• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Surat Terbuka Masyarakat Sipil : Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif (CEPA) EFTA-Indonesia

Desember 12, 2018
in EU Indonesia Cepa, news, Pangan, Publikasi, Uncategorized @id
Home EU Indonesia Cepa
1k
SHARES
2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

 

Surat Terbuka Masyarakat Sipil Terhadap Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif (CEPA) EFTA-Indonesia

 

Jakarta, 11 Desember 2018

Kepada Yang terhormat Bapak Joko Widodo

Presiden Republik Indonesia.

Bapak Prof. Dr. Pratikno M.Soc.Sc.

Menteri Sekretariat Negara Republik Indonesia

Bapak Enggartiasto Lukita

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

Ibu Retno L.P. Marsudi

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia

Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, MP

Menteri Pertanian Republik Indonesia

Dr. Ir. Muhammad Syakir, M.S.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan)

Prof (Riset) Dr. Ir. Erizal Jamal, M.Si

Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian

Perihal: Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif (CEPA) EFTA-Indonesia hendaknya tidak mewajibkan Indonesia untuk bergabung atau menerapkan UPOV 1991

 

Dengan hormat,

Organisasi-organisasi yang bertanda tangan di bawah ini bekerja bersama dan untuk kepentingan petani di berbagai daerah di Indonesia, bersama surat ini kami ingin menyampaikan bahwa CEPA dengan negara-negara EFTA hendaknya tidak memasukkan kewajiban apa pun yang mengharuskan Indonesia untuk bergabung atau menerapkan UPOV 1991 atau memaksakan kewajiban dan /atau pembatasan lain berkenaan dengan perlindungan varietas tanaman. Kami menyampaikan kekhawatiran ini karena perjanjian perdagangan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA) sebelumnya telah memiliki ketentuan tersebut dan kami mengetahui bahwa negara-negara anggota EFTA dan Indonesia bertujuan untuk menandatangani CEPA sebelum akhir tahun.[i]

Pertanian sangat penting bagi perekonomian Indonesia yang menjadi penyumbang pekerjaan terbesar kedua, khususnya di daerah pedesaan, dimana sekitar 33% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian. Sektor ini menyumbang 14% dari PDB (pendapatan domestik bruto).Sekitar 93% persen dari total petani di Indonesia adalah pertanian keluarga kecil (yaitu petani kecil),[ii]dengan rata-rata kepemilikan lahan seluas 0,6 hektar. Pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita Indonesia saat ini sebesar US $ 3540, jauh lebih rendah daripada PNB per kapita negara-negara EFTA seperti Swiss (US $ 80.560) dan Norwegia (US $ 75.990).[iii]Pendapatan negara anggota EFTA rata-rata 21 kali lipat lebih tinggi dari pendapatan penduduk Indonesia.

Berdasarkan latar belakang ini, sangat mengkhawatirkan jika Indonesia diminta untuk mematuhi ketentuan UPOV 1991. Ada banyak kekhawatiran jika Indonesia menjadi anggota UPOV 1991 khususnya:

  • UPOV 1991 merupakan rezim perlindungan varietas tanaman (PVT) yang restriktif dan tidak fleksibel.Diinisiasi oleh negara-negara maju dan mengasumsikan “satu-aturan-untuk-semua”, dengan mengabaikan sistem pertanian setiap negara bervariasi secara signifikan. Di Swiss, benih dipasok melalui sistem benih komersial, sedangkan di Indonesia, sistem benih sebagian besar masih dikelola oleh petani, terutama petani kecil yang menjadi pemasok benih utama. UPOV 1991 akan memberikan keterbatasan dan sistem yang ketat bagi pemerintah untuk merancang aturan PVT yang mencerminkan kondisi dan realitas Indonesia. Kerangka kerjanya sangat bias dalam mendukung sektor benih komersial terutama perusahaan benih multinasional dengan mengorbankan kebutuhan dan kepentingan petani kecil.
  • UPOV 1991 membatasi Hak Petani dan bertentangan dengan komitmen internasional Indonesia tentang Hak Petani.UPOV 1991 tidak memberikan ruang kebijakan bagi pemerintah negara berkembang seperti Indonesia[iv]untuk membuat ketentuan yang memastikan penerapan Pasal 9 (Hak Petani) dari Perjanjian Internasional tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (ITPGRFA International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture), yang mencerminkan realitas nasional atau melindungi kepentingan publik dan sistem benih petani. Pasal 9 dari ITPGRFA menyatakan bahwa merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengambil langkah-langkah untuk “melindungi dan mempromosikan” Hak-hak Petani. Hak-hak ini mencakup hak petani untuk menyimpan, menggunakan, menukar dan menjual bibit yang disimpan, hak mereka untuk melindungi pengetahuan tradisi dan hak untuk berpartisipasi secara adil dalam berbagi manfaat yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.

Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan atas nama Kementerian Federal Jerman untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan menyimpulkan bahwa “undang-undang PVT berdasarkan UPOV 1991 menunjukkan tidak berperan meningkatkan realisasi Hak Petani; namun secara efektif menunjukkan arah yang sebaliknya”.[v]

  • UPOV 1991 memfasilitasi bio-piracy (pencurian) sumber daya genetik: UPOV tidak mengakui prinsip-prinsip Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH) atau Convention on Biodiversity,[vi]yang menyatakan bahwa akses terhadap sumber daya genetik lokal harus berdasarkanprior informed consent(PIC – Pemberitahuan dan persetujuan terdahulu) serta pembagian manfaat yang adil dan setara.  UPOV 1991 mengakui perlindungan PVT untuk varietas yang dikembangkan dengan menyalahgunakan sumber daya genetik lokal. Oleh karena itu, UPOV bertentangan dengan CBD dan upaya-upaya dalam forum internasional seperti WTO dan WIPO, di mana Indonesia telah menjadi pendukung yang tidak kenal lelah untuk penerapan proposal hak pengungkapan asal-usul, bukti penerapan PIC dan pembagian keuntungan sebagai syarat untuk menerima perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) dalam undang-undang paten.
  • UPOV 1991 memiliki efek buruk untuk implementasi hak asasi manusia.Penilaian dampak hak asasi manusia dari UPOV 1991 telah menyimpulkan “…jika dilaksanakan dan ditegakkan, UPOV 91 akan merusak hubungan yang menguntungkan antara sistem benih formal dan informal”, dan “pembatasan atas penggunaan, pertukaran dan penjualan benih yang dilindungi yang akan berdampak buruk terhadap hak atas pangan, karena benih akan menjadi lebih mahal atau lebih sulit untuk diakses” serta “hak asasi manusia lainnya, dengan mengurangi jumlah pendapatan rumah tangga yang tersedia untuk makanan, kesehatan atau pendidikan. ”[vii]

Penilaian lebih lanjut menambahkan bahwa pengetahuan tradisional yang diterapkan oleh petani dalam pemilihan, penyimpanan dan penyimpanan benih adalah dasar dari inovasi lokal dan konservasi benih in situdan “pembatasan UPOV tentang menyimpan, bertukar dan menjual benih yang dilindungi mengorbankan pengetahuan petani akan pemilihan dan pelestarian benih. Lebih jauh, petani juga secara bertahap akan kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan tentang apa yang akan mereka tanam di jenis lahan apa, bagaimana menghadapi serangan hama, atau bagaimana menyesuaikan sistem benih dengan perubahan kondisi iklim. Proses menghilangkan keahlian petani (deskilling) – yang sudah berlangsung seiring penurunan agrobiodiversitas lokal – bisa menjadi lebih akut dengan pembatasan penggunaan benih yang diperkenalkan melalui aturan UPOV 1991. Dari perspektif hak asasi manusia, pembatasan praktik tradisional dan sistem manajemen benih … akan berdampak negatif bagi pemenuhan hak-hak petani, hak budaya, hak minoritas, hak masyarakat adat, hak-hak perempuan, serta keragaman hayati dan hak atas pangan ”.

  • Kriteria perlindungan UPOV memperparah erosi keanekaragaman hayati: Syarat keseragaman dan stabilitas benih memfokuskan pada upaya pengembangan varietas standar yang terbatas. Varietas petani tidak dapat memenuhi kriteria ini karena terus berevolusi. UPOV hanya menghargai homogenitas dan bukan keaneka-ragaman hayati sumber daya pertanian. Pendekatan yang subyektif ini telah menyebabkan terjadinya erosi genetik, serta membuat tanaman rentan terhadap serangan hama dan tekanan perubahan iklim. Diperkirakan sekitar 75% keragaman genetik tanaman telah hilang karena petani di seluruh dunia terpaksa meninggalkan varietas lokal mereka untuk varietas yang seragam secara genetik yang hanya menghasilkan panenan di bawah kondisi tertentu.[viii]Hal ini juga menyebabkan keanekaragaman genetik dalam tanaman juga menurun.

