Jenewa – Swiss, 12 September 2024 – Ditengah perhelatan WTO Public Forum pada 10 – 13 September 2024 di Jenewa, Swiss, Indonesia for Global Justice (IGJ) mengadakan pertemuan dengan PTRI Jenewa. Turut hadir dalam pertemuan tersebut, yaitu: Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Salsabila, Puanifesto dimana kedua organisasi ini tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi.
Dari sisi perwakilan Indonesian Permanent Mission turut hadir, yaitu: Ibu Novi Dwi Ratnasari, Ibu Anisa Farida, Bpk. Yudanto Wibowo dan Bpk. Ramiaji Kusumawardhana.
Kekhawatiran Dalam Keterlibatan Indonesia di Joint Statement Initiative Investment Facilitation for Development (JSI IFD)
Dalam pertemuan tersebut, Rahmat Maulana Sidik menyampaikan kekhawatiran Indonesia berpartisipasi dalam JSI Investment Facilitation for Development (IFD). Karena dalam banyak riset akademik menunjukkan bahwa IFD di WTO tidak memberikan kepastian bagi Indonesia untuk dilirik oleh investor. Melainkan hanya menambah kekhawatiran akan potensi sengketa dari investor asing terhadap Indonesia kedepan. Disamping itu, aturan IFD ini nantinya mengharuskan Pemerintah Pusat hingga Pemerintah Daerah untuk mematuhinya. Ini menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi di dalam negeri, karena belum tentu Pemerintah Daerah terpapar dengan baik informasi terkait hal ini bahkan dalam implementasinya.
Sebetulnya, apabila alasan Pemerintah Indonesia bergabung dalam JSI IFD ini hanya untuk menyesuaikan standar investasinya dengan standar internasional, maka perlu ditelaah kembali. Karena bukan itu yang menjadikan investor masuk ke Indonesia. Beberapa persoalan yang harus diatasi diantaranya: korupsi, birokratis yang rumit, regulasi yang tumpang tindih, tidak ada kepastian hukum dan sebagainya. Karenanya menyelesaikan daftar persoalan domestik diatas jauh lebih penting dari pada membuat komitmen dalam JSI IFD yang berpotensi menimbulkan masalah baru kedepan.
Selain itu, tidak perlu terbebani dengan ketika Pemerintah Indonesia menarik diri/keluar dari JSI IFD akan mengganggu diplomasi investasi dengan negara lain. Misalnya Turki sudah bergabung lalu menarik diri dari partisipasi dalam JSI IFD.
Salsabila juga menambahkan bahwa dalam IFD ini tidak terdapat komitmen akses pasar (market access), sehingga tidak perlu bergabung atau menarik diri dari IFD juga tidak berpengaruh bagi Indonesia.
Sebagai update dalam pembahasan JSI IFD ini yakni posisi Afrika Selatan dan India menentang pembahasan JSI IFD di dalam Forum Multilateral WTO. Karena tidak ada mandat untuk dibahas pada Konferensi Tingkat Menteri sebelumnya. Tetapi Afrika Selatan masih bisa diajak dialog dalam pembahasan ini. Sementara, India tidak ingin berdialog apapun dan tetap menentang JSI IFD bahkan menganggap ini sebagai pembahasan ”Illegal”, karena tidak ada mandat sebelumnya.
Kewajiban Melindungi dan Mempertahankan Subsidi Bagi Nelayan Kecil dan Tradisional
Poin selanjutnya dalam pertemuan tersebut disampaikan konsern pada isu perjanjian subsidi perikanan WTO (Fisheries Subsidies Agreement on WTO). Rahmat Maulana Sidik menegaskan bahwa penting melindungi nelayan skala kecil negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Karena draft teks masih memberikan ruang bagi kapal-kapal besar untuk mempertahankan subsidinya selama dapat membuktikan proses pengolaan ikan mereka berkelanjutan. Sementara bagi nelayan skala kecil tidak didefinisikan secara jelas dalam draft teks, bahkan dalam ketentuan S&DT (Special and Differential Treatment) ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi untuk mendapatkan subsidi bagi nelayan skala kecil di negara berkembang.
