“No one is safe untill everyone is” adalah kalimat yang paling sering diucapkan oleh banyak pemimpin dunia untuk mendorong semangat berkolaborasi dan bekerja sama dalam penanganan pandemi COVID-19. Prinsipnya sederhana, untuk mengatasi pandemi, semua negara harus berhasil. Jika ada negara yang tertinggal maka ancaman pandemi masih ada. Untuk itu dodorong berbagai upaya salah satunya dengan mendorong pencegahan melalui vaksinasi.
Upaya untuk meningkatkan vaksinasi sudah dilakukan sejak awal pandemi, vaksinasi dianggap salah satu langkah efektif karena idealnya dapat dilakukan dengan cepat dan terukur. Namun hingga kini situasi vaksinasi global masih menjadi kritik oleh banyak pihak karena masih terdapat negara-negara yang capaian vaksinasinya tergolong rendah terutama di Benua Afrika. Target global untuk mencapai vaksinasi 70% secara global pada pertengahan 2022 juga tidak tercapai. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan akses vaksin di mana yang paling terdampak adalah masyarakat di negara miskin dan negara berkembang terutama kelompok rentan. Masyarakat di negara miskin 1,3 kali lebih terancam kematian dibanding masyarakat di negara kaya. Berbagai pihak mendorong pemimpin global untuk mewujudkan Akses Vaksin dan Kesehatan Berkeadilan, yaitu kondisi di mana vaksin dan berbagai kebutuhan lainnya terkait pandemi bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat dan hilangnya ketimpangan vaksin di tingkat global. Berbagai inisiatif didorong di forum-forum internasional untuk mewujudkan ini.
Salah satu yang paling krusial adalah Proposal Pengabaian Sementara Hak Kekayaan Intelektual atas kebutuhan pencegahan, penahanan, dan penanganan COVID-19 atau yang lebih dikenal sebagai Proposal TRIPS Waiver. Proposal ini diajukan oleh India dan Afrika Selatan di dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan didukung oleh banyak pihak termasuk Negara-negara berkembang, Organisasi Masyarakat Sipil, Pemenang nobel, akademisi, hingga mantan pemimpin negara.
Aturan hak kekayaan intelektual yang diatur dalam Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) adalah salah satu penghambat utama dalam produksi produk kesehatan yang dibutuhkan. Hampir semua produk kesehatan terkait COVID-19 dilindungi oleh aturan HKI yang membuatnya tidak dapat diproduksi selain dari para pemegang HKI produk tersebut. Dampaknya, produk-produk yang dibutuhkan tidak bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat karena produksinya yang terbatas serta adanya faktor “rebutan” antar negara yang dilakukan oleh negara maju.
Meskipun sudah didukung oleh banyak pihak, hasil pembahasan proposal ini pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-12 tanggal 12-17 Juni 2022 lalu dianggap mengecewakan karena berlaku sangat terbatas hanya pada paten pada vaksin. Padahal TRIPS Waiver didorong untuk memenuhi semua kebutuhan termasuk pada pengobatan dan penanganan seperti obat, ventilator, bahkan alat pelindung diri. Civil-20 sebagai bagian dari engagement group resmi di bawah G20 telah mendorong G20 untuk menyetujui proposal ini sejak Presidensi Italia 2021 hingga berlanjut ke Presidensi Indonesia 2022. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo juga sempat menyerukan negara-negara G20 untuk menyetujui proposal ini saat Presidensi Italia tahun 2021. Namun sebagian negara G20 seperti Inggris serta Uni Eropa dan negara-negara anggotanya masih menolak proposal ini dan mengabaikan ketimpangan akses serta jatuhnya korban pandemi COVID-19.