Singkatnya, UPOV 1991 menawarkan kerangka hukum yang tidak sesuai untuk Indonesia. Dengan bergabung atau memenuhi UPOV 1991 diperkirakan akan meningkatkan biaya benih lebih dari 4 kali berdasarkan studi tentang dampak bergabung dengan UPOV91 pada petani di  Filipina.[ix]Beberapa ahli independen mendukung kesimpulan ini, dan merekomendasikan bahwa negara-negara berkembang tidak boleh bergabung atau menerapkan UPOV.[x]

Laporan Pelapor Khusus untuk Hak atas Pangan tahun 2009 kepada Majelis Umum PBB menekankan bahwa “Negara – terutama negara berkembang di mana peran sistem benih petani tradisional sangat penting dalam pencegahan erosi genetik dan penghidupan komunitas pertanian – harus mendesain bentuk-bentuk sui generis(kebijakan yang khusus) bagi perlindungan varietas tanaman yang memungkinkan sistem benih tradisional ini berkembang, bahkan jika harus mengadopsi undang-undang yang tidak sesuai dengan UPOV”. Lebih lanjut, laporan menyimpulkan: “Tidak ada Negara yang boleh dipaksa untuk membentuk aturan perlindungan hak kekayaan intelektual yang melampaui persyaratan minimum Perjanjian TRIPS: sehingga perjanjian perdagangan bebas yang mewajibkan negara-negara untuk bergabung dengan Konvensi UPOV 1991 atau untuk mengadopsi aturan yang sesuai dengan UPOV hendaknya harus dipertanyakan.”[xi]

Lebih lanjut, untuk alasan yang telah disebutkan khususnya dampaknya terhadap Hak Petani, Norwegia, yang memiliki pendapatan per kapita 21 kali lebih tinggi dari Indonesia telah menolak untuk bergabung dan / atau mengimplementasikan UPOV 1991. Karenanya perlu dipertanyakan, mengapa Indonesia harus setuju untuk bergabung atau mematuhi UPOV 1991?

Selain itu ada preseden dalam perjanjian perdagangan EFTA yang tidak mengharuskan Para Pihak untuk meratifikasi atau mengimplementasikan UPOV 1991 (misalnya pada EFTA-Southern Africa Customs Union (SACU) perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani pada 2006[xii]).

Kami juga ingin mengingatkan adopsi terbaru pada Majelis Umum PBB dimana Indonesia menjadi salah satu pendukungnya tentang “Declaration on the right of peasants and other people working in rural areas atauDeklarasi tentang hak petani dan orang-orang yang bekerja di daerah pedesaan”. Dalam adopsi Deklarasi ini, Indonesia menyatakan bahwa “[h] mata pencaharian petani menjadi prioritas nasional. Pelaksanaan deklarasi dan resolusi akan mempertimbangkan mandat konstitusi dan peran Negara dalam mempromosikan hak-hak masyarakat pedesaan.”[xiii]Deklarasi ini antara lain mensyaratkan Negara-negara untuk “mengambil langkah-langkah untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas benih petani dan orang yang bekerja di daerah pedesaan”, mencakup hak untuk menyimpan, menggunakan, menukarkan dan menjual benih atau bahan propagasi (pembiakan) yang disimpan di pertanian mereka, hak atas perlindungan pengetahuan tradisional, dan hak untuk berpartisipasi secara adil dalam berbagi manfaat yang timbul dari pemanfaatan sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan konservasi dan penggunaan berkelanjutan dari sumber daya genetik tanaman untuk pangan dan pertanian.

Oleh karenanya, dukungan Indonesia atas niat dan semangat DeklarasiPBBtentang hak petani dan orang-orang yang bekerja di daerah pedesaan tidak akan konsisten dengan perjanjian yang mengharuskan Indonesia untuk mengikuti UPOV 1991.

Kami dengan tegas menekankan bahwa CEPA tidak harus mewajibkan Indonesia untuk bergabung atau mengimplementasikan UPOV 1991 atau memaksakan kewajiban dan / atau batasan lain dalam kaitannya dengan perlindungan varietas tanaman. Indonesia harus memiliki ruang kebijakan untuk merancang sistem PVT yang sesuai untuk sistem pertaniannya, untuk melindungi sumber daya genetik tanaman lokal Indonesia, para petani dan melindungi kepentingan publik serta memberi ruang untuk mengambil langkah-langkah pelaksanaan Deklarasi tentang hak kaum tani dan orang-orang yang bekerja di daerah pedesaan.

