Pandemi COVID-19 telah menyebabkan kematian bagi lebih dari 6 juta orang di seluruh dunia terutama negara berkembang. Pandemi juga masih menyisakan persoalan terkait ketimpangan akses pada kebutuhan meliputi kebutuhan penahanan, penanganan, dan pencegahan (containment, treatment, and prevention) seperti vaksin, obat-obatan, ventilator, alat pelindung diri, dan sebagainya. Berbagai pihak termasuk masyarakat sipil dari sejak awal pandemi mengingatkan pentingnya persoalan akses ke berbagai kebutuhan untuk mempercepat penanganan. Namun selama pandemi, pengadaan semua kebutuhan terkait masih dilakukan melalui skema business as usual, dengan pengadaan vaksin COVID-19 yang tidak didukung dengan transparansi pengadaan dan distribusi. Selain itu,Kritik terbesar lainnya dari masyarakat sipil adalah masih berlakunya skema perlindungan kekayaan intelektual yang dimanfaatkan oleh perusahaan farmasi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya di tengah pandemi, sehingga harga obat dan kebutuhan kesehatan lain masih belum terjangkau. Selain itu, terdapat persoalan antisipasi sejak awal hingga kebutuhan pembiayaan untuk penanganan pandemi.
Health Emergency Regime
Banyaknya kritik terhadap penanganan pandemi tidak terlepas dari tidak maksimalnya instrumen kedaruratan kesehatan di internasional. Di internasional, instrumen kedaruratan kesehatan yang sudah ada adalah International Health Regulation (IHR) yang disahkan tahun 2005. IHR adalah instrumen legally binding yang mengikat bagi negara anggota WHO yang mewajibkan negara untuk berbagi informasi ataupun melaporkan potensi wabah penyakit dari negaranya kepada sistem pemerintahannya dan juga kontak poin WHO di negara tersebut.[1] Namun kewajiban ini tidak diikuti dengan timbal balik kewajiban untuk membantu negara-negara yang menghadapi wabah penyakit, termasuk dalam penyediaan vaksin dan kebutuhan lainnya terkait pandemi.
Apa itu Pandemic Treaty?
Dari beragam persoalan, utamanya terkait dengan ketimpangan akses pada kebutuhan pandemi serta minimnya inisiatif kerja sama antar negara, maka diperlukan kesepakatan yang lebih konkret antar negara yang secara khusus untuk mengatasi persoalan tersebut secara efektif. Pada World Health Assembly (WHA) November 2021 lalu, negara-negara anggota WHO sepakat untuk merumuskan instrumen internasional baru untuk mencapai hal tersebut. Instrumen ini akan disusun melalui perundingan formal melalui Intergovernmental Negotiating Body (INB) dan diharapkan dapat selesai dan diadopsi pada tahun 2024. Jaringan masyarakat sipil di global menyebut instrumen ini sebagai Pandemic Treaty[2]. Istilah ini merujuk pada perjanjian yang diharapkan dapat mengikat negara-negara di dunia untuk memenuhi perjanjian.
Pasca disepakati pada November 2021, INB telah mengadakan berbagai pertemuan dan telah merilis zero draft dari instrumen ini. Di dalam zero draft, instrumen ini diberi judul “WHO Convention, Agreement, or Other International Instrument on Pandemic Prevention, Preparedness, and Response”(WHO CA+ on PPPR). Ditinjau dari judul tersebut secara bebas, maka INB belum menyepakati bentuk dari perjanjian ini sendiri apakah konvensi, perjanjian, atau mekanisme lainnya yang umum dikenal di internasional.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Pandemic Treaty atau WHO CA+ on PPPR seharusnya dapat menjadi instrumen di dalam kesiapsiagaan dan penanganan pandemi di masa mendatang. Tidak hanya merespon pandemi, tetapi juga dapat mengatasi kesenjangan yang telah ada sebelumnya sebagai langkah kesiapsiagaan. Penting juga instrumen tersebut mencakup klausul yang menjamin dan melindungi kepentingan tenaga kesehatan dan perawatan di berbagai negara. Sistem kesehatan akan menjadi kuat dan tangguh hanya jika kepentingan pekerja dijamin.
