Laporan BPS menyebutkan bahwa telah terjadi penyusutan terhadap luas lahan baku sawah.
Menjelang debat tahap kedua yang akan mempertemukan kedua pasangan Calon Presiden, nampak belum banyak perhatian diberikan kepada isu terkait pangan. Meski pada debat pertama, isu ini sempat beberapa kali disebut oleh salah satu pasangan calon, namun untuk debat tahap II isu pangan sepertinya tertupi oleh riuhnya pembahasan sebagian kalangan terkait energi dan Sumber Daya Alam. Patut diingat, isu kedaulatan pangan serta kebijakan ekonomi terbuka yang diterapkan oleh pemerintah meninggalkan lubang penyelewengan melalui aktivitas impor.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, dalam kertas posisi yang diberikan kepada Hukumonline, menjelaskan praktek impor pangan seringkali dimanfaatkan oleh kelompok elit tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Padahal ini dapat mengakibatkan timbulnya tindak pidana korupsi dalam aktivitas impor pangan yang melibatkan pejabat publik. Potensi korupsi terbuka saat pejabat bekerja sama dengan sekelompok pengusaha yang diuntungkan dari bisnis ini.
Contoh konkritnya adalah persoalan korupsi impor sapi yang melibatkan pimpinan partai politik tingkat nasional dan sejumlah nama pengusaha. Selain itu menurut catatan IGJ, bahkan potensi korupsi di sektor pangan dari beberapa kegiatan ketahanan pangan diklaim oleh KPK terkait dengan isu Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi benih, pupuk bersubsidi, asuransi pertanian, dan pengadaan komoditas pangan strategis.
Rachmi menyitir temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018 yang menyebutkan adanya sengkarut tata niaga impor pangan. Hasil Pemeriksaan BPK menemukan sembilan kesalahan pemerintah. “Persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor dan importi,” Rachmi memberikan contoh, Rabu (13/2).
Korupsi yang terjadi di sektor pangan membuktikan bahwa kebijakan ekonomi terbuka cenderung memusatkan keuntungan kepada pengusaha dan pejabat. Bahkan impor dilakukan bukan terkait kebutuhan dalam negeri. Rachmi menilai, pemerintah selama ini hanya mengklaim bahwa impor pangan karena tidak tercukupinya produksi pangan dalam negeri. Untuk itu, kata Rachmi, penting bagi publik mengetahui strategi yang akan dibawa oleh kedua Calon Presiden pada debat tahap kedua mendatang.
Rachmi menilai, dalam konteks kebijakan ekonomi terbuka, strategi swasembada pangan yang diangkat oleh pemerintah Indonesia selama ini belum menempatkan petani sebagai pelaku utama. Termasuk konsep swasembada yang bertumpu pada agenda ketahanan pangan ketimbang kedaulatan pangan, juga menjadi salah satu persoalan ketika pemenuhan ketersediaan pangan tidak dilihat dari sumbernya, dalam hal ini kemandirian pangan.
Menurut Rachmi, konsep swasembada yang selama ini diterapkan lebih bertumpu pada aspek keterjangkauan. Ini menjadikan pangan yang diproduksi oleh petani lokal menjadi termarjinalkan. Pemerintah dinilai lebih memilih substitusi produk impor. Membuka impor di sektor pertanian tanpa upaya perbaikan terhadap kualitas pembangunan pertanian Indonesia pada akhirnya menghilangkan kesempatan pelaku usaha pangan lokal.
IGJ menilai, pembangunan sektor pangan khususnya pertanian, belum memiliki strategi yang baik. Hal ini jika melihat upaya pemerintah dalam melibatkan pelaku utama produksi pangan (petani, nelayan, petani garam, peternak, dan lainnya) dalam hal penyusunan tata produksi, distribusi, dan konsumsi. Tanpa adanya keseriusan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata produksi, distribusi, dan konsumsi pangan di Indonesia, termasuk tata niaga impor pangan, berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan ketimpangan di pedesaan.
“Pelaku utama produksi pangan juga seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan publik yang terkait dengan pangan. Termasuk menyediakan akses terhadap keadilan pada saat kebijakan tersebut merugikan petani,” terang Rachmi.
Infrastruktur Lahan
Agenda pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan oleh pemerintah telah berdampak terhadap sektor pangan. Aktivitas investasi di Indonesia guna meningkatkan daya saing Indonesia di dalam agenda global value chain, telah memberikan kontribusi terhadap hilangnya akses petani terhadap sumber daya ekonominya, dalam hal ini lahan produksi. Laporan BPS menyebutkan bahwa telah terjadi penyusutan terhadap luas lahan baku sawah, dimana pada tahun 2018 luas lahan hanya sebesar 7,1 juta hektar, sebelumnya di tahun 2017 luas lahan sawah berada pada angka 7,75 Hektar, dan 8,12 juta hektar pada 2013.
Penyusutan ini diakibatkan terjadinya konversi lahan untuk kebutuhan pembangunan kawasan industri, jalan tol termasuk infrastruktur lainnya, hingga pembangunan properti. Bahkan, Data sensus pertanian BPS 2018 (SUTAS) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah petani gurem sebanyak 1.560.534 orang selama lima tahun terakhir (2013-2018).
Persoalan lain adalah penguasaan lahan ke tangan korporasi pun meningkat, berbanding terbalik dengan penguasaan lahan bagi petani. Penguasaan lahan oleh korporasi (dengan luas 5.000-30.000 ha) mengalami pertumbuhan sebesar 24,57%. Tetapi, pertumbuhan ini harus dibayar dengan hilangnya akses petani gurem dan kecil terhadap lahannya (luas lahan 0-5000) sebanyak 5.177.195 yang terhitung sejak 2003-2013.
Terjadi penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja disektor pertanian sebesar 3,52 juta orang. Pada 2016, angka tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian sebesar 39,22 juta orang dibandingkan dengan tahun 2018 hanya sebesar 35,70 juta orang. Bahkan dari sisi pendapatan, rata-rata upah di sektor pertanian masih memiliki nilai upah di bawah rata-rata upah nasional 2018, yakni sebesar 1,76 juta. Data BPS juga menunjukkan bahwa petani lokal 88,27% adalah pekerja informal.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi, Titi Anggraini menilai isu pangan dalam debat tahap kedua mendatang akan menjadi fokus Calon Presiden nomor urut 02. Jika dilihat dari dokumen visi misi dan program yang dipublis oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN), diksi pangan bahkan disebut sebanya 14 kali. Hal ini cukup dominan jika dibandingankan dengan penyebutan diksi SDA yang hanya satu kali, energi yang disebutkan 5 kali, lingkungan hidup 3 kali, dan infrastruktur 6 kali.
Hal berbeda dengan dokumen Visi Misi dan Program Tim Kampanye Nasional. “Dari hasil bacaan saya maka Jokowi-Amin itu ada dia kalau dari 5 tema ini dia menyebut istilah energi itu sampai 27 kali, lalu kalau istilah pangan 16 kali, SDA itu sampai 12 kali meskipun selain SDA ada sumber daya hutan gitu, lalu kemudian infrastruktur 26 kali meskipun infrastruktur itu disebut infrastruktur diplomasi, ekonomi dan lain-lain,” ujar Titi.