Serial Tulisan Merespon Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO, Abu Dhabi 2024
Dalam dua tahun sekali World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia mengadakan perhelatan akbar yang disebut dengan Konferensi Tingkat Menteri. Pertemuan ini sangat penting karena membahas isu-isu berkaitan dengan perdagangan maupun fasilitasi investasi di negara-negara anggota WTO. Disamping itu isu-isu yang akan dibahas juga sangat berpengaruh bagi kehidupan masyarakat dunia. Kini ada 164 negara anggota WTO terdiri dari negara maju, negara berkembang dan kurang berkembang. Termasuk Indonesia yang terlibat di dalam pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 WTO. KTM ke-13 ini akan dilaksanakan pada 26-29 Februari 2024 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.[1]
Ragam Isu yang Dibahas Dalam KTM ke-13 WTO
Berkaitan dengan isu yang akan dibahas dalam KTM ke-13 WTO, diantaranya: 1). Reformasi WTO;[2] 2). Pertanian;[3] 3). Subsidi Perikanan;[4] 4). TRIPS Waiver;[5] 5). Isu-isu dalam Joint Statement Initiative seperti ecommerce, fasilitasi investasi (IFD) termasuk membahas tentang perdagangan mineral kritis.
Dari beberapa isu diatas, sebenarnya semua isu sangat krusial dan penting diawasi oleh seluruh elemen masyarakat. Misal isu subsidi perikanan, yang dibahas itu berkaitan dengan ”masih diperbolehkan atau tidak” memberikan subsidi kepada nelayan kecil di negara berkembang-kurang berkembang termasuk Indonesia. Karena, WTO akan membuat aturan untuk pembatasan subsidi bagi negara berkembang tanpa pengecualian yang jelas. Maka, dampaknya subsidi yang selama ini diberikan pada nelayan kecil berpotensi adanya pembatasan berdasarkan aturan WTO. Kalau demikian, berbahaya dan merugikan bukan? Khususnya bagi nelayan kecil yang selama ini bergantung pada subsidi di sektor perikanan, misalnya bahan bakar minyak (BBM).
Isu yang lainnya, terkait pertanian yang masih stagnan. Padahal, isu pertanian ini sudah sejak 2001 yang dideklarasikan dan dibahas dalam Doha Development Agenda (DDA) di Qatar. Namun, isu ini masih sangat alot dibahas pada setiap putarannya. Terdapat 3 isu krusial dalam pembahasan negosiasi pertanian di WTO, yakni pertama, subsidi domestic (domestic support); kedua, pembatasan ekspor (export restrictions); ketiga, cadangan pangan nasional (public stockholding). Di mana ketiga isu krusial itu didorong oleh negara berkembang-kurang berkembang yang memperjuangkan agar pemberian subsidi pertanian dan cadangan pangan nasional tetap dipertahankan.
Pada isu kesehatan publik, dibahas tentang perluasan cakupan TRIPS Waiver pada pandemi Covid-19.[6] Perluasan pengabaian TRIPS itu tidak hanya pada saat pandemi Covid-19, melainkan juga terkait diagnostik dan terapi. Termasuk agar akses dan transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang bisa dilakukan dalam menghadapi pandemi. Sehingga negara berkembang tidak sebagai konsumen saja melainkan juga produsen vaksin. Tetapi terhadap isu ini masih dalam proses pembahasan, termasuk soal perluasan cakupan terhadap pengabaian TRIPS (TRIPS Waiver).[7]
Disamping itu, isu reformasi WTO (WTO Reform) juga akan dibahas dalam KTM ke-13 WTO. Karena ini sebagai isu penting yang cukup menguat pembahasannya. Yang dibahas diantaranya terkait problematika penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body-DSB) WTO. Di mana kini hakim banding WTO yang kurang dan tidak diusulkan oleh Amerika Serikat, membuat penyelesaian sengketa melalui tingkat Banding tidak dapat diproses. Penerimaan kasus di tingkat Banding tetap saja bisa, namun tidak bisa diperiksa dan diputuskan disebabkan kekurangan anggota hakim panel banding.[8]
Perkembangannya akan membahas soal exit strategy tentang mekanisme teknis penyelesaian sengketa WTO, dimana kasus-kasus yang disengketakan tetap dapat diperiksa dan diputuskan walau kedepannya ada problem kekurangan hakim. Termasuk membahas tentang teknis waktu penyelesaian sengketa di WTO.
