Jakarta, 10 Januari 2024. Berdasarkan database Debt Service Watch yang baru (silahkan unduh dokumen disini), negara-negara Selatan kini menghadapi krisis utang terburuk. Rata-rata pembayaran utang menyerap 38% dari total pendapatan negara dan 30% anggaran belanja negara-negara Selatan. Melihat keseluruhan negara-negara Selatan, 35 negara telah membayar lebih dari separuh pendapatannya, dan 54 negara membayar lebih dari sepertiganya. Yang berarti, terdapat kurang lebih 100 negara yang harus menggunakan hampir separuh pendapatan negaranya untuk membayar utang. Hal ini juga berarti, utang telah mengesampingkan pengeluaran-pengeluaran penting seperti untuk menghadapi krisis sosial dan lingkungan.
Organisasi Masyarakat Sipil mendorong negara-negara berkembang untuk mendapatkan putaran besar penghapusan utang lagi. Namun, kesepakatan keringanan utang belakangan ini telah gagal untuk mengurangi layanan secara tajam untuk memberikan ruang belanja bagi SDGs, seperti mekanisme inisiatif Penangguhan Utang G20.
Bahkan negara-negara yang melakukan program restrukturisasi utang telah menghabiskan biaya yang sangat tinggi dan masih meninggalkan pembayaran utang rata-rata sebesar 48% dari pendapatan selama 3-5 tahun ke depan. Oleh karena itu llangkah-langkah mendesak untuk mengurangi pembayaran utang secara lebih tajam harus dilakukan, dengan meningkatkan mekanisme keringanan utang atau penghapusan utang. Hanya melalui hal tersebut, negara dapat memberikan bagian pendanaan yang adil untuk program-program SDG.
Dalam laporan Debt Service Watch yang terbaru, negara-negara terbagi menjadi 2 kelompok seperti berikut, yaitu dari jumlah pendapatan dan regional[1]. Dari data terlihat bahwa permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara-negara termiskin saja. Rasio pembiayaan utang terhadap pendapatan rata-rata adalah 45% untuk Low-Middle Income Countries (LMIC) dan 27% untuk Upper-Middle Income Countries (UMIC). Permasalahannya juga tidak terpusat pada satu wilayah saja. Data juga menunjukkan bahwa Afrika Sub-Sahara membelanjakan 53% pendapatannya, Asia 31%, Amerika Latin dan Karibia 31,4%, serta Timur Tengah dan Asia Tengah membelanjakan 30%.
GAMBAR 1 dan 2 (Rasio Pembiayaan Utang Terhadap Pendapatan/Revenue)
Selain dilihat dari pembiayaan utang terhadap pendapatan, data juga menunjukan rasio terhadap total belanja anggaran (lihat Gambar 4 dan 5 dibawah). Dibandingkan dengan total belanja anggaran, pembayaran utang juga merupakan masalah besar di banyak negara. Rata-rata belanja negara adalah 29,5% di seluruh negara, 39% di Afrika, 28% di MECA, 26,5% di LAC, dan 22% di Asia. Hal ini sangat memberatkan bagi negara-negara berpendapatan rendah – yang 39% pengeluarannya berada di negara-negara berkembang dan 33% di negara-negara berkembang (LMICs) – serta negara-negara kurang berkembang (33%) dan negara-negara yang tidak memiliki daratan (32%).
GAMBAR 3 dan 4 – Rasio Pembiayaan Utang terhadap Anggaran Belanja (APBN)
Lalu, apakah arsitektur penyelesaian utang yang ada saat ini dapat memberikan ruang belanja bagi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs?
Dilihat dari kesepakatan yang dicapai atau sedang dinegosiasikan baru-baru ini dengan Chad, Ghana, Sri Lanka, Suriname dan Zambia, jawabannya jelas tidak. Setelah kesepakatan utang mereka, bahkan menurut perkiraan IMF, negara-negara tersebut masih akan membayar rata-rata keseluruhan sebesar 48% dari pendapatan anggaran mereka untuk pembayaran utang dalam 3 tahun ke depan, dan hanya Sri Lanka yang menjadikan tingkat pembayaran utangnya di bawah 30% pendapatan. Negara-negara tersebut juga harus memotong belanja pemerintah mereka sebesar 4% dari kumulatif PDB selama 5 tahun ke depan.
Kegagalan ini terjadi karena tidak adanya target yang jelas untuk pembiayaan utang terhadap pendapatan yang ditetapkan untuk menilai apakah kesepakatan keringanan utang membuat negara-negara memiliki tingkat utang yang berkelanjutan, terutama dalam jangka pendek hingga menengah, dan oleh karena rasio utang dapat berkurang menjadi 15 -20% hanya dalam waktu sekitar 10 tahun. Hal ini mencerminkan keengganan para kreditor untuk memberikan keringanan dalam skala yang sama seperti yang diberikan pada krisis utang sebelumnya.
Sebaliknya, di bawah Inisiatif HIPC, bahkan sebelum keringanan tambahan MDRI diperkenalkan pada tahun 2005, para kreditor berupaya mencapai target yang luas untuk menjadikan pembayaran utang di bawah 15-20% dari pendapatan anggaran, dan hasil akhir dari kesepakatan HIPC dan MDRI mengurangi utang layanan rata-rata hanya 11% dari pendapatan. Upaya yang sama yang dilakukan oleh para kreditor juga diperlukan saat ini untuk menyelamatkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan perjanjian keringanan utang harus menetapkan dan memenuhi target pembayaran/pendapatan utang secara eksplisit yang dimulai pada tahun keringanan utang.
[1] Pendapatan: High-Income Countries, Low Income Countries, Low-Middle Income Countries, Upper-Middle Income Countries) dan Regional: (Afrika Sub-Sahara Asia), Amerika Latin dan Karibia/Latin America and the Caribbean (LAC) serta Timur Tengah dan Asia Tengah/Middle East and Central Asia (MECA).