO:

  • Ada beberapa hal yang dirundingkan dalam pertanian, dan merupakan bagian dari mandate Doha Development Agenda yang belum bisa mencapai kesepakatan, khususnya isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan negara berkembang, sejak Putaran Doha tahun 2001 di luncurkan, yaitu: isu tentang domestic support, special product and special safeguard measures, dan yang juga penting adalah proposal G33 mengenai public stockholding for food security.
  • Kami mencatat, ada 3 (tiga) dampak utama dari praktik liberalisasi pertanian sejak Indonesia meratifikasi Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture) WTO sejak tahun 1995, yaitu: (1) Pembukaan akses pasar pertanian ke pasar domestik telah menyebabkan peningkatan jumlah impor produk pertanian yang masuk ke Indonesia; (2) Dengan dibatasinya subsidi bagi petani lokal di Indonesia telah menyebabkan penurunan produktivitas pertanian akibat tingginya biaya produksi petani yang kemudian berdampak pada ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor yang harganya lebih murah; (3) pelemahan peran badan usaha negara (Badan Urusan Logistik/BULOG) sebagai badan penyangga untuk stabilisator harga pangan pokok melalui swastanisasi sehingga dukungan dana dari negara tidak lagi besar dan lebih berperan sebagai importir resmi pemerintah.
  • Kegagalan WTO menyelesaikan perundingan pertanian yang terkait dengan isu domestic support, special product and special safeguard measures, semakin dipercaya bahwa perjanjian WTO semakin tidak relevan bagi kehidupan petani Indonesia. Terlebih, menggantungnya nasib Proposal G33 WTO mengenai public stockholding for food security tanpa solusi permanen akan terus mendorong ketidakpastian bagi nasib petani Indonesia.
  • Bahwa, Kesepakatan Paket Bali dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO di Bali pada Desember 2013 pada akhirnya tidak memberikan arti apa-apa bagi pencapaian kesepakatan isu public food stockholding. Periode itu bisa dikatakan sebagai kegagalan besar Pemerintah Indonesia, sebagai tuan rumah dan ketua perundingan, dalam memperjuangkan nasib petani di WTO. Bahkan menukarnya dengan disepakatinya perjanjian isu Singapura yang merupakan agenda negara maju, yaitu Trade Facilitation.
  • Paska KTM Ke-9 WTO di Bali tahun 2013, agenda pembangunan Doha atau Doha Development Agenda (DDA) terus didesak untuk ditinggalkan oleh negara maju. Ini artinya, WTO akan menutup rapat-rapat dan melupakan perundingan isu pertanian dan menggantinya dengan isu-isu Singapura yang lebih mewakili kepentingan negara maju.
  • Di sisi yang lain, isu Singapura yang merupakan agenda negara maju satu per satu telah berhasil dimasukan ke dalam perundingan WTO, bahkan satu isu Singapura telah berhasil disepakati, yakni Perjanjian Trade Facilitation.
  • Oleh karena itu, KTM ke-11 WTO akan kembali menjadi pertaruhan kedaulatan petani. Apalagi peluang praktek trade-off (mempertukar) kepentingan di dalam perundingan sangat besar, yang pada akhirnya melupakan kepentingan petani Indonesia, dan sebaliknya memenangkan kepentingan agenda negara maju.

Berdasarkan beberapa pandangan tersebut, adapun tuntutan utama kami adalah:

INDONESIA KELUAR DARI WTO!

Dengan pertimbangan:

  1. WTO hanya memperkokoh struktur penindasan terhadap petani karena membuka keran impor yang mengurangi penyerapan produk petani lokal, dan keran investasi yang cenderung menimbulkan kasus-kasus
  2. Regulasi-regulasi yang diadopsi dalam WTO berlawanan dengan UU. No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU. No 18 tahun 2012 tentang pangan
  3. Regulasi-regulasi dalam WTO semakin menjauhkan cita-cita kedaulatan pangan.

Hormat kami,

Serikat Petani Indonesia (SPI)

Bina Desa

Solidaritas Perempuan

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)

Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA)

Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)

Indonesia AIDS Coalition (IAC)

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Komite Perjuangan Rakyat (KPR)

Indonesia for Global Justice (IGJ)

Narahubung:

Zainal Arifin Fuad (SPI): 0812-89321398

Achmad Yakub (Bina Desa): 0817-712347

Arieska (Soliper): 0812-80564651

Ahmad Martin Hadiwinata (KNTI): 0812-86030453

Susan Herawati (KIARA): 0821-11727050

Sigit Karyadi (KRuHA): 0813-18835393

Sindi Putri (IAC): 0878-78407551

Yuyun Harmono (WALHI): 0813-85072648

Herman Abdulrohman (KPR): 0813-98210499

Rachmi Hertanti (IGJ): 0817-4985180

Previous Post

Keanggotaan di WTO Malah Menyandera Kedaulatan Indonesia

Next Post

Saatnya Nelayan Tradisional Berdaulat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655