Serial Merespon KTM WTO ke-13
Berbagai rezim perdagangan liberal yang diimplementasikan melalui Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) telah memberikan dampak buruk kepada masyarakat, salah satunya di sektor kesehatan. Rezim Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai salah satu pilar perdagangan di bawah WTO, telah membuat harga kebutuhan kesehatan seperti obat, vaksin, alat diagnostik, dan sebagainya menjadi mahal dan sulit diakses oleh masyarakat. Hal ini diakibatkan oleh hak monopoli yang diberikan kepada perusahaan farmasi di bawah rezim TRIPS WTO. Kondisi ini bahkan terjadi pada masa Pandemi COVID-19 dimana kebutuhan pandemi yang harus cepat tersedia justru tetap dimonopoli oleh perusahaan farmasi yang berasal dari negara kaya sehingga membuat negara-negara miskin kesulitan mengakses kebutuhan tersebut. Pada akhirnya terjadi ketimpangan akses yang nyata antara negara maju dengan negara berkembang.
Sebagai upaya untuk mengatasi ketimpangan akses pada kebutuhan Pandemi COVID-19, pada 2 Oktober 2020, India dan Afrika selatan mengajukan Proposal TRIPS Waiver atau pengabaian sementara aturan TRIPS ke WTO. Proposal ini didukung oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia. TRIPS Waiver akan memberikan hak kepada negara anggota untuk mengabaikan semua aturan kekayaan intelektual yang membatasi akses pada kebutuhan pandemi meliputi vaksin, diagnostik, hingga terapeutik, sehingga kebutuhan tersebut dapat tersedia dengan cepat dan terjangkau bagi seluruh negara.
Pada Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (KTM WTO) ke-12 yang diselenggarakan pada Juni 2022 lalu, perundingan Proposal TRIPS Waiver justru mengeluarkan hasil yang tidak bermakna. Hasil dari KTM WTO ke-12 hanya memberikan pengecualian kekayaan intelektual terhadap vaksin dan hanya berlaku untuk satu rezim kekayaan intelektual saja, yakni terkait paten. Padahal akses pada kebutuhan lain seperti terapeutik dan diagnostik juga dibutuhkan. Selain itu, pengecualian yang berlaku hanya pada paten hanya akan membuat perundingan ini sia-sia karena sebagian kebutuhan tidak dilindungi oleh paten melainkan aturan kekayaan intelektual lainnya seperti, hak cipta dan rahasia dagang. Hasil lainnya pada perundingan TRIPS Waiver di KTM WTO ke-12 memandatkan agar adanya perluasan pengecualian pada kebutuhan terapeutik dan diagnostik pada enam bulan pasca KTM WTO ke-12. Namun hingga menjelang KTM WTO ke-13 yang akan diadakan pada 26–29 Februari 2023 di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab, atau artinya hampir dua tahun berselang, perluasan pengecualian pada teraputik dan diagnostik masih menemui jalan buntu.
Perkembangan TRIPS Waiver
TRIPS Waiver diajukan oleh India dan Afrika Selatan pada 2 Oktober 2020 melalui WTO TRIPS Council.[1]Proposal ini merupakan langkah penting dalam menghilangkan hambatan kekayaan intelektual sehingga kebutuhan pandemi dapat diproduksi dengan cepat dan akses yang lebih luas namun terjangkau. Proposal ini sempat direvisi oleh pada Mei 2021 dalam rangka dimulainya negosiasi berbasis teks.[2]Namun sejak awal proposal ini diluncurkan, sebagian besar negara maju yang memiliki industri farmasi menolak proposal ini dengan berpandangan bahwa aturan TRIPS bukanlah hambatan utama dalam produksi kebutuhan pandemi. Negara maju seperti Uni Eropa mendorong untuk tetap memaksimalkan fleksibilitas TRIPS selama pandemi. Hal ini sejalan dengan pendapat negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Swiss. Sementara negara-negara berkembang menyatakan bahwa fleksibilitas TRIPS sangat terbatas dan tidak dapat digunakan untuk beberapa kebutuhan seperti vaksin.
