Uraian Seri Diskusi Keadilan Ekonomi
Indonesia for Global Justice, 29 April 2020
Jakarta, 29 April 2020. Merebaknya wabah Covid-19 telah berdampak terhadap munculnya krisis multidimensi atas kehidupan kelas pekerja di Indonesia. Belum lagi surut persoalan PHK akibat krisis ekonomi yang dialami sebelum hadirnya covid-19, sekarang gelombang PHK massal melonjak secara signifikan sebagai dampak dari stagnan-nya kegiatan perekonomian global dan nasional ditengah pandemi. Dengan meningkatnya angka pengangguran tentu berpeluang besar menimbulkan gejolak sosial di masyarakat bila situasi ini berlangsung lama.
Program bantuan sosial yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menghadapi krisis sosial akibat meningkatnya angka pengangguran secara tajam dipertanyakan efektivitasnya. Sedangkan disisi yang lain, tidak ada tindakan tegas dari Pemerintah kepada pengusaha yang kerap memanfaatkan situasi pandemic sebagai alasan yang dipakai untuk melakukan PHK ribuan pekerjanya. Termasuk respon pragmatis pemerintah yang kembali mendorong percepatan penyelesaian pembahasan Omnibus Law sebagai solusi palsu yang ditawarkan, khususnya dalam menghadapi persoalan ekonomi nasional akibat krisis ekonomi global yang terjadi pasca krisis keuangan global tahun 2008.
Diperkirakan krisis ekonomi global akan lebih buruk dari krisis yang terjadi sebelumnya pada tahun 2008. Tentunya hal ini akan mendorong banyak perubahan terhadap tatanan global, termasuk kegiatan supply chain global. Apalagi sulit sekali bisa memprediksi kapan pandemic ini akan berakhir, dan pada akhirnya memaksa kita harus dapat hidup dalam kondisi “Normal yang baru” dengan berbagai macam perubahan yang terjadi di masyarakat global dan nasional. Oleh karena itu, tantangan gerakan buruh Indonesia ditengah pandemic semakin berat kedepannya.
Hal inilah yang disoroti secara tajam oleh tiga narasumber kunci dalam Seri Diskusi Keadilan Ekonomi yang diselenggarakan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), dan Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) pada 29 April 2020, menjelang Hari Buruh Internasional.
Derita Buruh Ditengah Pandemi
Buruh menjadi kelompok yang sangat terdampak dari kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah terkait penanganan pandemic. Paling tidak ada tiga hal yang saat ini menjadi perhatian khusus dari gerakan buruh. Hal ini dijelaskan secara gamblang oleh Ky Seza, pengurus cabang Federasi Perjuangan Buruh Indonesia yang berada di kawasan Bekasi.
Pertama, soal kesehatan dan keselamatan. Upaya penanggulangan penyebaran covid-19 yang dilakukan pemerintah dengan pemberlakuan social distancing atau PSBB, sangat tidak sesuai dengan harapan. Kebijakan ini tidak dipatuhi oleh banyak pihak, termasuk oleh pengusaha. Faktanya, buruh hari ini masih harus tetap bekerja. Kondisi dilematis dihadapi oleh buruh, dimana ketika buruh bekerja mereka harus berhadapan dengan ancaman terinfeksi virus akibat tidak dipenuhinya standar perlindungan oleh pengusaha saat bekerja. Tetapi disisi lain ketika mereka tidak bekerja atau diliburkan, terancam upahnya tidak dibayar oleh pengusaha. Hingga saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang puluhan buruhnya terinfeksi positif covid-19.
Kedua, soal PHK massal dan dirumahkan tanpa upah. Hampir diseluruh basis FPBI di beberapa provinsi, telah terjadi praktek perumahan buruh dengan tindakan pemotongan upah oleh pengusaha. Misalnya yang terjadi di sektor elektronik, telah terjadi perumahan buruh yang upahnya hanya dibayarkan sebesar 50%, dan bahkan ada yang hanya dibayarkan 10%. Hal ini tentu berdampak pada penurunan kualitas kesejahteraan buruh.