Sebagai Presidensi G20 2022, Indonesia melalui Health Working Group membawa inisiatif perluasan hub manufaktur dan riset untuk vaksin, diagnostik, dan terapeutik. Semangatnya adalah agar sentral manufaktur vaksin, diagnostik, dan terapeutik tidak hanya berada di negara-negara utara atau negara maju tetapi diperluas ke negara-negara selatan. Wujudnya adalah kerja sama selatan-selatan G20 antara Indonesia, Arab Saudi, Afrika Selatan Argentina, Brazil, India, dan Turki. Inisiatif ini bertujuan agar jika terjadi pandemi di masa mendatang, dunia akan lebih siap dan tidak lagi terjadi ketimpangan akses seperti pada pandemi COVID-19. Kritik terbesar pada inisiatif ini ada pada akar permasalahan pada akses produk kesehatan karena perluasan akses pada produk kesehatan bukan hanya soal manufaktur saja melainkan pada akses teknologi dan know-how yang selama ini dipertahankan di bawah aturan TRIPS. Berdasarkan pemaparan Leena Menghaney dari Medicine Sans Frontier pada Side Event Civil-20 Kick-Off Meeting pada 8 Maret 2022, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi manufaktur vaksin bersama beberapa negara G20 lainnya seperti India. Artinya sejak awal Indonesia telah memiliki potensi manufaktur namun tidak dapat dimaksimalkan karena terbatasnya akses pada know-how dan teknologi yang merupakan dampak dari kekayaan intelektual. Proposal TRIPS Waiver ataupun komitmen lain terkait isu kekayaan intelektual seharusnya dapat menjadi jawaban serta kemudahan bagi Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan inisiatif ini.
Sejatinya inisiatif ini merupakan inisiatif yang baik untuk akses vaksin berkeadilan dan mengatasi ketimpangan vaksin. Namun sejauh perkembangan diskusinya, isu terkait masalah kekayaan intelektual belum menjadi fokus oleh G20 Health Working Group, meskipun terdapat concern terkait transfer teknologi. Padahal Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung di dalam Civil-20 melalui Policy Pack dan berbagai statement telah mendorong permasalahan ini sebagai concrete deliverables yang perlu diangkat oleh G20. Komitmen negara G20 untuk memaksimalkan fleksibilitas TRIPS serta tidak menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa apapun terkait hak kekayaan intelektual dianggap oleh Civil-20 merupakan komitmen penting untuk mendukung inisiatif ini. Komitmen ini adalah target yang konkrit seperti yang diarahkan oleh G20.
Untuk mewujudkan Akses Vaksin Berkeadilan, negara G20 juga diminta untuk meninggalkan pola pikir yang sama dengan sektor privat. Selama ini jutaan dolar dana publik dikucurkan untuk pengembangan dan produksi vaksin COVID-19. Data dari Oxfam Internasional menyebutkan perusahaan farmasi besar seperti Pfizer, BioNTech, dan Moderna dilaporkan oleh Oxfam menghasilkan keuntungan USD 1.000 setiap detiknya pada akhir 2021. Kini beberapa perusahaan farmasi seperti Pfizer dan Moderna dilaporkan sudah menyiapkan langkah untuk meningkatkan harga vaksin pasca ditetapkan sebagai endemi. Keuntungan besar ini diraih saat pandemi memaksa 160 juta orang di dunia jatuh ke jurang kemiskinan.
Cara berpikir seperti sektor privat ini harus dihindari oleh G20 dan di saat yang sama harus mengedepankan pendekatan yang berpusat pada masyarakat. Namun hal ini sepertinya jauh dari harapan mengingat pada diskusi-diskusi Health Working Group, Organisasi Masyarakat Sipil tidak mendapat tempat untuk menyuarakan pendapat secara langsung.
Menjelang G20 Health Ministerial Meeting yang akan digelar pada 27-28 Oktober 2022, besar harapan dari Organisasi Masyarakat Sipil agar Akses Vaksin Berkeadilan bisa terwujud sesuai dengan semangat menempatkan keselamatan masyarakat atas kepentingan profit. Inisatif Health Working Group terkait Dana Perantara Keuangan untuk Kesiapsiagaan Pandemi atau Financial Intermediary Fund for Pandemic Pervention, Preparedness, and Response (FIF) juga diharapkan agar menempatkan Organisasi Masyarakat Sipil dan Negara Berkembang memiliki perwakilan yang setara di dalam dewan pengambilan keputusan.
Opini:
Agung Prakoso[1]
Koordinator Kelompok Kerja Akses Vaksin dan Kesehatan Global – Civil-20
Program Officer untuk Isu Kesehatan, Indonesia for Global Justice
[1] Penulis adalah Koordinator Vaccine Access and Global Health Working Group, Civil-20, salah satu engagement group resmi di bawah Presidensi G20