Kepada Yth.
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia
Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi
Bapak Airlangga Hartanto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Bapak Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan
Bapak Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi/Kepala BKPM Pimpinan DPR RI
Rencana Adopsi Standar Perizinan Investasi Di bawah UU Cipta Kerja Dalam JSI Investment Facilitation Di WTO Telah Menghilangkan Hak Konstitusional Rakyat Indonesia
Jakarta, 20 Maret 2024. Kami, Koalisi MKE dan KEPAL yang bertanda-tangan di bawah ini, mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak bergabung dalam Perjanjian Plurilateral WTO (World Trade Organisation), dan Joint Statement Initiative (JSI) on Investment Facilitation for Development (JSI IF).
Desakan dua koalisi ini didasari atas beberapa dasar sebagai berikut:
Pertama, kami menolak bahwa JSI IF dipromosikan oleh beberapa negara di WTO serta upaya- upaya untuk menggambarkannya sebagai kendaraan untuk pembangunan. JSI IF tidak disepakati dalam konferensi tingkat menteri sebelumnya, perundingan ini akan semakin melegitimasi mekanisme illegal di dalam WTO untuk memasukkan isu-isu baru dan memperdalam krisis Lembaga multilateralisme karena ketimpangan.
Kedua, mungkin pemerintah berpandangan bahwa dengan mengikuti JSI IF akan menarik investasi asing langsung (FDI). Namun banyak penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bukti konklusif mengenai korelasi tersebut dan kecil kemungkinan JSI IF akan berdampak yang signifikan terhadap aliran investasi asing. Sebaliknya, penelitian menunjukkan bahwa faktor- faktor yang menjadi perhatian utama investor mencakup ukuran dan potensi pertumbuhan pasar, pembangunan infrastruktur, dan ketersediaan sumber daya (sumber daya alam dan tenaga kerja yang melimpah).
Ketiga, JSI IF ini tidak menguntungkan negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Faktanya, ini semacam memberikan cek kosong kepada investor asing. pengaturan JSI IF akan digunakan untuk memperluas cakupan peraturan WTO ke dalam produk hukum nasional terkait investasi asing. Ironisnya, fitur utama untuk yang disebut sebagai ‘transparansi’ akan mewajibkan pemerintah untuk menyediakan mekanisme bagi investor asing untuk mengintervensi proses penyusunan peraturan perundangan kita. Ini justru memberdayakan investor asing dan perusahaan multinasional untuk melakukan lobi terhadap undang-undang yang mereka tolak, memberikan mereka hak-hak yang justru tidak dimiliki sebagai warga negara.
Keempat, JSI IF memberikan hak-hak baru bagi investor asing, perjanjian ini tidak membebankan kewajiban baru kepada mereka untuk berperilaku secara bertanggung jawab dan demi kepentingan para pekerja, perempuan, masyarakat adat, dan masyarakat lainnya di negara kita. Juga tidak ada kewajiban bagi negara asing untuk memastikan bahwa investor mereka mematuhi hukum setempat atau hukum negara asal.
Kelima, selain itu kami juga prihatin dengan keinginan Pemerintah Indonesia untuk memasukan Sistem Online Single Submission (OSS) sebagai standar fasilitasi investasi yang akan ditawarkan untuk diadopsi ke dalam perjanjian plurilateral ini akan berpotensi menimbulkan ketidak-pastian perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini karena, sistem perizinan investasi dalam OSS yang pengaturannya di bawah Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang secara formil inkonstitusional dan praktiknya tidak menyelesaikan masalah tumpang tindih perizinan, serta merampas ruang hidup rakyat Indonesia baik terkait dengan ancaman kerusakan lingkungan dan ancaman hilangnya ruang hidup rakyat di darat, perairan, pesisir, dan laut. UU Cipta Kerja juga dilegitimasi oleh prosedural hukum yang secara fundamental bertentangan dengan semangat demokrasi di Indonesia. Bahkan, Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 tidak menghasilkan perubahan mendasar atas kebijakan diplomasi ekonomi Internasional Indonesia yang terus memfasilitasi kepentingan korporasi multinasional dan didukung penuh baik oleh aktor eksekutif, legislative, maupun yudikatif.
Keenam, pengadopsian Sistem OSS yang dilegitimasi oleh UU Cipta Kerja memiliki masalah konstitusional dan masalah tumpang tindih perizinan ke dalam mekanisme internasional sehingga membuat Indonesia berpotensi kembali digugat di arbitrase nasional.
Ketujuh, perizinan penggunaan atas tanah untuk kepentingan investasi melalui OSS tetap membuka celah korupsi yang besar mengingat mekanisme persetujuannya tetap dilakukan secara manual walaupun sistem pengajuan dilakukan secara digital. Dan tentunya, hal ini akan Kembali menciptakan konflik agraria baru yang hingga saat ini jumlahnya masih sangat tinggi dan belum terselesaikan.
Kedelapan, dalam konteks izin lingkungan, sistem OSS berbasis risk-based approach (RBA) memiliki kriteria penentuan risiko yang sangat bermasalah serta tidak transparan. Misalnya, Wilayah rentan bencana tidak menjadi indikator. Terlebih, Komisi Amdal tidak melibatkan masyarakat sipil dalam proses penetapannya. Beberapa proses pelibatan masyarakat yang dihilangkan dalam pemberian izin lingkungan tetap menimbulkan resiko baru bagi investor apabila bank yang mendukung pembiayaan investasi mewajibkan Langkah ketat terkait pelibatan masyarakat.
Kesembilan, pasca diberlakukannya UU Cipta Kerja, RZWP3K akan diintegrasikan dalam rangka kemudahan perizinan investasi infrastruktur. Namun, tidak adanya pengakuan ruang wilayah nelayan dan masyarakat hukum adat. Tidak ada kategorisasi perikanan kecil atau tradisional dalam pembentukan rencana zonasi, dan tidak disusun sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Kesepuluh, dalam hal isu ketenagakerjaan, capital flight lebih cepat karena ada sistem OSS, namun tidak disertakan jaminan perlindungan bagi buruh. Angka buruh formal dengan yang registrasi di BPJS masih tidak sesuai. Ketika penyesuaian upah, data KBLI sulit untuk diakses untuk mengecek tentang izin usaha yang dimiliki perusahaan sehingga upah tidak sesuai. Apabila klaim tentang OSS betul, hak buruh dan datanya dapat disinkronisasi namun justru menimbulkan banyak risiko dan dampak. Tentunya, sistem perizinan investasi di dalam OSS semakin memperdalam dampak pada hilangnya perlindungan hak buruh di Indonesia.
Kesebelas, UU Cipta Kerja masih dalam proses gugatan di Mahkamah Konstitusi dan mendapatkan gelombang penolakan besar dari akademisi, buruh, petani, nelayan, pegiat lingkungan dan akar rumput. Oleh karena itu, pengintegrasian OSS-RBA produk UU Cipta Kerja akan berdampak memperluas disharmoni hukum dan tidak menghormati hak-hak konstitusional rakyat Indonesia, akan menimbulkan ketidak-pastian perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, mengingat ratifikasi perjanjian tersebut akan berdampak pada kewajiban harmonisasi regulasi nasional Indonesia.
Pernyataan sikap ini seharusnya menjadi pertimbangan negosiator dalam perundingan di WTO. Kami sangat terbuka untuk melakukan dialog lanjutan dengan Pemerintah Indonesia dan DPR RI, bersandar kepada UUD RI 1945 dan Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 tentang Perjanjian Internasional, bahwa perjanjian internasional yang membawa dampak meluas bagi rakyat seharusnya melalui persetujuan DPR.
Persetujuan DPR tersebut seharusnya dimaknai, pertama, fungsi DPR tidak di ujung akhir, yaitu pada fase pengesahan tetapi harus sejak negosiasi; dan kedua, DPR sebagai wakil rakyat akan memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat Umum untuk menyerap aspirasi masyarakat terkait perjanjian internasional.
Jakarta, 20 Maret 2024, atas nama Koalisi MKE dan KEPAL
- Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin)
- IHCS
- Indonesia AIDS Coalition (IAC)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR)
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Puanifesto
- Sahita Institute (Hints)
- Solidaritas Perempuan (SP)
Untuk komunikasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Koordinator Koalisi MKE: Rahmat Maulana Sidik, Direktur IGJ, di No. 081210025135 dan Olisias Gultom, Direktur Hints, di No. 088298293959
Koordinator Koalisi KEPAL: Gunawan, Dewan Pembina IHCS, di No. 081584745469