Praktek ini kemudian dilegitimasi dengan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No.M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah guna pencegahan dan penanggulangan covid-19, yang menyebabkan sebagian atau seluruh buruh tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha, maka perubahan besaran dan cara pembayaran upah harus dilakukan dengan membuat kesepakatan antara pengusaha dengan buruh.
Ketiga, rendahnya daya tawar buruh yang tidak punya serikat. Persoalannya, selama ini keputusan pengusaha selalu dilakukan secara sepihak. Bahkan bagi buruh yang bekerja diperusahaan tanpa serikat keputusannya bisa lebih buruk lagi. Ini menjadi memperburuk kondisi buruh di Indonesia, karena masih banyak buruh yang tidak memiliki serikat. Berdasarkan data yang dihimpun oleh FPBI, hanya sekitar 1,6 juta buruh berserikat, dan sekitar 3,6 juta buruh yang tidak berserikat. Pada akhirnya, gelombang PHK Massal tidak dapat dihindari. Data terakhir yang dirilis oleh Menaker ada sekitar 2,6 juta buruh yang telah dirumahkan dan di PHK. Tetapi sepertinya angkanya saat ini telah naik.
Solusi Palsu Omnibus Law: “Percepatan Digitalisasi???”
Penanganan pemerintah terhadap covid-19 semakin memperjelas bahwa negara tidak sedang bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Fokus penanganan covid-19 lebih dititik-beratkan Pemerintah dan DPR pada upaya penanganan pertumbuhan ekonomi yang kemudian dijawab dengan solusi yang kembali berpihak pada kepentingan modal. Salah satunya adalah dengan mempercepat pembahasan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dilakukan tanpa adanya ruang demokrasi. Negara seolah memanfaatkan situasi covid-19 untuk menghindarkan protes dari publik yang “dipaksa” untuk tetap tinggal dirumah sebagai pelaksanaan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Koordinator Penelitian IGJ, Olisias Gultom, menilai bahwa agenda Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja salah satunya adalah untuk mendorong percepatan digitalisasi ekonomi di Indonesia. Kehadiran Covid-19 yang memaksa publik untuk melakukan aktivitas secara terbatas pada akhirnya mendorong proses adaptasi percepatan digitalisasi semakin kencang. Bisa jadi, kondisi ini juga pada akhirnya dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mempercepat transformasinya.
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja disusun sebelum terjadinya wabah. Menurut Olisias, pada skema yang telah ada sebelumnya, Omnibus Law hendak mendorong terbentuknya model industri baru yang berbasis pada digital, baik pada industri manufaktur maupun industri pelayanan jasa publik lainnya. Ada keinginan pemerintah untuk bisa mendapatkan peluang masuknya investasi asing dari tren digital global yang sedang berkembang hari ini. Inilah yang diharapkan pemerintah dari Omnibus Law, yaitu mengundang banyak investasi asing untuk mendukung terjadinya transformasi ekonomi dan industri di Indonesia.
Olisias juga mencermati, bahwa ada agenda privatisasi lebih luas lagi di sektor pelayanan publik berbasis digital yang hendak diatur dalam Omnibus Law. Covid-19 dapat membuka ruang percepatan privatisasi tersebut ketika peningkatan penggunaan digital semakin terbuka. Hal ini tentu akan membuka kemungkinan dampak terhadap perlindungan data publik ketika perusahaan swasta akan banyak mengelola data publik dalam kegiatan pelayanan jasa. Misalnya hari ini adaptasi penggunaan teknologi dalam pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, bank, termasuk kegiatan supply chain lainnya. Ke depan bisa jadi digitalisasi akan dipakai untuk menjawab model kehidupan “Normal Baru” pasca covid-19.
