Abu Dhabi, 25 Februari 2024 – Kelompok nelayan kecil dan kelompok masyarakat sipil melakukan pertemuan dengan Delegasi Pemerintah Indonesia (25/2) pukul 18.45 Waktu Abu Dhabi jelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO di Abu Dhabi. Adapun yang hadir dalam pertemuan ini, yaitu: Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ); Fikerman Saragih, Deputi Manajemen Pengetahuan KIARA; Olencio Simoes, Sekretaris Jenderal National Fishworkers Forum, India; Adam Wolfenden, PANG Campaigner dan Ranja Sengupta, Senior Researcher of Third World Network (TWN).
Pertemuan ini diterima oleh Delegasi Pemerintah Indonesia, yaitu: Bapak Andrea Robert selaku negosiator Indonesia untuk isu subsidi perikanan, Ibu Ghanna Wivanius selaku negosiator Indonesia untuk DS Reform, dan Bapak Adityo Dewantoro selaku negosiator Indonesia untuk isu pertanian.
Penyampaian Konsern Isu Subsidi Perikanan dan Pertanian
Pertemuan dengan delegasi ini fokus pada penyampaian dua isu, yaitu: isu subsidi perikanan dan pertanian karena delegasi. Rahmat Maulana Sidik mengingatkan kepada delegasi bahwa kelompok nelayan kecil Indonesia telah menyampaikan surat kepada Pemerintah Indonesia agar menjaga kedaulatan dan perlindungan bagi nelayan kecil di negara berkembang-kurang berkembang termasuk Indonesia. Bahkan, Indonesia telah ada pengaturan subsidi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Jika negosiasi WTO soal subsidi perikanan ini disepakati, maka nelayan kecil tidak akan mendapatkan subsidi lagi. Bahkan WTO mengharuskan perubahan terhadap regulasi subsidi Indonesia. Intervensi WTO seperti ini yang mengancam kedaulatan nelayan kecil dan tradisional harus ditolak.
Selanjutnya, Adam Wolfenden menambahkan bahwa teks negosiasi tidak mencerminkan adanya keadilan bagi nelayan kecil di negara berkembang-kurang berkembang. Bahkan WTO tidak menargetkan armada besar maupun negara maju yang memberikan subsidi perikanan yang sangat besar. Dalam teks negosiasi juga masih memungkinkan bagi subsidi yang berkontribusi pada IUU Fishing, Overcapacity dan Overfishing untuk mempertahankan subsidi selama mereka melakukan langkah pengelolaan ikan yang berkelanjutan. Ini akan menguntungkan bagi negara maju yang memiliki manajemen perikanan yang sudah canggih dan maju.
Jarak 12 NM tanpa pengecualian bagi nelayan di negara berkembang-kurang berkembang menjadi soal. Karena jarak tempuh nelayan semakin dibatasi dengan 12 NM, padahal UNCLOS mengatur hingga 200 NM dan menjamin kedaulatan atas wilayah teritori masing-masing negara.
Selain itu, negosiasi teks saat ini akan lebih menguntungkan bagi negara maju, yang sudah memiliki kapasitas untuk mensubsidi armada mereka dan mengelola stok ikan. Pengelolaan dan pengukuran stok perikanan sangatlah mahal bagi banyak negara berkembang, sehingga lebih sulit bagi negara-negara tersebut untuk mengelola seluruh stok ikan mereka serta melaporkannya ke WTO untuk mendapatkan fleksibilitas dalam hal ini.
Olencio Simoes menekankan bahwa kondisi nelayan di India semisal dengan Indonesia. Dimana perjuangannya menolak adanya pelarangan subsidi di WTO bagi nelayan kecil.
Terkait isu pertanian, Ranja Sengupta menekankan pentingnya solusi permanen untuk PSH bagi negara berkembang-kurang berkembang. Dan mendukung subsidi domestik bagi pertanian kecil.
Isu pertanian di MC13 WTO tampaknya lebih sulit mencapai kesepakatan yang mendukung pertanian di negara berkembang-kurang berkembang. Karena negara maju memblok negosiasi ini yang telah dimandatkan oleh DDA.
Dikarenakan pertemuan yang terbatas dan singkat, pada beberapa konsentrasi isu yang menjadi konsern, perwakilan kelompok nelayan dan CSOs memberikan brief position kepada Delegasi Indonesia yang hadir kemarin (25/2). Termasuk diantaranya isu Dispute Settlement Reform, Moratorium Ecommerce, investment facilitation for development dan TRIPS Waiver.
Live reporter, contact:
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) – +6281210025135