Siaran Pers Bersama
Menjelang Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO:
Penghapusan Subsidi Perikanan di WTO Mengancam Keberlanjutan Hidup Nelayan Kecil dan Tradisional
Jakarta, 24 Februari 2024 – Pada tanggal 23 Februari 2024, kelompok nelayan kecil dan tradisional mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia terkait negosiasi perjanjian subsidi perikanan di WTO, yang akan melarang subsidi bagi nelayan kecil di negara berkembang termasuk Indonesia. Dalam rancangan teks WTO yang sedang dibahas, terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang akan dilarang karena berkontribusi pada IUU Fishing, Overcapacity dan Overfishing.
Diantara subsidi yang dilarang itu adalah bahan bakar minyak, asuransi, biaya pegawai, subsidi peningkatan kapal, teknologi pencarian ikan, subsidi untuk mendukung kegiatan di laut hingga subsidi yang mencakup kerugian penangkapan ikan atau kegiatan terkait penangkapan ikan.
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) mengungkapkan bahwa pembahasan subsidi perikanan di WTO sangat diskriminatif bagi negara berkembang-kurang berkembang. Di mana subsidi yang seharusnya dapat dipertahankan oleh negara berkembang termasuk Indonesia justru dibatasi bahkan dilarang. Sementara bagi negara maju dan industri perikanan skala besar tetap dapat mempertahankan subsidinya asalkan bisa menerapkan langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Ini sangat diskriminatif dan tidak adil. Karena secara otomatis pengelolaan perikanan di negara maju lebih canggih dan lebih siap”, Ungkap Maulana.
“Kalau WTO mau mendorong perubahan subsidi perikanan yang selama ini diberikan oleh negara berkembang, namun pada ujungnya negosiasi ini akan melarang pemberian subsidi bagi nelayan kecil. Maka itu artinya WTO melakukan intervensi terlalu jauh pada kebijakan nasional bahkan melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sudah semestinya kita tegas dengan menolak intervensi yang dilakukan WTO itu”, tegas Maulana.
Dalam naskah yang ada saat ini, tidak ada pengecualian yang jelas bagi nelayan kecil di negara berkembang untuk tetap mendapatkan subsidi. Selain nelayan kecil harus dihadapkan pada potensi penghapusan subsidi di WTO, nelayan juga dihadapkan pada kenyataan di lapangan yang hingga saat ini kesulitan dalam mengakses subsidi karena harga mahal dan birokratis.
Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan bahwa “pelarangan subsidi bagi nelayan kecil oleh WTO itu mengancam jutaan hidup nelayan serta masyarakat kecil yang bergantung di sektor perikanan”, Kata Dani.
“Ia juga menambahkan bahwa implementasi subsidi bahan bakar kepada nelayan selama ini masih tidak tepat sasaran bahkan mahal”. Berdasarkan studi KNTI 2021, menunjukan bahwa 82% nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini dikarenakan dua hal yaitu kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil. Pengeluaran terbesar nelayan kecil adalah untuk membeli BBM yang meliputi 60-70% dari total biaya melaut. Bahkan nelayan kecil membeli BBM dengan harga 30-40% lebih mahal dari harga umum, Tambah Dani.
Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang mendominasi di Indonesia, bahkan jumlah nelayan kecil di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. “Kategori nelayan kecil di Indonesia juga sudah jelas bahwa yang disebut sebagai nelayan kecil adalah mereka yang menggunakan perahu maksimal 5 GT (merujuk UU Perikanan) dan 10 GT (merujuk UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam. Sedangkan jumlah perempuan nelayan yang terlibat dalam aktivitas pra-produksi dan pasca produksi perikanan skala kecil mencapai 3,9 juta jiwa. Nelayan skala kecil juga menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan melakukan penangkapan ikan secara berkelanjutan dan tidak eksploitatif,” jelas Fikerman.
“Saat ini kondisi nelayan di Indonesia sebanyak 6,3 juta nelayan tengah menghadapi ketidakpastian untuk bisa melaut dan mendapatkan ikan karena disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kompetisi ruang antara nelayan kecil dan industri perikanan, penimbunan pantai/reklamasi, pertambangan, hingga perubahan iklim. Ketidakpastian kondisi tersebut akan diperparah jika perundingan di KTM-13 WTO menghasilkan dihapuskannya subsidi perikanan untuk nelayan kecil,” tegas Fikerman.
Oleh karena itu Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencaharian dan kedaulatan para nelayan serta sektor perikanan secara keseluruhan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan yang buruk, yang akan merugikan rakyat Indonesia.
Referensi:
Surat Nelayan kepada Pemerintah Indonesia: https://igj.or.id/2024/02/23/surat-terbuka-kelompok-nelayan-indonesia-terhadap-negosiasi-subsidi-perikanan-di-konferensi-tingkat-menteri-ke-13-wto/
Dampak Subsidi Perikanan WTO Bagi Nelayan Kecil: https://igj.or.id/2024/02/16/dampak-perjanjian-subsidi-perikanan-di-wto-bagi-nelayan-kecil/
Kontak lebih lanjut:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ, +6281210025135
Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI, +62 812-9671-744
Fikerman Saragih, Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, +62 823-6596-7999