Kondisi ini yang sepertinya akan dimanfaatkan oleh Pemerintah dan Pengusaha dalam mendorong percepatan Omnibus Law. Termasuk salah satunya adalah dalam mendorong perubahan model hubungan industrial. Walaupun kluster ketenagakerjaan akan ditunda pembahasannya, tetapi rencana transformasi ekonomi ini akan tetap memasukan isu ketenagakerjaan. Tinggal menunggu waktu saja kapan pembahasan kluster ketenagakerjaan akan dilanjutkan oleh DPR dan Pemerintah.
Proses digitalisasi industri tentu berpotensi menciptakan PHK Massal. Sebelum covid-19, sudah ada gejala bahwa beberapa tindakan PHK yang dilakukan oleh perusahaan di sektor tertentu merupakan upaya untuk melakukan transformasi industri, salah satunya di sektor automotif dan elektronik. Kehadiran industri berbasis digital tentu akan menciptakan hubungan kerja model baru. Inilah yang hendak diatur dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, salah satunya adalah mengenai status kerja. Dengan tren digital tentu akan muncul status kerja baru yang sering kali buruh tidak dianggap pekerja, tetapi sebagai mitra. Padahal dari beberapa praktek yang sudah ada, seringkali model status kerja baru ini juga menimbulkan masalah khususnya soal perlindungan hak-haknya.
Olisias juga menekankan, bahwa keinginan pemerintah melakukan transisi ke arah digitalisasi tidak dibarengi dengan upaya untuk melindungi hak buruh dan data publik. Pemerintah masih gagap dalam menghadapi kebutuhan di masa depan. Tentunya hal ini sekali lagi akan membuka ruang monopoli baru bagi pemodal dan sekali lagi kepentingan rakyat yang harus dikorbankan.
Mempertanyakan Keseriusan Negara Melindungi Rakyat
Merebaknya wabah covid-19 akan menimbulkan gejolak sosial yang tajam jika Negara tidak mampu mengatasi dampaknya secara baik. Potensi resesi global yang sangat buruk akan terjadi dan nampaknya pemerintah gagap dalam meresponnya. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan bahkan cenderung dipertanyakan keberpihakannya kepada rakyat. Situasi ini dibahas secara detail oleh Bhima Yudistira, Ekonom INDEF, mengenai lambatnya respon negara dalam mengatasi krisis yang muncul akibat covid-19, khususnya dalam memberikan perlindungan yang baik terhadap buruh.
Bhima menilai bahwa respon pemerintah sangat buruk terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat akibat covid-19. Terjadinya disrupsi aktivitas ekonomi global telah terlihat dampaknya terhadap Indonesia. Terjadinya PHK massal di tengah pandemic telah memperlihatkan peningkatan proyeksi terhadap angka pengangguran dan kemiskinan. Skenario terburuknya, tingkat pengangguran terbuka dapat meningkat tajam hampir dua kali lipat dari 5,2% menjadi 9%, yang jumlahnya bisa mencapai hingga 10 juta orang di akhir 2020.
Angka ini berdampak pada meningkatnya kemiskinan di Indonesia. Prediksi dari SMeru 2020, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya naik sebesar 1%, maka potensi angka kemiskinan naik sebesar 12,3%. Hal ini menjadi alarm buat Pemerintah terhadap situasi yang paling buruk kedepannya. Hanya saja, sangat disayangkan respon pemerintah terhadap situasi ini banyak sekali yang salah sasaran.
Lebih lanjut Bhima menjelaskan, bahwa dari kebijakan stimulus fiscal yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menangani covid-19 sangat kecil jika dibandingkan dengan negara lain (lihat Gambar-1), yaitu hanya 2,5% dari PDB negara, yaitu sebesar Rp.405 Triliyun. Dari angka ini kembali disayangkan, jumlah yang dialokasikan untuk insentif sosial hanya sebesar Rp.110 Triliyun jika dibandingkan dengan jumlah yang dialokasikan untuk stimulus dunia industri yang mencapai Rp.220 Triliyun. Bahkan alokasi untuk kesehatan hanya sebesar Rp. 75 Triliyun.
Gambar-1
Sumber: data IMF, diambil dari presentasi Bhima Yudistira, “Nasib Buruh Ditengah Pandemi Covid-19”, dalam diskusi IGJ, 29 April 2020.
