Jakarta, 2 Juli 2019. Koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk keadilan ekonomi (Koalisi MKE) mendapatkan kesempatan berdiskusi dengan negosiator Indonesia untuk RCEP, Dr.Ir.Donna Gultom, M.sc, yang juga merupakan Direktur Perundingan ASEAN di Kementerian Perdagangan. Pertemuan ini dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi perkembangan perundingan RCEP dan agenda yang akan dibawa oleh negosiator Indonesia untuk putaran perundingan RCEP selanjutnya yang akan memasuki putaran ke 26 dan dilaksanakan pada 28 Juni hingga 3 Juli 2019 di Melbourne, Australia.
Diskusi dilakukan di kantor Kementerian Perdagangan (13/6) yang dihadiri oleh beberapa anggota koalisi MKE yaitu Indonesia for Global Justice (IGJ), IHCS, dan IAC. Beberapa hal disampaikan oleh negosiator Indonesia seputar perkembangan perundingan RCEP seperti isu barang, investasi, jasa, dan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Namun, sayangnya informasi yang disampaikan oleh negosiator tidak membuka secara detail apa-apa saja yang dikomitmenkan oleh mereka dalam liberalisasi barang, investasi, dan jasa. Termasuk isi teks dari sekian banyak pembahasan bab yang dirundingkan RCEP. Informasi yang disampaikan hanya berupa situasi umum, dan tidak menjelaskan secara spesifik dari beberapa isu yang masih dirundingkan saat ini di RCEP.
Dari diskusi yang terjadi, paling tidak koalisi mencatat beberapa hal yang penting untuk dapat dijadikan indikasi oleh gerakan sosial di Indonesia mengenai arah perundingan RCEP. Tentunya, indikasi ini perlu dilanjutkan dengan pendalaman analisis yang dapat disusun sebagai posisi kelompok masyarakat sipil atas perundingan RCEP.
Perundingan Barang – Indonesia: Ambisi Rendah Akibat Keunggulan Komoditas Terbatas
Sudah 7 tahun perundingan RCEP berlangsung sejak tahun 2012. Tetapi melihat perkembangannya, perundingan liberalisasi sektor barang hingga saat ini masih sulit sekali untuk mencapai kesepakatan diantara seluruh anggotanya. Hal ini dikarenakan, berbedanya level komitmen yang ditawarkan antara negara berkembang di ASEAN (seperti Indonesia dan Vienam) termasuk India dengan negara industry seperti Jepang, Australia, New Zealand, dan Korea.
Desakan negara industry yang ingin meliberalisasi barang melalui penghapusan pos tariff perdagangan hingga 95% sepertinya tidak bisa dicapai. Negosiator Indonesia menyatakan berunding secara regional yang melibatkan hingga 16 negara memang tidak mudah, terlebih antara permintaan dan penawaran terkadang tidak selalu bisa didapatkan. Apalagi, masing-masing negara anggota punya kepentingan komitmen masing-masing yang menjadikan realisasi liberalisasi tariff barang hanya bisa dicapai pada angka 75-80%.
“Bisa dapat segitu saja kita sudah untung, paling tidak kita bisa dapat agak lebih sedikit daripada komitmen yang sudah ada ASEAN plus one FTA. Tapi memang deal nya rendah sekali untuk RCEP ini”, terang Donna.
Menurut negosiator Indonesia, selama ini Indonesia dianggap sangat protektif dalam berunding di RCEP. Sedikit sekali yang dapat ditawarkan oleh Indonesia kepada negara anggota lainnya. Hal ini dikarenakan rendahnya daya saing yang dimiliki oleh Indonesia. Jauh sekali kemampuan kompetisi Indonesia dengan negara mitra RCEP, terkhusus untuk isu pertanian, industry supplement, tambang, termasuk jasa. Hal itu yang pada akhirnya memperlihatkan ambisi Pemerintah Indonesia sangat rendah. Namun, sebaliknya sangat agresif mendesak pembukaan akses pasar untuk komoditas sawit/CPO, bahkan siap mempertukarkan kepentingan yang lain demi akses pasar sawit ke negara mitra.
Situasi perundingan barang di RCEP masih sulit menembus kepentingan India. Menurut negosiator Indonesia, India sulit menegosiasikan komitmen liberalisasi barang dengan ambisi yang tinggi dengan Jepang, Australia, dan New Zealand. Bahkan, termasuk dengan Indonesia, posisi India membuat negosiator Indonesia bisa bergerak maju. India dapat membuka komitmen liberalisasi barang hingga 90% dengan negara ASEAN, termasuk Indonesia. Dalam perundingan dengan India, komoditas CPO menjadi komoditas utama yang diperjuangkan Indonesia yang dapat ditukarkan dengan kepentingan Indonesia lainnya. Tapi memang masih sulit untuk mendapatkan kesepakatan dengan India.
Perundingan Investasi dan Jasa
Dalam perundingan investasi, menurut keterangan dari negosiator Indonesia akan ada kemungkinan para negara anggota RCEP akan membahas mengenai rencana penghapusan ketentuan Mekanisme Rachet dalam isu investasi. Ketentuan ‘ratchet mechanism’ mengandung makna bahwa setelah berlaku efektifnya perjanjian, liberalisasi yang dikomitmenkan oleh salah satu pihak akan diikat sebagai titik terendah pembatasan liberalisasi negara yang bersangkutan; dengan demikian negara yang bersangkutan tidak diperbolehkan untuk mengurangi level liberalisasinya atau mundur lebih rendah lagi dari komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya, namun liberalisasi lebih tinggi dapat dilakukan.
Isu yang juga sensitive dalam perundingan investasi adalah mengenai ketentuan mekanisme Investor-state dispute settlement (ISDS). Negosiator Indonesia menyatakan hingga saat ini belum ada teks yang diletakan di meja perundingan. Diantara negara ASEAN pun belum ada kata sepakat. Masih Indonesia dan Filipina yang punya posisi terhadap ‘Prior Separate Consent Letter’, walaupun dalam hal ini Indonesia dan Filipina juga berbeda posisi. Consent yang diminta Filipina hanya untuk ICSID, tetapi Indonesia consent yang diminta untuk semua bentuk mekanisme arbitrase internasional.
Dalam perkembangannya saat ini, Malaysia mulai membuka posisi untuk menolak ISDS, termasuk Vietnam yang mengklaim ikut mendukung posisi Indonesia. Namun, tentu posisi yang berbeda dengan Singapura untuk isu ini. Bahkan New Zealand masih dalam posisi menolak ISDS, dan juga bersepakat dengan prior consent letter. Justru, saat ini Australia mendesak kepada Indonesia untuk bisa mendapatkan komitmen lebih dari apa yang telah disepakati sebelumnya dalam Indonesia-Australia CEPA.
Bagi negosiator Indonesia, pembahasan mengenai mekanisme ISDS memang masih membutuhkan proses dalam perundingan RCEP. Walaupun saat ini Indonesia sudah punya Revisi BIT antara Indonesia dan Singapura, termasuk Bab Investasi di dalam Indonesia-Australia CEPA, namun, perlindungan investasi dalam RCEP masih dianggap penting bagi negosiator Indonesia, sehingga Indonesia akan terus berupaya mencari keseimbangan pembahasan dalam isu ini.
Dalam perundingan jasa, negosiator Indonesia dengan secara tegas menyatakan bahwa tidak ada mekanisme standstill dalam isu jasa. Ketentuan “standstill” mengandung makna bahwa negara-negara anggota perjanjian diwajibkan semaksimal mungkin untuk konsisten dengan regulasi domestik–tidak akan mengambil kebijakan atau mengeluarkan peraturan yang tidak konsisten dengan isi perjanjian.
Sebaliknya, untuk mekanisme Ratchet dikatakannya masih memungkinkan ada, walaupun hingga saat ini belum disepakati. Bahkan, ada rencana untuk mengubah pendekatan liberalisasi jasa dari positive list menjadi negative list. Namun, memang sedikit aneh ketika pendekatannya adalah negative list tetapi mekanisme Ratchet akan tetap berlaku, sehingga dorongan liberalisasinya akan semakin tinggi.
Negosiator Indonesia mengklaim bahwa sejauh ini Indonesia hanya akan mereservasi sebanyak 7 sektor di dalam ketentuan perundingan jasa. Namun, tidak ada elaborasi lebih 7 sektor itu apa saja. Memang berat bagi Indonesia untuk membuka liberalisasi sektor jasa, hal ini karena daya saing Indonesia di sektor jasa sangat rendah.
Perundingan HaKI
Menurut negosiator Indonesia, saat ini perundingan bab HaKI di RCEP sudah sangat menurunkan ambisinya. Termasuk salah satu isu yang sensitive seperti UPOV kemungkinan tidak akan dibahas di dalam RCEP. Bahkan, beberapa isu perlindungan paten atas obat-obatan juga berpotensi untuk dihapus dalam ketentuan perjanjian RCEP.
Selama ini kelompok masyarakat sipil kerap mendesak agar ketentuan sensitive mengenai paten terhadap obat-obatan untuk dihapuskan dari perjanjian RCEP, seperti ketentuan TRIPS Plus yaitu patent term extention, data exclusivity, enforcement, dan sebagainya. Termasuk mengenai ketentuan kewajiban meratifikasi UPOV untuk dihapus dalam perjanjian karena berdampak pada hilangnya kedaulatan petani atas benih.
Saat berita ini diturunkan, informasi yang berkembang di dalam proses perundingan RCEP di Melbourne, Australia, mengabarkan bahwa negara anggota RCEP telah sepakat untuk menghapuskan ketentuan patent term extention, data exclusivity dalam isu perlindungan paten atas obat, serta ketentuan perlindungan paten untuk benih untuk tidak menerapkan standar tinggi yang diadopsi dari UPOV Convention. (https://timesofindia.indiatimes.com/business/india-business/india-protects-drug-agri-biz-at-rcep/articleshow/70016068.cms?from=mdr)
****
Informasi lebih lanjut hubungi, Sekretariat IGJ:
Komplek PLN Jl.Laboratorium No.7
Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12760
Telp. 021-7984552
Email: igj@igj.or.id atau keadilan.global@gmail.com
Website: www.igj.or.id
Download >>>RCEP_Berita Monitoring IGJ