Apabila subsidi perikanan dihapuskan dan tidak lagi diberikan kepada nelayan, maka hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nasional yakni UU Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam yang memberikan jaminan subsidi bagi nelayan kecil dan tradisional. Maka dari itu perlu dipertimbangkan dengan baik potensi pembatasan pemberian subsidi bagi nelayan kecil oleh WTO dan kontradiktif dengan Undang-Undang Nasional.
Negara-Negara Maju Menolak Pencabutan Moratorium JSI E-Commerce
Dalam negosiasi isu JSI E-Commerce tetap memperpanjang moratorium E-Commerce dan tentu ini ditentang oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan sudah ada teks yang concluded dalam JSI E-Commerce, dan hingga kini Indonesia tidak tandatangan didalamnya. Tentu perpanjangan moratorium ini merugikan negara-negara berkembang karena tidak dapat nilai tambah ekonomi dari aktivitas perusahaan e-commerce yang masuk ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karena kami menyarankan bagi Indonesia untuk terus menentang perpanjangan moratorium JSI E-Commerce tersebut.
I-EU CEPA dan Kontroversi Finalisasi Negosiasi Sebelum Pelantikan Presiden Baru pada Oktober 2024
Selain membahas tentang isu-isu WTO, dalam pertemuan ini juga membahas tentang negosiasi perjanjian dagang I-EU CEPA. Dimana negosiasi ini terus didorong percepatan finalisasinya sebelum Oktober 2024. Bahkan dalam informasi yang diterima bahwa percepatan finalisasi sebelum Oktober ini merupakan ambisi dari Pemerintah Indonesia. Tetapi ambisi finalisasi tidak hanya pada I-EU CEPA, melainkan pada seluruh FTAs yang kini melibatkan Indonesia. Terdapat 18 FTAs yang tengah berlangsung dan 10 FTAs sedang dalam proses penjajakan.
Sebenarnya tidak jelas ambisi finalisasi yang didorong oleh Pemerintah Indonesia dalam negosiasi ini. Hingga pembahasan terus dilanjutkan tiap minggunya pada I-EU CEPA. Tetapi yang pasti adalah perjanjian perdagangan ini tertutup dan eksklusif. Sehingga minim informasi bahkan keterlibatan publik dalam prosesnya. Selain itu, tidak ada asessment apapun terkait masyarakat yang berpotensi terdampak dari perjanjian dagang ini, seperti Human Rights Impact Asessments (HRIAs), Environment Impact Asessments (EIAs) dan aspek dampak sosial lainnya.
Padahal kalau ditelaah lebih jauh pada draft chapter yang diusulkan oleh Uni Eropa, bahwa perjanjian dagang ini berpotensi lebih banyak menguntungkan Uni Eropa dari pada Indonesia. Seperti contohnya dalam Energy dan Raw Materials Chapter yang sarat dengan kepentingan Uni Eropa dalam mengambil bahan baku mentah dari Indonesia, salah satunya adalah Nikel.
Dalam beberapa perjanjian dagang, kepentingan Indonesia memasukkan kelapa sawit sebagai ekspor yang diunggulkan dan bahan baku mentah pertambangan lain, seperti batu bara dan nikel. Istilah yang tepat adalah hanya memanfaatkan barang-barang dari Tuhan saja.
Kini sudah ada 12 bab yang telah mencapai kesimpulan, antara lain bab TSD, IPR, dan tersisa 12 bab lagi yang masih dinegosiasikan termasuk rules of origin (ROO).
Kontak:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif, Indonesia for Global Justice (IGJ) – Rahmat.maulana@igj.or.id atau maulana.official55@gmail.com.
Alamat Kantor:
Indonesia for Global Justice (IGJ)
JLN. Rengas Besar No. 35 C, Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Jakarta, Indonesia. Kodepos 12540.
Website: www.igj.or.id.