Sampai pada hasil Pertemuan Tingkat Menteri WTO yang ke-12 (MC12), terdapat beberapa kunci permasalahan di dalam agenda reformasi WTO sebagai upaya peningkatan tiga fungsi utama WTO, yaitu fungsi negosiasi, monitoring dan transparansi, serta penyelesaian sengketa. Agenda reformasi ini akan di konsiderasikan oleh General Councils dan Subsidiaries Bodies, namun tidak menutup anggota WTO untuk mengembangkan isu dan diserahkan pada General Councils. Agenda reformasi ini juga telah mendapat dukungan dari Group of 20 (G20) dan memimpin agenda pada Pertemuan Tingkat Menteri yang ke-12.
Dari beragam isu dalam reformasi ini, urgensi permasalahan masih jatuh pada mekanisme penyelesaian sengketa WTO dimana Amerika Serikat terus memblokir penunjukan di ruang banding / Appellate Body WTO sejak tahun 2019. Kurang lebih 29 kasus menggantung, sehingga memberikan pukulan berat terhadap sistem penyelesaian sengketa.
Terdapat beberapa alasan teknis dan prosedural yang mendasari keputusan AS namun dua alasan politik lainnya yakni karena adanya; 1) peningkatan pembatasan ekspor negara-negara, 2) alasan keamanan nasional yang digunakan sebagai pengecualian dari peraturan perdagangan saat ini.[1] Khususnya negara berkembang melihat adanya kepentingan politik AS yang sangat kuat. Ditambah lagi dengan adanya badan penyelesaian sengketa sementara yang diusung negara maju seperti Multi-party Interim Appeal Arrangement / MPIA yang dianggap oleh negara-negara berkembang sebagai upaya plurilateral yang belum mampu mengatasi akar permasalahan lemahnya sistem penyelesaian sengketa WTO saat ini.
Meskipun beberapa anggota WTO telah menyuarakan keprihatinan AS, terdapat kesepakatan yang hampir universal bahwa mengatasi permasalahan sistem penyelesaian sengketa ini untuk melanjutkan pemilihan anggota Badan Banding yang baru seharusnya tidak boleh dikaitkan dengan reformasi WTO ke depan. Khususnya bagi negara-negara berkembang mengharapkan bahwa proses penyelesaian perselisihan yang baru akan membantu mitra dagang yang lebih lemah dalam menegakkan hak dan kewajiban berdasarkan berbagai perjanjian WTO.
Untuk mengatasi kebuntuan selama empat tahun dalam penunjukan anggota Badan Banding baru diperlukan perbaikan fungsi sistem penyelesaian perselisihan WTO. Selain itu, prioritas reformasi WTO lainnya yang sejalan dengan sistem penyelesaian sengketa yaitu untuk memperkuat karakter multilateral WTO yang inklusif dan adil, menegaskan kembali prinsip-prinsip Special and Differential Treatment / S&DT dan menjaga pembangunan sebagai inti organisasi.
