Jakarta, 19 November 2024 – Indonesia for Global Justice (IGJ), Solidaritas Perempuan (SP), FIAN Indonesia dan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Focal Point for Binding Treaty (IFP) melakukan pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk mendorong terbentuknya mekanisme pengawasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh korporasi transnasional di Indonesia.
Pertemuan ini dihadiri oleh Rahmat Maulana Sidik, Muhamad Aryanang Isal dan Nur Sofi Iklima dari IGJ, Muhammad Reza Sahib dan Sigit Karyani Budiono dari KRuHA, Novia Sari dari SP dan Tsamrotul Qibtia dari FIAN Indonesia. Audiensi ini diterima oleh Abdul Haris Semendawai selaku Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM dan Saurlin P. Siagian selaku Komisioner Pengkaji dan Peneliti Komnas HAM.
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif menyampaikan bahwa IFP sebagai Koalisi untuk mengawal dan mengadvokasi isu-isu kejahatan korporasi atau pelanggaran korporasi baik itu transnasional maupun nasional terhadap HAM. Dalam momentum ini termasuk mengadvokasipasca lahirnya Resolusi PBB 26/9 yang dikenal sebagai United Nation Legally Binding Instrument (UNLBI) on transnational corporations (TNCs) and other business enterprises with respect to human rights. Resolusi ini untuk mendorong adanya regulasi yang mengikat bagi perusahaan transnasional untuk bertanggung jawab dan menghormati HAM dalam aktivitas bisnisnya. Walaupun draft text UNLBI masih bergulir dan belum menjadi naskah final, akan tetapi penting di dorong oleh Indonesia agar komitmen resolusi ini dapat terwujud. Disamping itu, untuk mendorong agar perusahaan transnasional menghormati HAM, maka dapat mengakomodir pada pelaksanaan bisnis oleh korporasi dengan memperkuat dan mengadopsi nilai-nilai penegakan hukum yang ada dan ditetapkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Buruh Migran Indonesia.
Lebih lanjut Maulana menyampaikan bahwa maksud dari audiensi ini adalah untuk memberikan dokumen panduan pengawasan terhadap kepatuhan korporasi terhadap HAM. Dokumen ini disusun berdasarkan sesi pembelajaran dalam bentuk workshop yang digelar oleh Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Solidaritas Perempuan pada 18 September 2024 dan diikuti oleh 26 organisasi masyarakat sipil yang berfokus pada isu diantaranya: lingkungan, buruh, perempuan, pertanian, perikanan.
Menyambung persoalan diatas, Perwakilan Solidaritas Perempuan yakni Novia menyampaikan bahwa TNC’s telah memberikan dampak berlapis terhadap perempuan di berbagai sektor seperti perempuan petani, Nelayan, perempuan adat dan juga perempuan buruh migran. Tegas Novia Sari staf Advokasi Solidaritas Perempuan.
Lebih lanjut,Novia juga menyampaikan urgensi adanya mekanisme pengawasan dan tindakan hukum yang tegas terhadap aktivitas TNCs yang melanggar hak asasi manusia dan hak-hak perempuan secara khusus serta mengeksploitasi Sumber daya alam dan lingkungan yang menyebabkan faktor migrasi paksa dan meningkatkan feminisasi migrasi. Kehadiran TNCs baik secara langsung maupun tidak langsung telah berdampak terhadap berbagai situasi Perempuan di berbagai komunitas solidaritas perempuan. TNC’s menyebabkan perampasan ruang kelola perempuan atas nama pembangunan yang berorientasi pada kepentingan investasi. Penyelesaian kasus dilakukan dengan pendekatan dan cara-cara kekerasan terhadap masyarakat khususnya perempuan seperti, kriminalisasi, intimidasi bahkan kekerasan yang menyasar tubuh perempuan.
Kebijakan dan pembangunan negara untuk kepentingan investasi TNC’s tidak melibatkan partisipasi perempuan secara bermakna. Perempuan didiskriminasi pada seluruh tahapan pembangunan yang juga telah mencederai konvensi CEDAW dan kebijakan PUG di Indonesia.
Situasi struktural telah memaksa perempuan menjadi buruh migran. Mayoritas direkrut secara unprosedural yang rentan mengalami berbagai macam bentuk pelanggaran hak kerja, eksploitasi, kekerasan seksual, dan bahkan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Situasi Perempuan Buruh Migran (PBM) diperparah akibat kurangnya pengawasan terhadap korporasi (TNC’) yang merekrut perempuan buruh migran Indonesia, meskipun melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah telah diberikan legitimasi yang kuat untuk memastikan terpenuhi perlindungan bagi buruh migran Indonesia.
Dalam hal ini Muhammad Reza Sahib perwakilan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) menyampaikan bahwa situasi pasca UU Cipta Kerja telah semakin menormalisasi adanya eksploitasi terhadap kekayaan alam dan manusia Indonesia lewat ekonomi ekstraktif. Pelanggaran sudah terjadi, bahkan cukup masif dan masih terus berlangsung hingga sekarang yang sebagaimana kita ketahui belum ada sistem peradilan khusus yang mengadili kejahatan HAM atas tindakan korporasi. Reza (KRuHA) juga menyoroti bahwa perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM seharusnya dapat dipidana hingga dibubarkan sebagai konsekuensi tindakannya, maka dari itu perlu adanya sistem pengawasan terhadap tindakan TNCs.
Di sektor pangan, Tsamrotul Qibtia (FIAN Indonesia) menyampaikan bahwa FIAN Indonesia telah membuat instrumen pemantauan pelanggaran Hak Atas Pangan dan Gizi, dan saat ini sedang diuji coba di Kalimantan Tengah harapannya KOMNAS HAM dapat berpartisipasi aktif dalam proses pemantauan pelanggaran Hak atas Pangan dan Gizi.
Selanjutnya, Komnas HAM menyampaikan bahwa telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Bisnis dan HAM. Dalam konteks ini tidak hanya sekedar pelanggaran HAM oleh korporasi, akan tetapi juga mengatur tentang prosedur perbaikan (remedi) terhadap pelanggaran HAM di sektor bisnis.
Kedepan, Komnas HAM secara terbuka akan melakukan diskusi dengan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang berfokus pada isu Bisnis dan HAM termasuk IFP. Sekaligus terbuka menerima masukan dalam policy brief maupun SNP yang akan dan tengah kami susun.
Reporter:
Muhamad Aryanang Isal, Program Officer Bisnis dan HAM Indonesia for Global Justice
email: anangisal@igj.or.id
website: www.igj.or.id