Jakarta, 18 Juni 2019. Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai tidak cukup hanya dengan mengejar nilai ekspor dengan memperbanyak FTA untuk memperbaiki kondisi neraca perdagangan Indonesia. Hal ini karena, persoalan defisit neraca perdagangan Indonesia dikarenakan masalah struktural dalam kinerja perdagangan yang mempengaruhi fondasi perekonomian nasional dalam jangka panjang. Kondisi Perang Dagang berkontribusi terhadap perburukan kinerja perdagangan Indonesia.
Oleh karena itu, perlu strategi tepat untuk memperbaiki struktur kebijakan perdagangan Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing.
Hal ini disampaikan dalam acara diskusi mengenai Di bawah Bayangan Perang Dagang & Ancaman Defisit Berkepanjangan, yang diselenggarakan oleh IGJ di Jakarta (18/6). Diskusi ini dilakukan bersamaan dengan momentum perundingan Indonesia-EU CEPA pada 17-21 Juni 2019 di Jakarta.
Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa strategi Pemerintah Indonesia sangat reaktif dalam menyelesaikan persoalan defisit neraca perdagangan. Penambahan sebanyak 12 perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional, bukanlah jawaban tepat untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Pembukaan pasar melalui FTA memang memungkinkan untuk membuka peluang ekspor yang lebih besar, tetapi bukan berarti dengan sendirinya mampu menaikan nilai ekspor.
“Meningkatkan ekspor tetapi hanya dengan bermodalkan komoditas yang bernilai tambah rendah akan sulit memanfaatkan potensi pasar yang ada. Lagi pun, membuka akses pasar dalam kerjasama FTA dengan menetapkan tariff 0% hampir di 100% pos tariff juga membuka potensi ancaman peningkatan nilai impornya. Diperlukan juga skema antisipasinya. Maka, ke depan Pemerintah Indonesia harus menata kebijakan perdagangan secara struktural, dan bukan sekedar strategi reaktif yang jangka pendek, jelas Rachmi.
Rachmi mendesak Pemerintah Indonesia agar tidak hanya bicara soal ekspor, tetapi juga menyusun strategi Kebijakan Non-Tarriff Measures (NTMs) yang harus diperkuat untuk menjadi strategi dalam menyiasati gempuran impor. pemerintah perlu menyusun strategi NTMs yang dapat melindungi pemanfaatan produk domestic dalam kegiatan ekonomi nasional tanpa harus takut kita digugat di WTO. Negara industri lebih banyak menerapkan NTMs ketimbang Indonesia, dan malah mereka juga yang lebih sering menggugat Indonesia, terang Rachmi.
Rachmi juga menambahkan, bahwa aturan dalam kerjasama FTA jangan sampai menjadi boomerang bagi matinya industry lokal. Hal ini karena banyak aturan FTA yang akhirnya membatasi gerak pemerintah untuk dapat menyusun kebijakan untuk memperkuat industry lokal. Oleh karena itu, IGJ mendesak pemerintah Indonesia agar memiliki posisi runding yang dapat memperkuat fase penguatan industry lokal dan tidak bisa ditawar, seperti kewajiban local content requirement (TKDN), pembatasan ekspor bahan mentah, kewajiban transfer teknologi dan memastikan pelaksanaan aturan fleksibilitas dalam aturan IPR, membatasi pembukaan akses pasar untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah, menghapus mekanisme rachet dan standstill serta mekanisme lain yang membatasi ruang kebijakan negara, membatasi penerapan performance requirements, dan menghapus mekanisme ISDS;
Masalah Utama Kinerja Perdagangan Indonesia
Dalam paparan diskusi, Peneliti IGJ, Hafidz Arfandi, menyampaikan ada 2 (dua) faktor yang menjadikan Indonesia terus dibayangi defisit neraca perdagangan yang diprediksi akan semakin parah dari tahun ke tahun, yaitu, Pertama, nilai impor yang meningkat signifikan; dan Kedua, ekspor yang bernilai tambah rendah berbasis komoditas extractive, mentah, dan setengah jadi.
“kita punya masalah mendasar, yaitu daya saing industri. Agresifitas FTA yang dilakukan oleh pemerintah sedianya harus diiringi dengan tiga hal penting; Pertama, Peningkatan kapasitas produksi domestik, terutama yang berbasiskan manufaktur. Kedua, Pertimbangan daya saing komoditas di pasar global, Ketiga, Skema antisipatif untuk mengelola ekspansi impor ke pasar domestik. Tanpa itu semua, maka agresifitas FTA hanya akan menjadi kuburan bagi Indonesia, tegas Hafidz.
Lebih lanjut Hafidz menjelaskan, dengan mengacu pada Revealed Comparative Advantage (RCA), daya saing komoditas Indonesia di pasar utama dunia masih berada kurang dari 1 atau berada di bawah rata-rata global, dimana untuk menjadi pemain pasar yang kompetitif setidaknya nilai RCA harus lebih dari 1 dan semakin tinggi nilainya akan semakin baik.
Dari daftar 19 komoditas Indonesia yang memiliki nilai RCA diatas rata-rata dunia (>1) hanya 4 komoditas yaitu Minyak Kelapa Sawit yang pada 2012 di angka 4.39 turun menjadi 3.97 di 2016, Alas kaki naik dari 1.50 menjadi 1.72, Kopi, teh dan rempah yang turun dari 1.49 menjadi 1.32 dan timah 5.66 menjadi 6.66. Sedangkan komoditas lainnya jauh dibawah 1 (<1) yang artinya sulit untuk berusaha melakukan ekspansi pasar secara signifikan. Bahkan beberapa mengalami kecenderungan menurun diantaranya BBM, Produk Kimia, Pakaian Jadi, Furniture, Besi dan Bahan Baku Logam, Gandum Olahan dan Besi Baja.
