Tak ada negosiasi perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) yang begitu lama
dan berliku prosesnya, selain dari negosiasi Indonesia Europe Comprehensive Economic
Partnership Agreement (IEU CEPA) antara pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa.
Negosiasi yang secara resmi dimulai pada 18 Juli 2016 ini telah menginjak tahun ke-8 pada
tahun 2024 ini.
Bahkan pada tahun 2021, saat dunia diserang pandemi Covid-19, negosiasi ini tetap berjalan
meski dilakukan secara daring (online). Tak hanya itu, kampanye IEU CEPA tetap berjalan
meski dunia sedang tertatih-tatih berhenti akibat serangan Covid-19 yang sangat ganas.
Pada September 2021, Negosiasi IEU CEPA telah digelar. Saat itu, Vincent Piket, Duta Besar
Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, mengatakan bahwa manfaat dari IEU
CEPA bagi Indonesia dan Uni Eropa adalah mempromosikan perubahan kualitatif dalam
perdagangan dan industri melalui investasi teknologi, infrastruktur dan SDM, serta
memperluas lapangan kerja, khususnya di Indonesia.
Sementara itu, menurut catatan CSIS, IEU CEPA akan membawa peluang bagi pemulihan
ekonomi nasional. Dalam laporannya mengenai IEU CEPA, CSIS mengklaim bahwa
implementasi IEU CEPA diestimasikan mampu meningkatkan sekitar 0,19 persen PDB
Indonesia atau setara dengan USD 2,8 miliar per tahun. Bagi Indonesia, IEU CEPA
berpotensi meningkatkan akses pasar, daya saing dan diversifikasi ekspor. Manfaat
perjanjian ini dapat dirasakan melalui ketersediaan input barang dan jasa yang lebih
terjangkau dan berkualitas, investasi yang meningkat, serta keterlibatan dalam rantai pasok
global (Global Value Chain) perusahaan asal Uni Eropa.
Namun, yang sangat penting dipertanyakan adalah bagaimana dengan dampak sosial,
lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan juga dampak terhadap pelanggaran hak
asasi manusia, khususnya bagi masyarakat adat, jika IEU CEPA diimplementasikan?
Dampak ini tak dapat dijawab oleh pemerintah karena selama ini studi mengenai dampak
negosiasi IEU CEPA tidak pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia.