Pada Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-13 (MC13) di Abu Dhabi nanti, negara-negara anggota WTO mengharapkan adanya pencapaian hasil atau tonggak penting dalam perjanjian Investment Facilitation and Development (IFD) seperti menerbitkan Deklarasi Bersama Menteri, yang akan meresmikan finalisasi Perjanjian IFD dan mempublikasikannya kepada publik.
Sejauh ini, sekitar 110 negara telah bergabung dan menyepakati pembahasan perjanjian IFD tersebut, termasuk Indonesia. Dimana perjanjian ini berfokus pada investasi asing langsung (FDI); ini berlaku untuk penanaman modal asing di semua sektor ekonomi[1]. Pilar utama Perjanjian IFD yaitu mengenai transparansi langkah-langkah investasi; menyederhanakan dan mempercepat prosedur otorisasi terkait penanaman modal; meningkatkan kerja sama internasional, pertukaran informasi, dan pertukaran praktik terbaik; serta investasi berkelanjutan. Ditambah lagi, setiap anggota yang berpartisipasi juga setuju untuk membahas lebih lanjut ketentuan mengenai “Perilaku Bisnis yang Bertanggung Jawab” dan “Langkah-Langkah Melawan Korupsi”/ “Responsible Business Conduct” and “Measures Against Corruption” .
Walaupun pilar ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan investor, permasalahan dalam negeri seperti di Indonesia mengenai tingginya kasus korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang berat dan memerlukan waktu yang tidak singkat terlepas dari bantuan teknis maupun guideline yang ada di dalam perjanjian IFD. Selain itu, percepatan dan mempermudah proses penanaman modal yang menjadi kunci diadakan perjanjian IFD ini dapat menjadi pisau bermata dua bagi negara berkembang khususnya Indonesia yang belum mempunyai hukum dan administrasi berbasis single submission yang kuat.
Ditambah lagi, sejak awal Inisiatif, Perjanjian IFD secara eksplisit mengecualikan akses pasar, perlindungan investasi, dan penyelesaian sengketa investor-Negara (ISDS). Pengadaan pemerintah dan subsidi tertentu juga demikian dikecualikan dari ruang lingkup Perjanjian.[2] Walaupun demikian, skema penyelesaian sengketa investasi saat ini melalui perjanjian investasi Internasional / bilateral yang telah dibentuk telah membuka peluang besar negara dapat digugat.
Dalam perjanjian juga diputuskan sejalan dengan perlakuan Special and Differential Treatment (S&DT), negara berkembang dan negara kurang berkembang akan terbagi menjadi tiga kategori (A,B atau C).[3] Sesuai dengan kategorinya negara tersebut akan diizinkan untuk menetapkan ketentuan Perjanjian IFD untuk meminta waktu tambahan, termasuk bantuan teknis dan peningkatan kapasitas melaksanakan ketentuan IFD. Dalam prinsip S&DT ini juga mencakup fleksibilitas lain seperti ‘Mekanisme Peringatan Dini’. Namun, paket kategori yang memberikan waktu dan bantuan teknis kepada negara berkembang maupun negara kurang berkembang masih belum cukup untuk menjamin jalannya ketentuan percepatan investasi tanpa hambatan sesuai harapan dalam perjanjian IFD.
Referensi:
WTO IFD Agreement Fact Sheets , sumber https://www.wto.org/english/tratop_e/invfac_public_e/factsheet_ifd.pdf
WTO News Article, 2023. “Negotiators advance discussion on IFD Agreement integration into WTO legal structure” sumber https://www.wto.org/english/news_e/news23_e/infac_13oct23_e.htm
Ditulis oleh:
Komang Audina Permana Putri
Program Coordinator on Sustainable Finance and Debt
Indonesia for Global Justice
[1] WTO News Article, 2023. “Negotiators advance discussion on IFD Agreement integration into WTO legal structure” sumber https://www.wto.org/english/news_e/news23_e/infac_13oct23_e.htm
[2] WTO IFD Agreement Fact Sheets , sumber https://www.wto.org/english/tratop_e/invfac_public_e/factsheet_ifd.pdf
[3] Ibid.