Kecilnya alokasi untuk jaminan perlindungan sosial yang dikeluarkan Pemerintah nampaknya menjadi satu indikator bahwa Indonesia akan semakin tertinggal dengan negara lain. Menurut Bhima, negara yang memiliki jaminan perlindungan sosial yang besar akan lebih cepat melakukan pemulihan ekonomi pasca covid-19. Misalnya, alokasi jaminan perlindungan sosial di Jepang mencapai 21% dari PDB, bahkan China sebesar 7,7% dari PDB-nya. Tetapi Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia, Sri lanka, dan Filipina (Lihat Gambar-2) yang sepertinya negara-negara ini akan lebih cepat melaju pasca covid-19 dibandingkan Indonesia.
Gambar-2
Sumber: data ADB, diambil dari presentasi Bhima Yudistira,
“Nasib Buruh Ditengah Pandemi Covid-19”, dalam diskusi IGJ, 29 April 2020
Oligarki Milenial Digital: Aksi “Ambil Untung” Ditengah Pandemi
Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah sangat menggambarkan bahwa memang negara tidak sedang melakukan perlindungan untuk rakyat, melainkan kepentingan pengusaha. Bukti negara telah gagal melindungi rakyat adalah ketika jutaan buruh di PHK, nyatanya insentif yang dikeluarkan pemerintah melalui skema kartu pra-kerja ditengah pandemic kembali telah menjadi solusi yang tidak tepat sasaran.
Kartu pra kerja adalah program gagal yang dipaksakan oleh pemerintah. Kartu ini ingin mendorong seolah-olah kita sudah masuk pada fase digitalisasi. Pemerintah tidak sadar bahwa korban PHK banyak berusia diatas 40 tahun, yang memiliki memampuan adaptasi terhadap teknologi sangat rendah. Mekanisme registrasi digital yang digunakan dalam kartu pra-kerja ini juga membuat banyak buruh tidak bisa lolos seleksi, yang akhirnya mereka tidak dapat menikmati bantuan dari kartu pra-kerja.
Selain itu, konsep kartu pra-kerja sangat tidak terkait dengan kebutuhan lapangan pekerjaan yang terbuka. Misalnya, konten pelatihan yang disediakan sama sekali dipertanyakan hasil keahlian yang akan dimiliki oleh pekerja. Beda misalnya dengan Balai Latihan Kerja (BLK) yang sudah ada sebelumnya yang sangat terkait dengan kebutuhan dunia usaha. Sehingga, sertifikat yang dikeluarkan dari kartu pra-kerja ini pun juga tidak dapat diserap oleh dunia usaha.
Sebagai informasi, program kartu pra-kerja adalah program bantuan biaya pelatihan dan insentif yang disediakan negara untuk 5,6 juta orang para pekerja, pencari kerja, serta pelaku usaha mikro dan kecil yang kehilangan pekerjaan dan/atau mengalami penurunan daya beli. Setiap penerima manfaat kartu pra-kerja akan mendapatkan paket manfaat total senilai Rp.3,550 juta. Paket ini terdiri atas bantuan biaya pelatihan sebesar Rp.1 juta yang dapat digunakan untuk membeli aneka paket pelatihan di platform digital yang ditunjuk sebagai mitra pemerintah seperti: Tokopedia, RuangGuru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Pijar Mahir, dan Sekolahmu. Insentif akan ditransfer melalui rekening bank atau melalui aplikasi fintech lainnya seperti e-wallet, LinkAja, OVO, atau GoPay. Selain itu, pemerintah akan memberikan insentif pasca penuntasan pelatihan pertama sebesar Rp.600 ribu/bulan selama 4 bulan berturut-turut dengan todal Rp.2,4 juta. Lalu, insentif pasca pengisian survey akan diberikan evaluasi sebesar Rp.50 ribu per survey untuk 3 kali survey dengan total Rp.150 ribu[1].
