Kepada Yth.
1. Dr. H. Zulkifli Hasan, S.E., M.M
Menteri Perdagangan Republik Indonesia
2. Dr. Ir. H. Andi Amran Sulaiman, M.P
Menteri Pertanian Republik Indonesia
3. Febrian A. Ruddyard
Duta Besar/Wakil Tetap RI, PTRI Jenewa
4. Djatmiko Bris Witjaksono, S.E., MSIE
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia
5. Dr. Ir. Leli Nuryati, M.Sc
Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian
Kementerian Pertanian Republik Indonesia
Perihal: Mengingatkan komitmen pemerintah dan juru runding dalam perundingan
Indonesia-EU CEPA untuk tidak mengikatkan komitmen menjadi anggota UPOV dan
atau mengubah undang-undang peraturan terkait perlindungan varietas tanaman
sesuai UPOV 1991
Kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi, telah cukup lama mencoba
mengikuti proses perundingan perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa
(IEU CEPA). Kami melihat bahwa salah satu bab yang dibahas dalam perundingan ini adalah
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKIJ). Salah satu proposal Uni Eropa terkait
perlindungan hak atas kekayaan intelektual ini adalah meminta Indonesia untuk menjadi
anggota UPOV 1991 (Act of the International Union for the Protection of New Varieties of
Plants), dan atau mengharmonisasikan undang-undang perlindungan varietas tanaman
dengan UPOV 1991.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada tanggal 4 Desember 2023, Special Rapporteur for the
Right to Food, Michael Fakhri, telah mengirimkan komunikasi kepada pemerintah Indonesia
dan Komisi Uni Eropa mengenai hal ini. Dalam suratnya, Michael Fakhri mengutip laporan
tahun 2021, “Seeds, right to life and farmers’ rights” yang menyatakan bahwa sistem
perbenihan yang semakin mengakui dan mendukung petani sebagai pengelola sistem
perbenihan untuk seluruh umat manusia, akan semakin besar kemungkinan sistem ini
menjamin pemenuhan hak asasi manusia.
Lebih lanjut, Michael Fakhri dalam suratnya menyatakan bahwa Konvensi UPOV, terutama
UPOV 1991 menetapkan paradigma dimana yang memberikan perlindungan yang cukup
besar terhadap pemulia benih dengan mengorbankan petani kecil, termasuk pembatasan hak
mereka untuk menyimpan, menggunakan, menukar dan menjual benih atau bahan
perbanyakan tanaman serta penerapan teknik pemuliaan seperti “seleksi”.
Karena itu, Michael Fakhri mengatakan bahwa perjanjian bilateral atau regional seharusnya
tidak memasukan kewajiban menjadi anggota UPOV sebagai salah satu syarat dalam
perjanjian perdagangan, dan persyaratan tersebut seharusnya dihapuskan dalam perjanjian
yang sudah ada. Selanjutnya, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan juga
merekomendasikan negara-negara untuk mendasarkan peraturan perbenihan pada
International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and _ Agriculture
(ITPGRFA/perjanjian internasional tentang sumberdaya genetik untuk pangan dan pertanian)
dan hukum-hukum hak asasi manusia seperti ICESCR atau Kovenan Internasional atas
hak-hak ekonomi, sosial dan kultural; CEDAW atau Konvensi Penghapusan segala
diskriminasi atas Perempuan; Deklarasi PBB atas hak masyarakat adat serta Deklarasi PBB
atas hak petani kecil dan orang-orang yang bekerja di pedesaan.
Pemerintah Indonesia melalui Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk PBB, WTO dan
Organisasi Internasional lainnya yang berbasis di Jenewa juga telah mengirimkan respon atas
surat dari Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Michael Fakhri, melalui surat
tertanggal 6 Februari 2024 yang ditandatangani oleh Bapak Febrian A. Ruddyard. Dalam
surat tersebut menyebutkan antara lain, bahwa pemerintah Indonesia masih memegang posisi
untuk tidak menjadi anggota UPOV 1991 dalam rangka untuk memastikan ruang kebijakan
bagi perlindungan petani kecil dan sumberdaya genetik
Selain itu, kami melihat dan mengetahui bahwa kemampuan petani untuk mengembangkan
benih yang beragam sesuai kebutuhan, situasi alam lokal telah terbukti menopang kebutuhan
pangan negara kita. Meskipun sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil, bahkan
subsisten dan tak bertanah, mereka terbukti memegang peranan sangat penting dalam
mengembangkan keragaman hayati terutama di pertanian.
Atas dasar inilah kami hendak mengingatkan kembali pemerintah Indonesia dan para juru
runding dalam perundingan Indonesia-UE CEPA untuk tidak menyerah atas tekanan dari
Komisi Uni Eropa untuk mengubah peraturan perundangan dalam perlindungan varietas
tanaman menjadi sesuai UPOV 1991 dan atau menjadikan Indonesia sebagai anggota UPOV.
Kontak:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice, +6281210025135
Olisias Gultom, Direktur Hints, +62 882-9829-3959