Monitoring /Update terbaru Januari 2024:
- Penyelesaian Sengketa
- Penyelesaian sengketa ditargetkan menemui hasil di tahun 2024. (sumber; audiensi KEMENDAG)
- Posisi Indonesia melihat penyelesaian sengketa seharusnya diluar dari agenda reformasi WTO, sehingga dapat diselesaikan dan mengaktifkan kembali badan banding WTO. Dalam upaya tersebut, pemerintah Indonesia aktif dalam negosiasi informal. Beberapa kasus sengketa yang masih dihadapi Indonesia yang masih menggantung yaitu kasus hilirisasi nikel, anti-dumping produk baja dan produk kayu turunan dengan Uni Eropa. (sumber; audiensi KEMENDAG)
- Posisi pemerintah Indonesia masih belum melihat kemana arah secara garis besar reformasi WTO, merujuk dari agenda reformasi fungsi negosiasi maupun transparansi dan monitoring. Di luar itu pemerintah Indonesia mendorong untuk memperkuat kerja badan dan komite reguler WTO. (sumber; audiensi KEMENDAG)
B. Transparansi dan Monitoring, S&DT
Terdapat proposal yang menyerukan “peningkatan kepatuhan anggota terhadap kewajiban pemberitahuan”. Proposal yang didukung oleh 23 anggota ditambah UE diedarkan pada 28 April 2022. Namun, sejumlah negara berkembang dan negara kurang berkembang telah menyuarakan penolakan terhadap inisiatif ini, dengan alasan bahwa kendala kapasitas dibandingkan kemauan politik menghalangi negara-negara anggota yang lebih miskin untuk memenuhi kewajiban pemberitahuan mereka secara penuh dan bahwa usulan para pemrakarsa akan mengarah pada kewajiban pelaporan baru yang tidak diatur dalam perjanjian ini. perjanjian WTO. Kelompok Afrika, Kuba, India dan Oman telah mengajukan pengajuan yang menyatakan keprihatinan mereka mengenai kewajiban transparansi
Untuk S&DT, beberapa anggota WTO mempertanyakan praktik “self-designation” di WTO yang mana seorang anggota dapat menyatakan apakah ia merupakan negara berkembang atau tidak. Negara-negara berkembang mendapatkan manfaat dari ketentuan perlakuan khusus dan berbeda (S&DT), seperti periode implementasi yang lebih lama untuk mematuhi komitmen WTO, fleksibilitas komitmen, tindakan dan penggunaan instrumen kebijakan, dan akses terhadap bantuan teknis. Lebih dari dua pertiga anggota WTO telah menyebut diri mereka sebagai negara berkembang atau diklasifikasikan sebagai negara kurang berkembang sesuai dengan kriteria PBB. SDT memberikan keuntungan bagi negara berkembang. Lebih dari dua pertiga anggota WTO telah menyebut diri mereka sebagai negara berkembang atau diklasifikasikan sebagai negara kurang berkembang sesuai dengan kriteria PBB.
C. Negosiasi
Sekelompok 13 anggota WTO telah mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan agar fungsi negosiasi WTO dihidupkan kembali untuk memastikan kelangsungan relevansi organisasi tersebut. Sekelompok negara yang disebut sebagai “Grup Ottawa” pada awalnya bergerak untuk mengaktifkan kembali fungsi menjaga dan memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa WTO sebagai pilar utama WTO. Namun, sejauh ini kelompok tersebut bergerak dan mengatakan bahwa hal ini mungkin memerlukan pendekatan negosiasi yang fleksibel dan terbuka menuju hasil multilateral, dan mereka menyambut baik upaya yang dilakukan melalui Joint Statement Initiative / Inisiatif Pernyataan Bersama dari MC11 di Buenos Aires. Hal ini dapat membuka ruang plurilateral dan dapat berkembang menjadi agenda yang luas didorong dengan kepentingan-kepentingan isu negara maju.
- Posisi Indonesia masih mengikuti atau secara tidak langsung terlibat dalam negosiasi pembahasan JSI on e-commerce dan JSI on Investment Facilitation for Development (IFD).
- Seperti halnya organisasi masyarakat sipil yang melihat posisi pemerintah Indonesia akan dianggap dapat melegitimasi Inisiatif Pernyataan Bersama ini dan mendukung adanya keputusan mekanisme “plurilateral” atau di luar mekanisme konsensus yang ada di WTO saat ini.
Referensi:
Audiensi Kemendag 2024. Indonesia for Global Justice. Sumber: catatan wawancara.
United States Trade Representative. “REPORT ON THE APPELLATE BODY OF THE WORLD TRADE ORGANIZATION”. Diakses pada https://ustr.gov/sites/default/files/Report_on_the_Appellate_Body_of_the_World_Trade_Organization.pdf
Ditulis oleh:
Komang Audina Permana Putri
Program Coordinator on Sustainable Finance and Debt
Indonesia for Global Justice
[1] United States Trade Representative. “REPORT ON THE APPELLATE BODY OF THE WORLD TRADE ORGANIZATION”. Diakses pada https://ustr.gov/sites/default/files/Report_on_the_Appellate_Body_of_the_World_Trade_Organization.pdf