Hingga menjelang KTM WTO ke-12, perundingan TRIPS Waiver di dalam TRIPS Council hingga General Council masih terus tertunda dan tidak mencapai kesepakatan. Pada KTM WTO ke-12, negara maju terus menolak untuk mengesahkan proposal. Kesepakatan pada KTM WTO ke-12 baru muncul setelah pertemuan empat pihak AS, UE, India, dan Afrika Selatan, melalui “Ministerial Decision on The TRIPS Agreement” dimana keputusan tersebut hanya menangguhkan atau memberikan pengabaian terhadap vaksin dan terbatas pada aturan paten.[3] Pengabaian pada kebutuhan pandemi lainnya terkait diagnostik dan terapeutik baru akan diperluas enam bulan pasca keputusan ini sebagaimana tercantum di paragraf 8.[4]
Sesuai paragraf delapan Keputusan Menteri tentang Perjanjian TRIPS pada KTM WTO ke-12 pada bulan Juni memberikan mandat untuk memutuskan perpanjangan mengenai pengabaian hingga ke terapeutik dan diagnostik pada akhir Desember 2022. “No later than six months from the date of this Decision (reached on 17 June 2022), Members will decide on its extension to cover the production and supply of COVID-19 diagnostics and therapeutics.”[5] Namun faktanya, hingga setahun kemudian Ketua Dewan TRIPS, Duta Besar Pimchanok Pitfield dari Thailand, mengatakan bahwa hanya ada sedikit kemajuan karena perbedaan pandangan yang terus berlanjut antar anggota. Berbagai laporan menyebutkan adanya sejumlah kecil negara yang memiliki kantor pusat industri farmasi besar mengambil posisi yang bertentangan dengan keputusan awal.[6]
Pada 29 November 2023, pertemuan informal Dewan TRIPS, masih terdapat kelompok negara industri yang menentang Proposal TRIPS Waiver dan juga menghalangi diskusi untuk perpanjangan pengabaian ke diagnostik dan terapeutik, negara-negara tersebut meliputi Uni Eropa, Swiss, Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara-negara yang disokong industri farmasi tersebut beranggapan bahwa tidak hambatan kekayaan intelektual di dalam mengakses diagnostik dan terapeutik, sehingga tidak diperlukan keputusan apapun.[7]
Berdasarkan diskusi yang telah berjalan, keputusan untuk perpanjangan pengabaian terhadap TRIPS Waiver terus menemui jalan buntu sebagai akibat dari “blokade” oleh negara-negara maju. Tindakan “blokade” ini secara tidak langsung juga memperkuat anggapan bahwa WTO sendiri juga “tersandera” oleh posisi negara-negara kuat.
KTM WTO ke-13, Apa yang harus dicapai?
Perpanjangan pengabaian pada diagnostik dan terapeutik adalah mandat dari KTM WTO ke-12. Sehingga pasca pertemuan tersebut, negara-negara berkembang masih harus terus mendorong agar kesepakatan dapat tercapai. Indonesia sebagai salah satu negara pendukung utama (co-sponsor) juga harus tetap mendorong tercapainya kesepakatan sesuai mandat. Meskipun tantangan lain masih tetap muncul terutama ketika Pandemi COVID-19 dianggap mereda, beberapa negara masih menunjukkan persoalan yang sulit ketika dihadapkan pada mutasi virus sebagai akibat dari tidak tercapainya kesetaraan akses vaksin. Selain itu, penting bagi mekanisme ini untuk dapat dimanfaatkan ketika menghadapi pandemi di masa depan.
Oleh: Agung Prakoso
Program Coordinator on Health & Intellectual Property Issues
Indonesia for Global Justice
[1] https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/IP/C/W669R1.pdf&Open=True
[2] https://igj.or.id/2021/11/11/menuju-ktm-wto-ke-12-kegagalan-wto-merespon-pandemi-global/
[3] https://igj.or.id/2022/06/22/putusan-wto-pada-trips-agreement-tidak-akan-berdampak-pada-akses-kebutuhan-covid-19/
[4] https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN22/30.pdf&Open=True
[5] https://docs.wto.org/dol2fe/Pages/SS/directdoc.aspx?filename=q:/WT/MIN22/30.pdf&Open=True
[6] https://twn.my/title2/intellectual_property/info.service/2023/ip230602.htm
[7] https://twn.my/title2/wto.info/2023/ti231204.htm