Abu Dhabi, 1 Maret 2024 – Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) melakukan pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk Abu Dhabi disaat Konferensi Tingkat Menteri ke-13 WTO di Abu Dhabi. Dalam pertemuan tersebut Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice dan Fikerman Saragih, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA disambut baik oleh Bapak Husin Bagis selaku Duta Besar Indonesia untuk Abu Dhabi.
Rahmat Maulana Sidik menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia harus menjaga kedaulatan rakyat dan mengutamakan kesejahteraan rakyat kecil pada setiap isu dalam perundingan KTM ke-13 WTO. Salah satu isu yang disampaikan adalah terkait kekhawatiran keikutsertaan Indonesia dalam pembahasan investment facilitation for “development” (IFD). Karena keterlibatan Indonesia dalam IFD ini tidak membawa manfaat apapun bagi negara kita, namun hanya membebani lebih banyak kewajiban dalam melaporkan mekanisme penerimaan investasi asing pada berbagai regulasi yang ada di Indonesia kepada WTO. Disamping itu juga Indonesia sudah banyak mengikatkan diri pada berbagai perjanjian dagang dan investasi (BIT), dan tidak ada korelasi terhadap penarikan minat investasi asing ke dalam negeri. Tetapi justru terbebani dengan ancaman gugatan investor asing melalui mekanisme ISDS (investor state dispute settlement).
Lebih lanjut Maulana menyampaikan terkait pentingnya Indonesia mendorong pencabutan moratorium ecommerce atau bea masuk pada transmisi elektronik. Karena selama ini perusahaan digital berskala transnasional beroperasi di berbagai negara berkembang tetapi tidak dikenakan bea masuk atas transmisi elektronik. Kini tantangannya dalam negosiasi adalah negara-negara maju ingin perpanjangan moratorium (penundaan) pengenaan bea masuk ecommerce tersebut. Tetapi mendapatkan perlawanan dari beberapa negara berkembang termasuk India, Indonesia, dan Afrika Selatan agar aturan moratorium dicabut di WTO.
Pada isu pertanian, Maulana menambahkan pentingnya mendorong solusi permanen terhadap public stockholding (cadangan pangan nasional), dan memiliki special safeguards mechanism (SSM) bagi negara berkembang-kurang berkembang.
Kemudian Maulana menyampaikan pentingnya subsidi perikanan bagi nelayan kecil agar tetap dilanjutkan bahkan ditingkatkan. Karena WTO akan melarang delapan jenis subsidi bagi nelayan kecil, diantaranya adalah subsidi bahan bakar, asuransi nelayan, biaya pegawai, dan segala subsidi yang dilarang pada Pasal A.1 Draft Teks Subsidi Perikanan WTO.
Dalam hal ini Fikerman menambahkan bahwa telah ada subsidi bagi nelayan kecil yang diatur melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Dan Petambak Garam. Di mana dalam UU tersebut Pemerintah punya diwajibkan untuk memberikan subsidi kepada nelayan kecil. Peraturan tersebut berpotensi diubah jikalau WTO melarang delapan jenis subsidi perikanan. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 secara jelas disebutkan bahwa pemerintah wajib memberikan subsidi bahan bakar dan energi lainnya, asuransi perikanan, asuransi jiwa, dan mewujudkan harga ikan yang menguntungkan nelayan. Sehingga nelayan negara berkembang termasuk Indonesia berpotensi tidak dapat mendapatkan subsidi tersebut sebagaimana mestinya. Ini berbahaya dan berdampak pada kehidupan jutaan nelayan kecil di Indonesia.
Salah satu dampak yang akan dirasakan adalah dapat menghilangkan profesi nelayan skala kecil yang saat ini semakin rentan karena berbagai dinamika yang ada. Jika hal ini terjadi maka akan merugikan masyarakat Indonesia secara lebih luas karena terganggunya ketahanan pangan karena berkurangnya bahkan hilangnya salah satu aktor utama dalamrantai produksi perikanan Indonesia. Sudah saatnya Indonesia menjadi leader bagi negara-negara berkembang lainnya untuk memastikan subsidi perikanan tetap dapat dipertahankan bagi nelayan kecil.
Reporter:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ)
Website: www.igj.or.id