23 Juli, 2018. Kerjasama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) sedang dinegosiasikan di Bangkok, Thailand, minggu ini. Kesepakatan perdagangan mega regional yang melibatkan enam belas negara dari Asia-Pasifik akan berakibat terhadap kehidupan lebih dari tiga miliar orang, namun sebuah studi baru mengungkapkan bagaimana kesepakatan itu telah melanggar standar internasional mengenai transparansi dan keterlibatan publik.
Para ahli menilai perundingan RCEP terhadap kriteria Transparansi dan Keterlibatan Publik dalam Pembuatan Kebijakan. Hasilnya adalah GAGAL. Laporan ini menemukan perundingan RCEP menjadi:
- Tidak transparan: diabaikannya ketersediaan publik terhadap informasi resmi mengenai negasi negara, kegagalan dalam merilis draft teks dan rincian posisi pemerintah yang memadai.
- Kurangnya penilaian dampak pada sosial, ekonomi dan lingkungan yang independen, menciptakan kesulitan bagi para jurnalis untuk secara akurat melaporkan kesepakatan dagang ini.
- Dipenuhi oleh banyak kepentingan pribadi yang pada akhirnya mempengaruhi proses, seperti korporasi yang memegang peran resmi semi istimewa dalam negosiasi.
- Kehilangan peran dan masukan dari parlemen Asia dan pejabat terpilih. Seringkali mereka ditutup, tak memiliki peran yang berarti dalam negosiasi dan terkadang tak dapat mengakses teks.
Sam Cossar dari Friends of the Earth International mengatakan, “RCEP merupakan kesepakatan dagang rahasia yang gagal memenuhi standar yang diakui secara internasional. Kerahasiaan ini akhirnya mengakibatkan korupsi dan keputusan yang buruk. Rakyat memiliki hak untuk mengetahui apa yang sedang dinegosiasikan dengan atas nama mereka.”
“Di India, proses negosiasi RCEP telah dicirikan tak hanya terdapat kurangnya pengawasan parlemen tapi juga keterlibatan pemerintah daerah yang akan sepenuhnya menanggung beban impor pertanian dan manufaktur yang lebih murah. Perwakilan terpilih seperti Ketua Menteri Negara Bagian di India Selatan, Kerala, berpendapat bahwa hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip federalisme yang diabadikan dalam Konstitusi India”, jelas Benny Kuruvilla dari Transnational Institute.
“Serikat pekerja di seluruh Asia Pasifik menentang RCEP karena anti demokrasi, anti pekerja dan anti rakyat. Ini merupakan ancaman terhadap kualitas layanan publik yang penting untuk memajukan hak seluruh orang. Pemerintah telah membuat komitmen untuk tri-partisme; untuk melibatkan pekerja dan pengusaha dalam menetapkan kebijakan yang berdampak terhadap hak-hak buruh. Namun, pemerintah nampaknya mengambil instruksi dari perusahaan multinasional asing dan melindungi kepentingan mereka,” tegas Kate Lappin dari Public Services International (PSI).
“Seruan dari gerakan rakyat adalah agar pemerintah menolak RCEP. Namun pemerintah masih terus mengabaikan seruan ini dengan menyepelekan usaha rakyat untuk mendapatkan teks negosiasi dan membatasi ruang partisipasi rakyat di dalam proses negosiasi. Defisit demokrasi di RCEP diperburuk dengan diberikannya akses istimewa kepada perusahaan-perusahaan.” tambah Joseph Purugganan dari Focus on the Global South.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa “Ruang untuk proses deomkrasi di dalam RCEP harus dibuka. Apabila ruang demokrasi ini tidak tercipta, maka RCEP harus ditolak karena melanggar hak asasi manusia.”
Referensi:
Salinan lengkap dari laporan ini tersedia di:
Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi:
- Rachmi Hertanti, Indonesia for Global Justice
Igj@igj.or.id / rachmihertanti@gmail.com
No. HP : +62 817 4985180
- Sam Cossar, Friends of the Earth InternationaL
No. HP : +61 413496570
- Benny Kuruvilla, Transnational Institute
No. HP: +91 9873921191
Download >>> RILIS MEDIA RCEPBANGKOK 2018-Bahasa