Hormat kami:

  1. Indonesia for Global Justice (IGJ)
  2. Konphalindo (Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia)
  3. Aliansi Petani Indonesia (API)
  4. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
  5. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
  6. Bina Desa
  7. Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS)
  8. Farmer’s Initiative for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD)
  9. Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI
  10. Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR).
  11. Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
  12. Solidaritas Perempuan
  13. Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
  14. Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia (SPR Indonesia)
  15. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
  16. Indonesia Aids Coalition (IAC)
  17. Prof. Dra. MA Yunita Triwardani Winarto, MS, M.Sc. PhD.
  18. Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).
  19. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia)

[i]http://www.efta.int/Free-Trade/news/EFTA-and-Indonesia-conclude-trade-negotiations-510756

[ii]http://www.fao.org/3/i8881en/I8881EN.pdf

[iii]https://data.worldbank.org/indicator/NY.GNP.PCAP.CD

[iv]Indonesia telah meratifikasinya melaluiUU No. 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture(Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian/SDGTPP)

[v]The UPOV Convention, Farmers’ Rights and Human Rights – An integrated assessment of potentially conflicting legal frameworks” diterbitkan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) atas nama German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development” (Juni 2015) tersedia di https://www.giz.de/fachexpertise/downloads/giz2015-en-upov-convention.pdf

[vi]Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang Undang No. 5 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Convention On  Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati

[vii]Owning Seeds, Accessing Food – A human rights impact assessment of UPOV 1991 based on case studies in Kenya, Peru and the Philippines,” October 2014. Tersedia di  https://www.publiceye.ch/en/topics- background/agriculture-and-biodiversity/seeds/owning-seeds-accessing-food/

[viii]Lihat dokumen UN General Assembly A/64/170 berjudul “Seed Policies and the right to food: enhancing agrobiodiversity and encouraging innovation”.

[ix]“Owning Seeds, Accessing Food – A human rights impact assessment of UPOV 1991 based on case studies in Kenya, Peru and the Philippines,” October 2014. Tersedia di https://www.publiceye.ch/en/topics-background/agriculture-and-biodiversity/seeds/owning-seeds-accessing-food/;

[x]The UPOV Convention, Farmers’ Rights and Human Rights – An integrated assessment of potentially conflicting legal frameworks” diterbitkan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) atas nama German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development” (June 2015) available at https://www.giz.de/fachexpertise/downloads/giz2015-en-upov-convention.pdf; UNDP (2008) “Towards a Balanced Sui Generis Plant Variety Regime”, tersedia di  http://www.undp.org/content/undp/en/home/librarypage/poverty- reduction/toward-a-balanced-sui-generis-plant- variety-regime.html; “Owning Seeds, Accessing Food – A human rights impact assessment of UPOV 1991 based on case studies in Kenya, Peru and the Philippines,” October 2014. tersedia di   https://www.publiceye.ch/en/topics-background/agriculture-and-biodiversity/seeds/owning-seeds-accessing-food/;Carlos M. Correa et al. (2015), « Plant Variety Protection in Developing Countries: A Tool for Designing a Sui Generis Plant Variety Protection System: An Alternative to UPOV 1991 », APBREBES, tersedia di  http://www.apbrebes.org/news/new-publication-plant-variety-protection-developing-countries-tool-designing-sui- generis- plant

[xi]Olivier De Shutter, Seed policies and the right to food: enhancing agrobiodiversity and encouraging innovation, 2009,Laporan dipresentasikan dalam UN General Assembly (64th session) (UN doc. A/64/170). tersedia di http://www.srfood.org/images/stories/pdf/officialreports/20091021_report-ga64_seed-policies- and-the-right-to-food_en.pdf

[xii]http://www.efta.int/free-trade/ftas

[xiii]https://www.un.org/press/en/2018/gashc4255.doc.htm

DOWNLOAD >>> CEPA EFTA No UPOV letter 11 Dec 2018 IBahasa

Tags: AgrariaEkonomiFREE TRADEIEU-CEPAKedaulatan PanganPertanian
Previous Post

FTA’s Highlight November 2018

Next Post

Rilis Kelompok Masyarakat Sipil : Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif (CEPA) EFTA-Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia