Nilai tambah ekonomi di sektor pertanian dan manufaktur mesti ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekspor.
JAKARTA – Pemerintah diminta mencermati kondisi ekonomi global yang masih diselimuti ketidakpastian, sehingga berpotensi mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia. Paling tidak ada empat tantangan yang perlu diwaspadai pada tahun ini.
Pertama, kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Kedua, perang dagang AS-Tiongkok yang mengakibatkan penyusutan perdagangan global. Ketiga, ancaman perlambatan ekonomi Tiongkok. Keempat, tren kenaikan harga minyak dan gejolak harga komoditas.
Hal itu diungkapkan oleh ekonom senior, Faisal Basri, di Jakarta, Rabu (13/2). “Di 2020 akan lebih besar (tantangannya), karena tanda-tanda semakin banyak walau belum signifikan ancaman krisis di AS. Ekonomi AS ada perlambatan sampai 2020, ini juga dampak dari government shutdown,” lanjut Faisal.
Terkait dengan ekonomi Tiongkok, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan Tiongkok dari 6,6 persen menjadi 6,2 persen di 2019. Ini merupakan pertumbuhan ekonomi paling lemah sejak 1990. Otomatis, pertumbuhan ekonomi global akan terkena dampak perlambatan tersebut.
“Pertumbuhan ekonomi di 2019 masih akan lumayan walau tren dunia menurun dibanding 2018. IMF dua kali menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen dan akhirnya 3,5,” tutur Faisal.
Dia menambahkan faktor keempat yang juga harus diantisipasi adalah kecenderungan harga minyak dunia yang kembali merangkak ke level 60–80 dollar AS per barel dan harga komoditas yang masih rentan bergejolak.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengemukakan hal senada. Menurut dia, perlambatan perdagangan global pada 2019 berpeluang terjadi akibat perang dagang yang mengganjal ekonomi Tiongkok dan AS. Selain itu, potensi penurunan harga komoditas dan pembatasan impor komoditas di beberapa negara, khususnya terkait dengan kebijakan ramah lingkungan yang melarang penggunaan sawit dan batu bara. “Hal ini tentu akan mempengaruhi kinerja perdagangan Indonesia, khususnya di sektor nonmigas,” papar dia. (Lihat infografis)
Rachmi menambahkan, dalam merespons perekonomian global hari ini, pemerintah telah menyusun beberapa strategi prioritas dalam RKP 2019 guna meningkatkan daya saing industri nasional. Salah satunya adalah kebijakan yang diharapkan mampu meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, industri pengolahan, dan jasa produktif seperti sektor pariwisata dan perdagangan elektronik atau e-commerce.
IGJ menilai, pembukaan pasar-pasar baru yang ditargetkan oleh pemerintah masih belum terlihat hasilnya. Apalagi, beberapa perundingan kesepakatan perdagangan bebas (FTA) bilateral yang dilakukan belum juga dapat diselesaikan, sehingga efek positif yang diharapkan belum dapat diimplementasikan dalam jangka pendek.
Dalam konteks penguatan industri hilir, lanjut Rachmi, pada tahun ini pemerintah menyusun program prioritas untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi di sektor pertanian dan industri manufaktur dalam rangka mendorong pertumbuhan ekspor.
“Strategi ini teramat penting untuk memperkuat peran Indonesia dalam agenda Global Value Chain sehingga tidak hanya ditarget sebagai pasar,” tukas dia.
Pelemahan Rupiah
Meyinggung soal nilai tukar, Faisal mengingatkan selama neraca transaksi berjalan masih terus defisit, maka “hantu” pelemahan rupiah masih akan terjadi. “Rupiah saat ini kembali ke level 14.000 rupiah per dollar AS. Sedikit menguat. Tapi secara teori dan historis akan melemah karena current account deficit (CAD),” kata dia.
Pada 2018, CAD Indonesia mencapai 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar 31,1 miliar dollar AS.
Faisal menjelaskan transaksi berjalan terdiri atas ekspor-impor yang terjadi setiap hari, sedangkan rupiah sangat mengandalkan kekuatan modal asing yang masuk.
“Rupiah akan menguat sustainable jika CAD turun dan capital inflow naik, terutama FDI (Foreign Direct Investment),” tutur dia.
Menurut Faisal, yang terjadi saat ini, CAD tersebut bukan sepenuhnya terkait defisit neraca migas. Sebenarnya penyebab defisit adalah anjloknya ekspor nonmigas. “Yang meningkat impor nonmigas yang dahsyat. Gula saja kita impor, garam juga, beras juga impor,” tukas dia. ahm/WP
Sumber >>>http://www.koran-jakarta.com/perlu-antisipasi-4-tantangan-ekonomi-global/