Siaran Pers – Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL)
Jakarta, 3 Oktober 2023, UU Cipta Kerja kini telah memasuki babak baru. Mahkamah Konstitusi baru saja membacakan putusan atas Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) sebagai pemohon dalam perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 yang hadir secara langsung di ruang persidangan, dan melalui ruang virtual, serta bersama aksi massa buruh dan berbagai elemen rakyat di jalanan sekitar Gedung MK.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU secara formil (pembentukannya) tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena Perpu yang merupakan kewenangan subjektif Presiden dengan menggabungkan perbaikan UU Cipta Kerja dan hal ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diobjektifkan dengan oleh DPR lewat persetujuan dalam jangka waktu yang sesuai.
Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menjelaskan, “bahwa putusan tersebut telah melanggar putusan MK itu sendiri terkait perbaikan UU Cipta Kerja dan prasyarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Di sisi lain pendapat MK dalam putusan tersebut juga saling bertentangan. Di satu sisi bahwa jangka waktu persetujuan DPR atas Perpu Cipta Kerja dipandang MK dalam jangka waktu yang dapat diterima, akan tetapi MK juga merekomendasikan perlu diatur jangka waktu pemberian persetujuan DPR.”
Putusan ini bisa menjadi preseden di kemudian hari, bahwa Presiden dan DPR di kemudian hari untuk menghindari persyaratan pembentukan perundang-undangan yang baik, untuk tidak menjalankan putusan MK, dan untuk menghindari partisipasi publik secara lebih bermakna, maka dipergunakanlah Perpu. Disisi lain dengan longgarnya Perpu, maka akan terjadi kedaruratan yang dimudahkan dan dipermanenkan.
Janses E. Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menambahkan, “bahwa seharusnya permohonan pengujian formil UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU diterima oleh MK”. Hal ini ditunjukan dengan adanya dissenting opinion dari empat Hakim Konstitusi,” tegas Janses, yang menunjukan bahwa jangka waktu persetujuan DPR melewati batasan waktu yang telah diatur secara konstitusional dan secara yuridis, dan pembentukan Perpu Cipta Kerja melanggar putusan MK dalam perkara pengujian formil UU Cipta Kerja.
Achmad Surambo, Direktur Sawit Watch menambahkan “bahwa putusan MK 54/PUU-XXI/2023 berbalik 180 derajat dari Putusan No 91/PUU-XVIII/2021, dengan materi yang tidak jauh berbeda, tetapi satu disyaratkan adanya konsultasi bermakna, satu lagi tidak perlu konsultasi bermakna, benar-benar jauh dari rasa keadilan. Putusan MK atas Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang sudah dapat terprediksi pasca DPR mengganti salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi Bapak Aswanto, dimana alasan DPR bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tersebut kerap menganulirundang-undang hasil dari DPR. Kalo kita bandingkan hakim-hakim MK yang dissenting opinion dalam Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2021 dengan Putusan MK 54/PUU-XXI/2023, komposisi-nya tidak berubah, dimana pasca penggantian Hakim MK, terdapat 5 Hakim MK yang setuju dengan UU Cipta Kerja.”
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Indonesia for Global Justice juga menyampaikan bahwa putusan MK hanya semakin melanggengkan penderitaan rakyat. “MK dalam putusannya membenarkan ihwal kegentingan memaksa dan kondisi krisis global yang dijadikan landasan UU Cipta Kerja ini lahir. Padahal, kondisi perekonomian Indonesia dalam prediksi Bank Indonesia dan Bank Dunia baik-baik saja. Sehingga, ihwal kegentingan memaksa dan kondisi krisis hanya sebagai dalih saja untuk memuluskan UU Cipta Kerja ini diimplementasikan. Seharusnya, MK menjadi pengawal konstitusi bisa menetapkan UU Cipta Kerja ini inkonstitusional permanen, karena sedari awal prosesnya tidak demokratis dan abai pada konstitusi.”
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, menekankan pula bahwa Putusan MK telah memperkuat legalitas UU Cipta Kerja, sekaligus berkontribusi pada percepatan perampasan tanah rakyat demi investasi. Putusan MK yang menyatakan seluruh dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum, membuktikan MK enggan mempertimbangkan fakta hukum di persidangan. Dimana Pemerintah tidak dapat membuktikan secara objektif apa sesungguhnya keadaan dan kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum, sehingga menerbitkan Perppu. Bahkan MK juga tidak mempertimbangkan Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) yang dilakukan oleh KPA bersama para pemohon lainnya, sebagai satu kesatuan dari uji formil UU/Prp Cipta Kerja. Padahal Pengaduan Konstitusional menunjukkan fakta hukum di lapangan yang tidak dapat diabaikan, dalam memahami diametral konflik akibat pelaksanaan UU Cipta Kerja yang inkonstitusional.
Sunarno, Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia menambahkan, Putusan MK terkait penetapan Perppu No.2/2022 menjadi UU No.6/2023 tentang Cipta Kerja adalah skandal Mafia Hukum yang tersistematis, Lembaga Yudikatif berkolaborasi dengan para Oligarki. Tentu ini menjadi preseden buruk bagi sebuah negara besar Republik Indonesia yang mengklaim sebagai negara hukum, yang demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Sangat jelas kontradiksinya bahwa penerbitan PERPPU Cipta kerja adalah sebuah produk hukum yang mencerminkan pemerintahan otoriter anti demokratis. MK, DPR dan Pemerintah tidak bekerja secara serius untuk melayani rakyat mayoritas, namun justru memberikan karpet dan sibuk melayani para investor dan oligarki.
Konfederasi KASBI menyatakan mengecam keras Hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan menolak seluruh permohonan dari 5 Perkara tersebut. KASBI menyatakan akan terus melakukan konsolidasi dan menggalang kekuatan gerakan rakyat untuk melawan Omnibuslaw Cipta kerja, dengan gerakan massa, baik melalui pemogokan umum/mogok nasional, dengan berkolaborasi dg gerakan mahasiswa, serikat tani, masyarakat adat, miskin kota, dan elemen gerakan rakyat lainya.
Pasca pembacaan putusan MK, KEPAL memandang bahwa :
- Diperlukannya eksaminasi publik atas putusan MK tersebut.
- Melanjutkan pengungkapan fakta-fakta di lapangan bahwa penerapan UU Cipta Kerja telah menimbulkan berbagai pelanggaran hak-hak rakyat.
- Meneruskan perjuangan pemajuan dan pembelaan hak-hak konstitusional
Hormat Kami,
Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL):
- Aliansi Organis Indonesia (AOI)
- Aliansi Petani Indonesia (API)
- Bina Desa
- Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
- FIAN Indonesia
- FIELD Indonesia (Yayasan Daun Bendera Nusantara)
- IHCS Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Institute for Ecosoc Rights
- Jaringan Masyarakat Tani Indonesia ( JAMTANI)
- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
- Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
- Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
- Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
- Sawit Watch (SW)
- Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
- Muhammad Karim (perseorangan/akademisi)
Pusat Informasi KEPAL :
Hadi (0821-1513-4313)