Dalam KTM ke-13 WTO nantinya membahas tentang isu ecommerce, di mana salah satu pembahasannya adalah terkait pencabutan moratorium ecommerce. Karena selama ini konten dari Perusahaan digital (Big-Tech) tidak dikenakan pajak, padahal banyak konsumennya di negara berkembang-kurang berkembang.[9] Karena masih adanya perpanjangan moratorium ecommerce hingga KTM ke-13 WTO, maka masih menutup kesempatan bagi negara berkembang untuk mengambil pajak dari perusahaan digital di wilayah operasi negaranya. Negara maju masih tetap menginginkan keberlanjutan untuk moratorium ecommerce tersebut. Agar terhindar dari pajak digital.
Yang tidak kalah penting untuk diawasi adalah pembahasan fasilitasi investasi untuk pembangunan atau Investment Facilitation for Development (IFD).[10] Karena dalam pembahasannya mengenai komitmen negara-negara anggota WTO dalam memberikan karpet merah bagi investasi luar negeri (foreign investment). Indonesia sebagai salah satu negara yang mendukung inisiatif pembahasan terkait fasilitasi investasi ini karena telah ada aturan pembukaan investasi luar negeri melalui instrumen omnibus law. Termasuk hal teknis dalam administrasi penerimaan investasi melalui online single submission (OSS). Ini berpotensi besar liberalisasi investasi di Indonesia dalam berbagai sektor. Terlebih ketika Indonesia mempromosikan omnibus law melalui pembahasan IFD di WTO. Dengan dalih, bahwa Indonesia menginginkan penarikan investasi dari negara lain dengan memberikan karpet merah seluas-luasnya tanpa memperhatikan dampak ekologis, sosial dan ekonomi kedepan.
***
Catatan:
Ini merupakan serial tulisan dalam mengupdate dan memonitoring Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO di Abu Dhabi, UAE. Beberapa isu akan diulas secara detail dalam tulisan berbeda. Untuk mendapatkan update terbaru, anda dapat mengunjungi website www.igj.or.id. Kami akan mempublish tulisan-tulisan terkait perdagangan dan investasi khususnya dampak kebijakan WTO bagi kehidupan masyarakat luas.
Penulis:
Rahmat Maulana Sidik
Direktur Eksekutif, Indonesia for Global Justice (IGJ)
Alamat Kantor:
Jl. Rengas Besar No. 35C, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Website: www.igj.or.id
Email: Rahmat.maulana@igj.or.id
[1] https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc13_e/mc13_e.htm
[2] https://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc12_e/briefing_notes_e/bfwtoreform_e.htm
[3] https://www.wto.org/english/news_e/news24_e/agng_17jan24_e.htm
[4] https://www.wto.org/english/tratop_e/rulesneg_e/fish_e/fish_e.htm
[5] Isu ini membahas tentang pengabaian aturan kekayaan intelektual dalam perdagangan ketika kondisi dunia dalam keadaan darurat. Belajar dari Covid19, seharusnya aturan pengabaian HAKI (TRIPS Waiver) dapat diterapkan. https://www.wto.org/english/news_e/news23_e/heal_17mar23_e.htm.
[6] https://www.wto.org/english/news_e/news23_e/gc_15dec23_e.htm.
[7] Untuk lebih lanjut, anda dapat membaca ulasan TRIPS Waiver dalam tulisan berikut: https://igj.or.id/2024/02/10/trips-waiver-blokade-negara-maju-pada-perluasan-pengabaian-ke-diagnostik-dan-terapeutik/.
[8] Untuk lebih lanjut, anda dapat membaca ulasan tentang Reformasi WTO dalam tulisan berikut: https://igj.or.id/2024/02/09/update-menuju-ktm-ke-13-wto-apa-yang-akan-direformasi-di-wto/.
[9] Untuk lebih lanjut, anda dapat membaca ulasan tentang moratorium ecommerce dalam tulisan berikut: https://igj.or.id/2024/02/09/mengapa-negara-berkembang-ingin-mengakhiri-moratorium-e-commerce/.
[10] Untuk lebih lanjut, anda dapat membaca ulasan tentang IFD dalam tulisan berikut: https://igj.or.id/2024/02/09/update-perundingan-apa-sih-yang-dibahas-di-joint-statement-initiative-investment-facilitation-for-development-pada-ktm-ke-13-wto/.