Jakarta, 28 Desember 2023. Laporan Organisasi Masyarakat Sipil European Network on Debt and Development (EURODAD) yang disusun oleh beberapa peneliti melihat bahwa debt swaps secara umum belum terbukti efektif untuk mengurangi beban ruang fiskal tekanan utang di negara-negara berkembang (unduh laporan disini).
Debt swaps (skema pengurangan utang bersyarat) merupakan instrumen keuangan yang menyediakan pengurangan utang bersyarat dengan imbalan perjanjian oleh debitur untuk menginvestasikan sumber daya yang tersedia di bidang tertentu, seperti pendidikan, kesehatan, iklim atau lingkungan. Tingginya tekanan utang di negara-negara berkembang melihat potensi pengurangan utang melalui skema debt swaps tersebut.
Namun, menurut laporan EURODAD secara garis besar, debt swaps memberikan peran yang sangat kecil yaitu sebesar 0.11 persen atau masih di bawah satu persen dari total pengaruh terhadap pengurangan utang. Bahkan menurut IMF, grants atau dana hibah jauh lebih efektif dibandingkan skema utang tersebut. Hal ini dikarenakan dana pengurangan utang bersyarat tersebut berlangsung lama, rumit/kompleks dan tinggi biaya.
Dalam sejarah perkembangan debt swap, skema debt-for-nature atau debt-for-climate swap mencuri perhatian para peneliti karena baru-baru ini cukup banyak kasus negara-negara berkembang yang terlibat. Skema debt-for-nature swap dimana pengalihan utang yang digunakan untuk membiayai program konservasi keanekaragaman hayati dan hutan tropis masih menuai kritik di kalangan Organisasi Masyarakat Sipil. Terdapat tiga bentuk skema debt-for-nature swap yaitu 1) bilateral debt swaps, 2) third party involvement debt swaps, 3) private intermediated debt swaps. (untuk lebih jelaskan silahkan membaca laporan disini)
Laporan Organisasi EURODAD mencoba untuk melihat bagaimana efektifitas skema debt-for-nature swap yang dilihat melalui studi kasus di beberapa negara dan menemukan beberapa tantangan dan permasalahan, seperti:
- Transparansi dan akuntabilitas sering dipertanyakan. Dalam skema pengalihan utang yang terbaru, jumlah, kualitas dan kelengkapan yang tersedia informasi tidak mencukupi, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
- Minimnya partisipasi warga negara, masyarakat sipil atau lokal lainnya baik dari negara pemberi pinjaman dan peminjam.
- Membuka pintu pengurangan utang bersyarat untuk kreditor dengan mengatur bagaimana mekanisme seharusnya dibentuk. Persyaratan seperti persetujuan skema yang tidak akan terjadi jika negara debitur tidak setuju untuk menginvestasikan sumber daya yang telah dibebaskan di wilayah atau proyek yang disetujui oleh kreditur. Atau skema tersebut sering dianggap sebagai skema yang dapat menyebabkan “hilangnya kedaulatan dalam alokasi fiskal dan sumber daya alam oleh negara debitur
- Potensi dari skema pengalihan utang sangat bergantung pada elemen-elemen seperti jadwal pencairan dan mata uang yang disetujui debitur untuk memobilisasi sumber daya yang telah dibebaskan. Sedangkan dana yang dibebaskan untuk tujuan keberlanjutan harus bersifat realistis, tidak menambah tekanan fiskal tambahan, dan pencairan tersebut dilakukan dalam mata uang lokal.
- Risiko praktek greenwashing. Bahkan lembaga pasar keuangan telah menyoroti bagaimana label obligasi baru atau “obligasi biru” dalam skema pengalihan utang dimana sebagian besar dana yang dihasilkan tidak digunakan untuk konservasi laut namun untuk membeli kembali utang. Risiko lainnya yaitu memberikan legitimasi atas illegitimate debt. Istilah “illegitimate debt” umumnya mengacu pada utang dengan ciri-ciri yang tidak wajar, tidak pantas, tidak bertanggung jawab yang bertentangan dengan standar dan prinsip hukum, politik, keuangan, ekonomi, lingkungan hidup dan khususnya standar dan prinsip etika yang diterima secara luas.
Sejarah skema debt-for-nature swap menunjukkan dampak keseluruhan terhadap tingkat utang yang masih terbatas, terutama karena berkurangnya skema pembatalan utang yang sebenarnya. Menurut Institute of Development Policy and Management, Essers, Cassimon dan Prowse berpendapat bahwa “secara tradisional, skema pengalihan utang merupakan operasi sedikit demi sedikit dengan dampak yang dapat diabaikan dan sering diabaikan terhadap keseluruhan beban utang (melibatkan jutaan dolar AS, bukan miliaran dolar)”
Meningkatnya fokus pada skema tersebut dapat memberikan kesan (yang salah) bahwa kesenjangan pembiayaan diatasi melalui mekanisme yang ‘inovatif’ atau termasuk dalam kontribusi besar terhadap SDGs, kebutuhan pendanaan iklim dan konservasi. Skema tersebut hanya mengalihkan upaya untuk memenuhi komitmen ODA negara-negara maju dan pendanaan iklim yang ada, dan untuk meningkatkan hibah tanpa syarat dan pendanaan yang sangat lunak kepada semua negara-negara di kawasan selatan.
Yang terakhir, organisasi masyarakat sipil ingin menekankan bahwa skema tersebut belum terbukti efektif dalam mengurangi tingkat utang secara substantif dan hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai upaya alternatif yang layak sebagai salah satu upaya restrukturisasi utang dan debt cancellation atau pembatalan utang.
Penulis:
K. Audina Permana Putri
Koordinator Program Keuangan Berkelanjutan dan Utang
Indonesia for Global Justice