Penyusunan instrumen ini harus didasarkan pada persoalan yang terjadi pada masa Pandemi COVID-19 meliputi persoalan pada ketimpangan akses terkait kebutuhan pandemi meliputi transfer teknologi, mekanisme access and benefit sharing, hingga ke pembiayaan. Instrumen ini harus memiliki posisi yang kuat untuk mengantisipasi dan mengatasi persoalan tersebut di masa mendatang. Untuk itu penting bagi masyarakat sipil untuk mengawasi dan terlibat di dalam proses perundingan.
Apa saja yang diatur di dalam Pandemic Treaty?
Di dalam zero draft WHO CA+ on PPPR terdapat beberapa pembahasan yang perlu menjadi perhatian masyarakat sipil[3]
- Akses ke teknologi: Produksi dan Distribusi Berkelanjutan dan transfer teknologi
Ketimpangan akses pada produk-produk pandemi harus diatasi dengan peningkatan produksi yang didistribusikan secara lebih adil. Mendorong mekanisme multilateral yang inovatif dan insentif transfer teknologi. Diatur juga di luar masa pandemi, pihak-pihak harus memperkuat koordinasi dan kolaborasi. Serta pada masa pandemi untuk mempercepat atau meningkatkan produksi dengan fleksibilitas TRIPS, mengesampingkan paten, dan penelitian dengan pendanaan publik agar dapat digunakan oleh publik. - Peningkatan kapasitas Research and Development
Peningkatan kapasitas R&D difokuskan pada sharing of knowledge atau pertukaran pengetahuan yang lebih luas. Terutama ketika R&D disokong oleh pendanaan publik, maka hasil penelitian harus didiseminasikan secara luas serta persyaratan penentuan harga, pembagian data dan transfer teknologi, hingga publikasi kontrak. - Pathogen Access and Benefit-Sharing
Mekanisme pembagian data dan informasi patogen harus disertai dengan mekanisme akses dan pembagian manfaat yang memadai. Sehingga dapat mendorong kesetaraan akses pada produk yang dibutuhkan dan dihasilkan dari mekanisme pembagian informasi dan data patogen. - Strengthening and Sustaining a Skilled and Competent Health Workers
Diperlukannya pengakuan terhadap peran penting pekerja kesehatan dengan peralatan alat pelindung diri yang memadai. Tenaga kesehatan harus dilindungi dengan jaminan pekerjaan dan kondisi kerja yang layak terutama bagi tenaga kesehatan migran dari negara berkembang, - Global Supply and Logistics Network
- Pembiayaan
Mekanisme pembiayaan didorong melalui Global Public Investment.
Dari persoalan di atas, terdapat beberapa catatan kritis oleh masyarakat sipil, terutama pada poin penting seperti:
- Belum terdapat komitmen kuat untuk mengatasi ketimpangan akses pada kebutuhan pandemi. Hal ini terlihat dari beberapa poin di dalam zero draft yang tidak memberikan kewajiban bagi para pihak untuk melaksanakan apa yang tertulis di dalam WHO CA+ on PPPR.
- Meskipun terdapat pengakuan terhadap ketimpangan akses, zero draft WHO CA+ tidak secara langsung menawarkan solusi terutama pada persoalan terkait kekayaan intelektual. Sebagai contoh, di dalam zero draft WHO CA+ masih menawarkan fleksibilitas TRIPS sebagai upaya mengatasi hambatan kekayaan intelektual. Padahal selama pandemi COVID-19, fleksibilitas TRIPS terbukti tidak cukup dalam mengatasi hambatan kekayaan intelektual karena sifatnya yang sangat terbatas pada produk yang telah mendapat paten saja.
