Serial Merespon KTM WTO Ke-13
Pada tanggal 18 Juli 2023, beberapa negara selatan seperti India, Afrika Selatan, Turki, Argentina dan Indonesia secara terang-terangan mendorong perubahan dan pencabutan moratorium (Penundaan) bea masuk atas transmisi elektronik (Moratorium E-Commerce). Berbeda dengan sekelompok negara Maju seperti Amerika Serikat (AS), Australia dan Uni Eropa (UE) yang bersikukuh untuk mempertahankan Moratorium E-Commerce. Ketiga negara berkembang (India, Indonesia dan Afrika Selatan) mengeluarkan statement kuat, bahwa moratorium harus diakhiri pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 yang akan berlangsung di Abu Dhabi bulan Februari 2024 mendatang.[1]
Sejak Tahun 1998 organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) telah mengadopsi deklarasi perdagangan elektronik global pada sesi KTM ke-2 yang diselenggarakan di Jenewa pada 1998 silam. Negara anggota WTO bersepakat untuk melakukan Moratorium pengenaan tarif pajak terhadap transmisi elektronik/digital atau dikenal dengan Moratorium E-Commerce,[2] hal ini secara berturut-turut berlaku hingga sekarang.
Moratorium E-Commerce merupakan penundaan tarif pajak dalam perdagangan elektronik/digital yang mencakup: produksi, distribusi, pemasaran, penjualan serta pengiriman barang dan jasa melalui elektronik. Singkatnya transmisi elektronik melingkupi teknologi seperti percetakan 3D, yang memungkinkan perdagangan barang dan jasa secara elektronik, bahkan melingkupi konten audio visual atau streaming, melalui platform digital seperti: Netflix dan Spotify yang dianggap termasuk bagian dari E-Commerce.[3]
Deklarasi Moratorium E-Commerce merupakan tanggapan terhadap pesatnya perkembangan di bidang perdagangan elektronik, alasan utama anggota WTO memberlakukan moratorium tersebut adalah untuk memberikan ruang bagi pertumbuhan dan inovasi perdagangan elektronik tanpa hambatan berlebihan melalui pajak dan meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan belanja digital, meningkatkan Produk Domestik Bruto dan meningkatkan stabilitas harga transmisi elektronik.[4]
Namun, dengan adanya Moratorium membuat anggota WTO tidak dapat menerapkan pajak atas transmisi elektronik dan mengakibatkan kerugian yang signifikan terhadap negara berkembang. Mengutip laporan riset UNCTAD yang berjudul “Growing Trade in Electronic Transmission: Implications for the South” tahun 2019, telah memperkirakan moratorium tersebut mengakibatkan negara berkembang kehilangan pendapatan US$8 miliar pada 2017 lalu, sedangkan negara maju hanya kehilangan potensi pendapatan sebesar US$212 juta.[5]
Keputusan KTM Ke-12 Tentang Moratorium E-Commerce
Pada tanggal 17 Juni 2022, WTO mengadakan KTM ke-12 yang berlangsung di Jenewa. Dalam pertemuan KTM tersebut menghasilkan sebuah keputusan dalam Moratorium dan program kerja E-Commerce dimana setiap anggota menyepakati untuk mempertahankan praktik moratorium E-Commerce, dengan tidak mengenakan bea masuk pada transmisi elektronik hingga pada KTM ke-13 mendatang. Untuk saat ini beberapa negara berkembang berusaha untuk mendiskusikan Moratorium E-Commerce secara intensif dan menganalisis dampak dari moratorium bea masuk ada transmisi elektronik.[6]
Dari pihak pendukung moratorium tampaknya hanya mengajukan argumen yang berulang-ulang tanpa memberikan bukti konkrit, sebagaimana yang diargumentasikan oleh India. Amerika Serikat dan UE menyatakan bahwa moratorium telah membantu negara-negara selama ini yang terdampak oleh pandemi Covid-19 dan dianggap telah terbukti sukses. Kedua anggota tersebut bersama dengan sekutu negara maju berusaha untuk mendorong adanya moratorium permanen dalam kelompok Plurilateral Joint Statement Initiative (JSI) mengenai perdagangan digital.[7]
