Siaran Pers
Jakarta, Selasa (3/10) – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pengujian Formil Undang-undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPPU Cipta Kerja) dinilai oleh pemohon sebagai pengkhianatan atas konstitusi. Indonesia for Global Justice (IGJ) sebagai salah satu pemohon dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) menyampaikan bahwa keputusan ini hanya akan melanggenggkan penderitaan rakyat dan masalah struktural di konstitusi.
“Seharusnya, MK menjadi pengawal konstitusi bisa menetapkan UU Cipta Kerja ini inkonstitusional permanen, namun justru menyatakan tetap berlaku. MK dalam putusannya membenarkan ihwal kegentingan memaksa dan kondisi krisis global yang dijadikan landasan UU Cipta Kerja ini lahir. Padahal, kondisi perekonomian Indonesia dalam prediksi Bank Indonesia dan Bank Dunia baik-baik saja. Sehingga, ihwal kegentingan memaksa dan kondisi krisis hanya sebagai dalih saja untuk memuluskan UU Cipta Kerja ini diimplementasikan.” Ujar Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ.
Selain itu, keputusan ini dinilai akan menjadi preseden buruk bahwa banyak peraturan hanya akan menggunakan mekanisme PERPPU karena ihwal kegentingan yang memaksa tidak cukup jelas dipaparkan di putusan MK.
“Melegitimasi Ihwal kegentingan memaksa menjadi subjektif bisa dijadikan dalih oleh pemerintah dalam memuluskan kepentingannya sendiri. Kami khawatir akan banyak peraturan serupa yang memberatkan dan menyengsarakan masyarakat hanya akan diatur pada skala PERPPU. Bahkan lebih buruknya, putusan MK ini saja tidak ada bedanya dengan argumen yang disusun oleh Pemerintah,” tambahnya.
IGJ bersama koalisi akan menyusun langkah strategis untuk merespon putusan ini. Hal ini karena dikhawatirkan akan ada lebih banyak lagi aturan yang akan membebani masyarakat pasca UU Cipta Kerja. Termasuk di dalamnya pada perjanjian perdagangan bebas yang sedang dirundingkan oleh pemerintah
“Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Masih ada banyak aturan terkait liberalisasi pasar yang akan dilakukan oleh pemerintah, termasuk di dalamnya aturan turunan serta perjanjian perdagangan bebas seperti yang sedang dirundingkan dengan Uni Eropa. Bisa saja jika perjanjian tersebut dipaksa selesai, maka ratifikasi hanya dilakukan melalui PERPPU, tidak melalui Undang-undang dengan pembahasan bersama masyarakt seperti yang diamanatkan dalam putusan MK soal UU Perjanjian Internasional,” Agung Prakoso, Program Officer IGJ
Pada hari yang sama (2/10) ribuan massa yang terdiri atas buruh, masyarakat sipil, petani, mahasiswa, dan elemen masyarakat lainnya melakukan aksi mengawal Sidang Judicial Review atas UU Cipta Kerja. Massa aksi yang bertahan sampai malam hari menyuarakan berbagai penolakan serta kekecewaan mereka atas putusan MK yang tidak berpihak pada suara masyarakat.
Narahubung:
Agung Prakoso, Program Officer, Indonesia for Global Justice
E: agung.prakoso@igj.or.id
P: +6285788730007
Tentang Indonesia for Global Justice:
Indonesia for Global Justice adalah Organisasi Masyarakat Sipil yang fokus pada Isu Perdagangan Bebas dan dampaknya kepada masyarakat. Selengkapnya igj.or.id