Kelemahan Pandemic Treaty
Kelemahan pada Pandemic Treaty atau WHO CA+ on PPPR terletak pada posisi negosiasinya yang akan lebih sulit pasca keluarnya zero draft yang masih lemah. Selain itu Pandemic Treaty atau WHO CA+ on PPPR hanya akan berfokus pada disease atau kedaruratan kesehatan yang telah ditetapkan menjadi pandemi. Hal ini akan sulit berlaku untuk penyakit yang belum mencapai tahap pandemi meskipun sudah mematikan di beberapa negara seperti pada kasus Ebola. Penetapan pandemi juga rentan dengan berbagai persoalan termasuk intervensi dari negara-negara utara yang memiliki kekuatan dalam menentukan apakah sebuah penyakit tergolong pandemi atau tidak. Tidak ditetapkannya beberapa penyakit sebagai pandemi padahal merenggut banyak nyawa di negara selatan menunjukkan bahwa penetapan pandemi masih dimiliki oleh negara barat.
Selain itu, rancangan undang-undang yang ada saat ini tidak memiliki ketentuan substansial yang menjunjung tinggi pekerjaan yang layak bagi semua pekerja kesehatan dan perawatan, melindungi kesehatan dan keselamatan mereka, serta mengakui peran penting pekerja kesehatan dan perawatan di garis depan dan migran.
Belajar dari Pengalaman: PIP Framework
Absennya IHR untuk memastikan negara-negara membantu penanganan pandemi mendorong berbagai inisiatif lain, salah satunya Pandemic Influenza Preparedness Framework (PIP Framework). PIP Framework menyusun mekanisme terkait jaringan laboratorium global untuk meneliti potensi virus influenza yang dapat memberikan informasi dan data untuk memproduksi kebutuhan pencegahan dan penanganan virus tersebut oleh manufaktur. Di dalam PIP Framework, manufaktur yang menerima informasi dan data diberikan kewajiban untuk membagikan produk kepada WHO untuk kemudian disebar ke seluruh wilayah terutama negara miskin dan berkembang. Mekanisme ini dapat menjadi salah satu upaya untuk memastikan akses, produksi, serta distribusi yang adil ke negara miskin dan berkembang.
Indonesia dalam pengalamannya merupakan pihak yang penting dalam mengintervensi proses dalam penyusunan PIP Framework. Sebagai negara yang berpotensi melahirkan sejumlah virus yang dapat menjadi pandemi, Indonesia memiliki peran penting dalam berbagi data mengenai patogen, virus, bakteri, dan sebagainya untuk mendukung produksi bagi produk yang dibutuhkan. Namun pembagian data tersebut harus dapat dipastikan memiliki manfaat terutama pada akses produk yang dihasilkan dari penggunaan data tersebut. Maka sama halnya dengan PIP Framework, penting untuk memastikan Indonesia terlibat aktif di dalam perundingan Pandemic Treaty atau WHO CA+ untuk menyuarakan kepentingan masyarakat dari negara berkembang.
Pandemic Treaty dan IHR, Harus Berjalan Beriringan
Kelemahan dari Pandemic Treaty perlu dilihat sebagai potensi untuk mendorong posisi di dalam wacana amandemen IHR. IHR yang cukup jelas memiliki sifat legally binding atau mengikat harus dapat mengatasi persoalan yang sama yang telah terjadi di Pandemi COVID-19. Amandemen IHR juga lebih praktis dapat digunakan dalam kondisi yang lebih umum, termasuk pada potensi penyakit yang belum atau tidak dapat masuk ke dalam kategori pandemi. Baik, Pandemic Treaty ataupun amandemen IHR, perlu diawasi bersama oleh masyarakat sipil.
Oleh: Indonesia for Global Justice
Indonesia AIDS Coalition, FARKES Reformasi, Lapor COVID-19
[1] https://www.who.int/europe/activities/sharing-international-health-regulations-information
[2] https://publicservices.international/resources/digital-publication/explainer-the-pandemic-treaty?id=13949&lang=en
[3] https://apps.who.int/gb/inb/pdf_files/inb4/A_INB4_3-en.pdf