JAKARTA, KOMPAS — Kelompok nelayan kecil Indonesia menolak usulan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO soal rencana membatasi dan melarang subsidi perikanan bagi nelayan. Rencana itu menjadi salah satu agenda utama pembahasan Konferensi Tingkat Menteri Ke-13 WTO yang berlangsung di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 26-29 Februari 2024.
”Jika negosiasi ini disepakati, maka nelayan kecil di Indonesia tidak akan lagi mendapat subsidi. Hal ini jelas akan makin membebani nelayan kita,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGC) Rahmat Maulana Sidik, dihubungi pada Kamis (29/2/2024).
Jika negosiasi ini disepakati, nelayan kecil di Indonesia tidak akan lagi mendapat subsidi.
Dalam rancangan teks subsidi perikanan yang dibahas pada konferensi tingkat menteri (KTM) ke-13 di Abu Dhabi, WTO berencana melarang delapan jenis subsidi yang dinilai berkontribusi pada kegiatan penangkapan ikan berlebih dan melewati kapasitas secara ilegal, tidak terlaporkan, dan tidak teregulasi (illegal, unreported, and unregulated/IUU overcapacity & overfishing).
Subsidi yang dilarang antara lain subsidi dalam bentuk bahan bakar minyak (BBM), asuransi, biaya pegawai, dan teknologi pencarian ikan. Dalam keterangan resminya, salah satu alasan WTO mendorong pengaturan subsidi itu adalah agar bisa menciptakan kegiatan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
Rahmat menjelaskan, dalam negosiasi tersebut, WTO mengharuskan perubahan regulasi subsidi di negara anggota, termasuk Indonesia. Jika perjanjian WTO itu disahkan dan Indonesia ikut meratifikasi, maka Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam berpotensi berubah. UU ini menyebut pemberian subsidi langsung bagi nelayan.
Intervensi oleh WTO ini, imbuh Rahmat, dapat mengancam kedaulatan nelayan kecil dan tradisional. Oleh karena itu, IGC bersama Kelompok Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menyuarakan penolakan rencana WTO tersebut.
Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencarian dan kedaulatan nelayan.
Ia mengatakan, aspirasi dan rekomendasi ini sudah disampaikan kepada delegasi Indonesia pada 25 Februari lalu atau sehari sebelum KTM Ke-13 WTO dilaksanakan. Harapannya, delegasi Indonesia punya kesempatan menyampaikannya pada pembahasan dalam KTM.
”Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak menyetujui teks subsidi perikanan saat ini karena akan membahayakan mata pencarian dan kedaulatan nelayan. Lebih baik tidak ada kesepakatan daripada kesepakatan buruk yang akan merugikan rakyat Indonesia,” ujarnya.
Berbagai ketidakpastian
Kepala Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara Fikerman Saragih mengatakan, nelayan kecil Indonesia berjumlah sekitar 2,4 juta jiwa. Adapun jumlah perempuan nelayan yang terlibat dalam aktivitas praproduksi dan pascaproduksi perikanan skala kecil mencapai 3,9 juta jiwa.
Ia menjelaskan, saat ini nelayan tengah menghadapi ketidakpastian untuk bisa melaut dan mendapatkan ikan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kompetisi ruang antara nelayan kecil dan industri perikanan, penimbunan pantai atau reklamasi, pertambangan, dan perubahan iklim.
Nelayan kecil pun menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tentu menggunakan metode penangkapan sederhana dan tidak eksploitatif.
”Ketidakpastian kondisi tersebut akan diperparah jika perundingan di KTM Ke-13 WTO menghasilkan dihapuskannya subsidi perikanan untuk nelayan kecil,” ujar Fikerman.
Ia menambahkan, nelayan kecil pun menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tentu menggunakan metode penangkapan sederhana dan tidak eksploitatif. Maka, sudah semestinya mereka menangkap ikan secara berkelanjutan.
Ancam jutaan nelayan
Bahkan, nelayan kecil membeli BBM seharga 30-40 persen lebih mahal dari harga umum. Oleh karena itu, pemberian subsidi BBM penting untuk meringankan beban nelayan kecil.
Terlepas dari itu, Dani menambahkan, subsidi BBM kepada nelayan masih banyak yang tidak tepat sasaran. Studi KNTI pada 2021 menyebutkan, 82 persen nelayan kecil tidak bisa mengakses BBM subsidi. Ini disebabkan kesulitan mengurus surat rekomendasi dan minimnya infrastruktur distribusi BBM subsidi yang bisa diakses nelayan kecil.
Sementara itu, di Abu Dhabi, pembahasan KTM Ke-13 WTO berlangsung alot pada Rabu (28/2/2024) waktu setempat. Mengutip Reuters, alotnya negosiasi dan belum tercapainya kesepakatan ini terjadi akibat perbedaan pandangan antara peserta yang hadir.
Menteri Perdagangan India Piyush Goyal menilai, WTO semestinya tidak perlu terlibat dalam negosiasi aturan terkait perdagangan secara langsung, seperti aspek perubahan iklim. Lebih baik mereka fokus pada perdagangan dunia dan melimpahkan isu lain kepada organisasi interpemerintahan.
Dalam keterangan resmi di situs WTO, Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, semua pihak harus bersatu dan berbicara guna mencapai perjanjian yang bisa disepakati bersama.
Menteri Perdagangan Luar Negeri Uni Emirat Arab yang juga Ketua KTM Ke-13 WTO, Thani bin Ahmed Al Zeyoudi, mengatakan, ini saatnya semua pihak mengesampingkan perbedaan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Ia berharap tercapai konsensus dari pertemuan ini. Pembahasan akan dilanjutkan pada hari terakhir pertemuan KTM, Kamis (29/2/2024) waktu setempat.
Sumber: Kompas