Bersamaan dengan itu Indonesia bersama dengan India, Afrika Selatan dan Pakistan mempertanyakan dengan tajam logika anggota pendukung moratorium, seperti India yang menyerukan penghentian moratorium dalam pertemuan KTM ke-12, Pakistan yang menyatakan bahwa moratorium tidak diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan General Agreement on Trade in Services (GATS) dan Indonesia yang menyampaikan kajian rinci pada pertemuan tersebut, dengan menunjukan Undang-Undang Kepabeanan Indonesia telah menetapkan bahwa Bea Cukai dikenakan atas barang digital (perangkat lunak, data elektronik dan multimedia, dll.) yang dikirimkan melalui transmisi elektronik, yaitu internet. Beberapa penentang Moratorium menyatakan bahwa hal ini merupakan masalah akses pasar dan bersikeras bahwa kelanjutan moratorium akan merugikan kepentingan negara berkembang.[8]
Walaupun moratorium E-commerce telah banyak ditolak oleh anggota dari negara berkembang, namun WTO masih bersikukuh untuk meliberalisasi perdagangan dengan meluncurkan rancangan regulasi yang pada akhirnya dapat mengarah pada diberlakukannya moratorium E-Commerce kembali dan diubah menjadi permanen untuk KTM ke-13 februari 2024 mendatang.[9]
Moratorium E-Commerce Rugikan Negara Berkembang
Pasal XIX GATS telah menekankan bahwa proses liberalisasi perdagangan jasa “harus berlangsung dengan menghormati tujuan kebijakan nasional dan tingkat perkembangan masing-masing anggota, baik secara keseluruhan maupun di masing-masing sektor.”
AS tengah gencar mengkampanyekan moratorium permanen terhadap Transmisi elektronik, meskipun moratorium E-Commerce melanggar prinsip GATS, AS bersikukuh bahwa moratorium ini dapat memberikan dampak positif bagi pertumbuhan dan inovasi perekonomian digital.[10]
Pada kenyataannya “dampak positif” yang dibicarakan oleh AS merupakan dampak yang semu semata, hal ini karena moratorium E-Commerce hanya menguntungkan negara-negara maju yang memiliki perusahaan teknologi besar (Big Tech). Sebagaimana diketahui bahwa Big Tech banyak dimiliki oleh negara maju, sehingga mudah saja bagi negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang, baik Indonesia yang sampai saat ini belum memiliki industri digital yang kondusif sehingga seharusnya masih belum mampu bersaing secara kompetitif dengan kapitalisme global.
Dengan masih berlakunya moratorium E-Commerce mengakibatkan negara berkembang mengalami kehilangan pendapatan pajak yang seharusnya diterima melalui perdagangan digital, sehingga mengurangi anggaran untuk pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur, sedangkan negara maju mendapatkan keuntungan melalui perkembangan Big Tech negara mereka masing-masing.
[1] https://www.twn.my/title2/unsd/2023/unsd230910.htm, diakses pada 5 februari 2024.
[2] https://www.telefonica.com/en/communication-room/blog/moratorium-of-e-commerce-the-tax-debate-on-e-commerce/, diakses pada 5 februari 2024.
[3] Ibid.
[4] https://ecipe.org/publications/moratorium/, diakses pada 5 februari 2024.
[5] https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220616132629-37-347644/gertak-wto-moratorium-pajak-impor-e-commerce-bikin-ri-rugi, diakses pada 6 februari 2024.
[6] https://www.twn.my/title2/wto.info/2023/ti230416.htm, diakses pada 6 februari 2024.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] https://www.politico.com/newsletters/weekly-trade/2024/02/05/wto-draft-text-takes-up-e-commerce-moratorium-00139533, diakses pada 6 februari 2024
[10] https://www.twn.my/title2/wto.info/2023/ti230710.htm, diakses pada 6 februari 2024.