JAKARTA, KOMPAS – Di tengah penurunan kinerja ekspor Indonesia, tantangan meningkatkan ekspor ke depan semakin berat. Dua pasar utama Indonesia, Uni Eropa dan China, tengah lesu. Adapun sejumlah pasar besar ekspor lain terdapat hambatan perdagangan.
Pemerintah telah berupaya merampungkan ratifikasi tujuh perjanjian perdagangan untuk meningkatkan ekspor tahun depan. Di sisi lain, ratifikasi itu perlu memerhatikan kepentingan domestik yang tidak hanya menyangkut sektor perdagangan, tetapi juga sosial dan investasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ekspor migas dan nonmigas Indonesia pada Januari-Oktober 2018 hanya tumbuh 8,84 persen dari periode sama 2017. Pertumbuhan ekspor itu kalah jauh dibandingkan impor yang meningkat sebesar 23,37 persen dibandingkan periode sama 2017. Hal itu menyebabkan neraca perdagangan pada Januari-Oktober 2018 defisit sebesar 5,51 miliar dollar AS.
Pekan lalu, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menyebutkan, ekonomi global tumbuh melandai dan tidak seimbang, disertai ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi. Di Eropa, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat di tengah inflasi yang dalam tren meningkat. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga terus melambat disebabkan berlanjutnya proses penyesuaian neraca di sistem keuangan dan pengaruh ketegangan hubungan dagang dengan AS.
Pertumbuhan ekonomi dunia yang melandai dan risiko memburuknya hubungan dagang antar negara akan berdampak pada tetap rendahnya volume perdagangan dunia. Sejalan dengan itu, harga komoditas dunia menurun, termasuk harga minyak dunia yang kembali menurun akibat prospek meningkatnya pasokan.
Dana Moneter Internasional memangkas proyeksi volume perdagangan global pada 2018 dan 2019 masing-masing tumbuh 4,2 persen dan 4 persen. Padahal, pada 2017 volume perdagangan dunia tumbuh 5,2 persen. Angka ini persentase pertumbuhan terbaik volume perdagangan global sejak 2010.
.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita kepada Kompas pekan lalu mengatakan, Indonesia baru menerbitkan peraturan presiden untuk mengimplementasi amandemen protokol ASEAN plus dan tiga perjanjian dagang lain. Dari semua anggota ASEAN hanya Indonesia yang sejak 2015 belum meratifikasi amandemen itu.
“Lantaran belum meratifikasinya, Indonesia belum dapat mengoptimalkan pemanfaatan kesepakatan perdagangan itu dan tiga perjanjian baru dengan tiga negara lain. Indonesia bisa tertinggal dengan negara-negara lain di ASEAN. Hasilnya nanti baru akan dinikmati pada 2019,” kata Enggartiasto.
Perjanjian perdagangan internasional yang sudah diratifikasi dengan peraturan presiden itu adalah Protokol Pertama untuk mengubah Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru (AANZFTA), Perjanjian Perdagangan Jasa di bawah ASEAN-India FTA (AITISA), dan Protokol Ketiga untuk Mengubah Perjanjian Perdagangan Barang di bawah ASEAN-Korea FTA (AKFTA).
Perjanjian yang lainnya adalah Protokol untuk Mengubah Perjanjian Kerangka Kerja di bawah ASEAN-China FTA (ACFTA), Perjanjian ASEAN tentang Pedoman Perangkat Medis (AMDD), Protokol untuk Menerapkan Perjanjian Kerangka Kerja ASEAN ke-9 tentang Layanan (AFAS-9), dan Protokol untuk Mengubah PTA Indonesia-Pakistan (IP-PTA). Proses ratifikasi itu dilakukan melalui peraturan presiden karena proses pengesahan di DPR telah melampaui tenggat 60 hari sejak diajukan.
Analisis dampak
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Minggu (18/11/2018), mengemukakan, perjanjian-perjanjian itu tidak hanya soal perdagangan dan upaya peningkatan ekspor. Namun ada sektor-sektor lain juga yang terkait dan akan terkena dampaknya seperti sektor sosial, hak asasi manusia, jasa, investasi, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang berpotensi merugikan negara.
Dampak setiap perjanjian itu perlu dianalisis dan dikaji lebih dalam agar tidak merugikan Indonesia di kemudian hari. Transparansi terhadap isi perjanjian-perjanjian itu juga perlu dilakukan agar masyarakat dapat mengetahuinya.
“IGJ melihat, rata-rata pemanfaatan FTA dan PTA oleh Indonesia untuk mendorong kinerja ekspor Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya sebesar 30-35 persen. Bahkan kinerja perdagangan Indonesia dengan negara-negeara yang tergabung dalam perjanjian regional justru negatif. Peningkatan ekspor justru perlu dilakukan dengan menyelesaikan pekerjaan rumah Indonesia yang masih menghambat daya saing,” kata dia.
Rachmi menambahkan, ada tiga persoalan yang menyebabkan daya saing Indonesia rendah. Pertama, ekspor Indonesia masih mengandalkan bahan mentah dan komoditas yang tidak memiliki nilai tambah. Kedua, produk komoditas unggulan Indonesia masih didominasi dengan produk rendah teknologi. Ketiga, liberalisasi perdagangan justru terus menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor.
Sumber >>> https://kompas.id/baca/utama/2018/11/19/tantangan-memacu-ekspor-makin-berat/