Hal yang juga penting untuk dikritisi adalah, terkait dengan anggaran negara sebesar Rp 5,6 Triliyun yang dialokasikan untuk konten pelatihan yang sebenarnya bisa diakses secara gratis di beberapa aplikasi lainnya seperti youtube. Tentu pada akhirnya keuntungan kembali hanya dapat dinikmati oleh perusahaan platform digital yang menjual konten pelatihan dalam program kartu pra-kerja.
Lebih lanjut Bhima menilai bahwa skema kartu pra-kerja kembali menghadirkan oligarki model baru, yaitu oligarki milenial berkedok digital. Hal ini karena sebagian besar pemilik perusahaan platform digital yang menikmati uang negara banyak yang menduduki jabatan publik negara. Apalagi, program yang merugikan rakyat ini dilindungi dengan regulasi yang memberikan impunitas terhadap perusahaan termasuk pejabat publik yang berpotensi merugikan keuangan negara, yaitu melalui Perppu No.1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Dengan diaturnya aturan impunitas dalam pasal 27 di perppu tersebut, maka jika kemudian program kartu pra-kerja ditemukan bermasalah maka tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara dan tidak dapat digugat ke pengadilan baik pidana, perdata, dan administrasi. Kartu pra-kerja menggunakan budget negara sebesar Rp.20 Triliyun yang angkanya lebih besar dari skandal bailout Bank Century. Bisa dibayangkan bagaimana rakyat tidak dapat menuntut kerugian uang negara yang akibat gagalnya kartu pra-kerja.
Bangun Solidaritas Ekonomi Rakyat
Satu hal yang harus menjadi perhatian serius gerakan rakyat hari ini adalah potensi krisis yang berkepanjangan, baik dari sisi gelombang PHK maupun pangan. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan pandemic berakhir. Dengan melihat perbedaan kapasitas negara di dunia dalam menangani pandemic ini, maka kemungkinan disrupsi supply chain global akan terus mendorong kebangkrutan ekonomi global.
Berangkat dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1998, bahwa tulang punggung ekonomi berada ditangan usaha produksi rakyat, dan bukan korporasi besar termasuk negara. Oleh karena itu, dalam menghadapi krisis multidimensi berkepanjangan, gerakan rakyat harus membangun strategi ekonomi kolektif, termasuk membangun jaring produksi bersama.
Bhima menyampaikan misalnya di Yogyakarta, gerakan rakyat bantu rakyat telah membangun jaring supply chain dari petani yang digunakan untuk membantu buruh terdampak PHK, termasuk masyarakat miskin lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Termasuk FPBI dalam rangka membangun solidaritas ekonomi, saat ini telah membangun posko-posko di tiap pabrik dan melakukan advokasi persoalan gelombang PHK dengan membentuk FPBI-Care. Ky Seza juga menyampaikan, selain solidaritas tersebut, FPBI juga melihat bahwa kondisi PHK yang mendorong terhentinya produksi seharusnya bisa menjadi peluang bagi gerakan buruh untuk mengambil-alih pabrik dan membangun strategi kolektif tentang rantai pasok produksi.
Inisiatif ini tentu harus terhubung dengan kekuatan ekonomi desa. Desa merupakan kunci produksi dan basis daya tahan ekonomi yang jauh lebih kuat. Menanggapi hal ini, Olisias juga menekankan bahwa ada peluang untuk mengkaitkan antara kekuatan ekonomi desa dengan kekuatan teknologi digital untuk memaksimalisask kekuatan ekonomi rakyat. Belajar dari China misalnya dimana salah satu kekuatan ekonominya terletak di desa dengan membangun industri-industri skala kecil berbasis desa. Itu yang diperkuat dan dihubungkan dengan teknologi digital yang kemudian akumulasinya saat ini begitu kuat. Inilah yang dibutuhkan, merebut kembali ekonomi rakyat. ***@RH
————————————————————————————————-
[1] Sumber Tempo.co.id.
Download >>>Perlawanan Buruh Terhadap Gelombang PHK Massal & Omnibus Law