“Dengan melihat nilai RCA Indonesia di negara tujuan ekspor menunjukan bahwa mayoritas nilai RCA Indonesia masih berada di bawah angka 1 (<1) artinya pangsa pasar Indonesia masih berada di bawah rata-rata pangsa pasar global. Oleh karena itu, upaya pemerintah menggenjot ekspor ke pasar non tradisional seperti zona Afrika, Asia Tengah dan Amerika Latin, masih dipertanyakan keberhasilannya tanpa adanya perbaikan struktural dalam kebijakan perdagangan Indonesia, khususnya terkait dengan diversivikasi komoditas dagang diluar barang mentah, setengah jadi, dan barang ekstraktif, tegas Hafidz.
Oleh karena itu, agresifitas FTA yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia perlu dibarengi dengan kajian dampak yang comprehensive untuk menghitung potensi yang betul-betul bisa dimanfaatkan oleh Indonesia.
Patut sekiranya para pihak baik dari unsur eksekutif (saat melakukan perundingan) maupun legislatif (saat melakukan ratifikasi) mengkaji ulang apakah rencana pembukaan pasar bebas melalui FTA, PTA, CEPA dan lain sebagainya dengan berbagai negara baik secara bilateral maupun multilateral melalui ASEAN telah benar-benar memberikan manfaat pada Indonesia serta teridentifikasi secara pasti mitigas resiko terhadap hasil perjanjian tersebut dalam tiga ranah; ruang moneter (terkurasnya cadangan devisa hingga jatuhnya nilai kurs), fiskal (terganggunya penerimaan pajak), hingga trade off terhadap peluang industrialisasi yang menjadikan proses deindustrialisasi berjalan semakin massif, jelas Hafidz.
Bangun industri berbasis substitusi impor, khususnya yang memperkuat rantai suplai berbasis produk masyarakat lokal
Pemerintah Indonesia menargetkan pertumbuhan kinerja ekspor Indonesia di tahun 2019 sebesar 5,5-6,6% (year on year). Bahkan Menteri Perdagangan menargetkan peningkatan ekspor non-migas Indonesia bisa mencapai 7,5%.
Menurut Hafidz, untuk menjaga momentum pertumbuhan tentunya target 7% bukan hanya merupakan ambisi pemerintah saja, melainkan sebuah keharusan yang dicapai Indonesia untuk bisa segera keluar dari jebakan midlle income trap.
Pertumbuhan 7% hanya bisa dicapai dengan skenario menumbuhkan kembali industri setidaknya diatas pertumbuhan PDB, artinya jika pertumbuhan PDB ditargetkan 7% maka perlu pertumbuhan industri setidaknya 8-10%. Hal ini mengingat postur industri berada di kisaran 20% sehingga dengan pertumbuhan 810% akan memberikan tambahan postur PDB sebesar 1,6-2%. Sehingga mutlak Industri harus mulai ditata ulang antara yang berorientasi pada substitusi impor (pemenuhan pasar domestik) dan orientasi ekspor, terang Hafidz.
Melihat perkembangan sekarang dimana industri hanya tumbuh di kisaran 4%, berarti masih diperlukan kerja keras untuk memacunya tumbuh lebih cepat 2-3 kali lipat. Jika disimulasikan pertumbuhan PDB 7% dengan pertumbuhan industri 10% akan melahirkan komposisi pertumbuhan postur PDB hingga 26.37% di tahun ke 10. Hal inilah yang nantinya akan realistis untuk mengejar pertumbuhan ekspor non migas yang tinggi setidaknya konsisten dua digit.
Namun, penguatan industry macam apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, lebih lanjut Hafidz menekankan pentingnya Mengembangkan industri berbasis substitusi impor dengan memperkuat rantai suplai berbasis produk masyarakat lokal, khususnya di sektor Agroindustri (pertanian, perkebunan, perhutanan, dll) dan Marine Industry (perikanan dan kelautan).
“Setidaknya diperlukan inisiatif pemerintah untuk melakukan dua hal; (1) Memetakan potensi link and match hasil produksi masyarakat dan potensi pengembangannya dalam skala industri, dan, (2) Menyediakan insentif untuk mendorong kolaborasi industri dan usaha menengah-kecil sehingga memastikan ketersambungan rantai produksi rakyat. Keduanya guna memastikan bahwa rencana industrialisasi tidak melahirkan trade off terhadap basis penghidupan rakyat, terang Hafidz.
Faktor penting lainnya menurut Hafidz adalah memastikan berjalannya pembangunan industry hilir khususnya di sektor energy. Hal ini bisa dilakukan dengan mempercepat realisasi pembangunan 6 kilang baru pertamina dengan insentif yang memadai bagi investor dan optimalisasi pemanfaatan LNG. Keduanya juga harus dipersiapkan untuk mendukung bahan baku industri turunan agar memiliki daya saing yang lebih baik.
Kekuatan sumber daya alam harus menjadi posisi kunci Indonesia dalam menaikan posisi tawar dalam perdagangan global. Mau tidak mau pembatasan ekspor bahan mentah memang harus dilakukan agar Indonesia bisa menjadi pemain kunci dalam globalisasi, tegas Hafidz**
Informasi lebih lanjut:
Rachmi Hertanti, Direktur IGJ: 0817-4985180
Hafidz Arfandi, Peneliti IGJ: 0897-7232962
Download >>>Rilis IGJ_Media Briefing_Dibawah Bayang-bayang Perang Dagang