Artikel Monitoring – Perundingan RCEP
FOKUS PERUNDINGAN DARI INDONESIA MENUJU MANILA,
2017 MENJADI TARGET PENYELESAIAN
Jakarta, 11 April 2017. Perundingan ASEAN Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) sudah berlangsung selama 17 putaran, dimana putaran perundingan ke-17 dilaksanakan di Kobe, Jepang pada 21 Februari-3 Maret 2017.
Dari 17 putaran tersebut, perundingan baru menghasilkan dua kesepakatan, yaitu bab tentang kerja sama ekonomi dan teknis (economic and technical cooperation chapter) yang disepakati pada putaran perundingan ke 15 di Tianjin, China; dan, bab tentang usaha kecil dan menengah (Small Medium Enterprice (SMEs)), yang disepakati pada putaran perundingan ke 16 di Tangerang, Indonesia.
Pasca Trump membatalkan Perjanjian Trans-Pacific Partnerhsip (TPP), perundingan RCEP menjadi tumpuan harapan terakhir bagi beberapa negara mitra ekonomi ASEAN, khususnya seperti Jepang, dan Australia. Bahkan ada indikasi, Jepang hendak mendorong standar tinggi TPP dimasukan ke dalam perjanjian RCEP. Disisi yang lain, Australia dan New Zealand mendesak agar RCEP menjadi perjanjian yang berkualitas tinggi serta menuntut komitmen yang tinggi dari Negara-negara berkembang di ASEAN.
Siapa Yang Memimpin Perundingan?
RCEP seolah-olah muncul dari inisiatif ASEAN yang kemudian banyak publik beranggapan perundingan ini diarahkan oleh ASEAN. Tetapi siapa yang tahu dibalik meja perundingan?.
ASEAN, yang seharusnya berbicara sebagai sebuah blok (satu suara), tetapi ternyata tidak selalu. Ada keberagaman dan perbedaan kepentingan serta posisi. Inilah yang membuat ASEAN sulit membuat posisi dan suara yang sama dalam proses perundingan. Bagi Negara ASEAN yang sudah menjadi anggota TPP mungkin bisa secara leluasa memainkan peranan dalam perundingan, bahkan ikut mendorong Negara-negara terbelakang ASEAN, seperti Laos, Kamboja, dan Myanmar, agar dapat menerima posisi liberalisasi yang didesakan oleh Jepang, Australia, dan New Zealand. Termasuk Indonesia pun, sebagai ketua Negosiator, memiliki posisi yang sulit dalam hal ini.
China seperti biasa memainkan permainan yang halus dalam perundingan RCEP. Walaupun RCEP dicap sebagai perjanjian yang dipimpin ASEAN, tetapi tidak mungkin ada kesepakatan tanpa membeli suara Cina. Misalnya, bagaimana China sangat agresif pada beberapa bab seperti bab tentang BUMN dan bab tentang e-commerce yang melibatkan offshoring data. Bahkan terhadap India, memiliki kepentingan aktif dalam investasi dan pembukaan akses ekspor barang.
Fokus Perundingan RCEP ke-16
Dalam perundingan RCEP ke-16 yang dilaksanakan di Tangerang, Indonesia pada 2-10 Desember 2016, kelompok kerja masih mengalami alotnya perundingan, khususnya terhadap bab perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, dan kekayaan intelektual.
Alotnya perundingan RCEP di keempat area isu tersebut bukan saja dihadapi dalam perundingan ke-16, tetapi dalam putaran-putaran sebelumnya pun juga terus dihadapi. Desakan terhadap seluruh negosiator untuk bersikap positif dan lebih fleksibel dalam menyikapi kepentingan masing-masing pihak serta kooperatif dalam melakukan negosiasi. Bahkan, para negosiator diharapkan dapat mematuhi ‘strategic policy guidance’ untuk memajukan proses negosiasi.
Hal ini menunjukan bahwa, perundingan RCEP sarat dengan kepentingan, khususnya dari Negara-negara mitra ekonomi ASEAN. ASEAN yang hanya memiliki satu suara di dalam perundingan tentunya akan terus menghadapi kesulitan dalam merespon permintaan dan kepentingan enam Negara mitranya. Apalagi trade-off yang dilakukan tentunya tidak akan memuaskan khususnya bagi kepentingan Indonesia.
Walaupun dalam perundingan ke-16 ini menghasilkan satu kesepakatan, yakni tentang bab usaha kecil dan menengah (small and medium enterprises, SMEs), tetapi sepertinya bab ini tidak berarti apa-apa sebelum bab-bab perjanjian penting dalam RCEP disepakati. Sehingga, masih terbuka kemungkinan, bab yang sudah disepakati ini dapat diubah ataupun direvisi kembali.
Kritik Terhadap Bab SMEs
Usaha kecil dan menengah dinilai sebagai sektor yang berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan memunculkan inovasi-inovasi terutama pada bidang-bidang kreatifitas. Meskipun di anggap penting akan tetapi pada kenyataannya sector ini tidak dipandang sebelah mata. Alih-alih untuk memberikan peluang bagi UKM untuk mempromosikan dan mengembangkan produk yang dihasilkannya, bab ini juga menciptakan persaingan antara UKM baik diantara negara anggota ASEAN maupun dengan negara mitra ASEAN.
Sejauh mana pemerintah Indonesia telah mempersiapkan UKM untuk dapat bersaing dengan UKM negara lain. Pemerintah seharusnya berkaca pada pengalaman Indonesia di tahun 2013-2015, dimana pasar Indonesia dibanjiri dengan produk batik yang berasal dari China. Kondisi ini selanjutnya disikapi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 53/M-Dag/Per/7/2015 tentang ketentuan impor tekstil dan produk tekstil (TPT) batik dan motif batik.
Adanya kerjasama dalam bidang UKM ini, akan memungkinkan pengalaman yang sama terkait dengan serbuat batik import akan kembali dialami oleh Indonesia. Sementara penyikapan melalui kebijakan akan sangat sulit dilakukan, dimana Indonesia terikat dengan kesepakatan RCEP yang didalamnya memuat klausul Most Favoured Nation, yang berarti tidak boleh ada perlakuan yang berbeda baik kepada UKM dalam negeri maupun luar negeri.
Fokus Perundingan RCEP ke-17
Pada putaran RCEP ke 17 di Kobe, Jepang, seluruh peserta kembali melanjutkan perundingan dengan membahas bab-bab yang sangat alot untuk disepakati seperti tentang akses pasar terhadap barang, jasa dan investasi, termasuk mengenai aturan tentang hak kekayaan intelektual.
Salah satu hal yang cukup menjadi sorotan pada pertemuan ini terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPs) bahkan beberapa negara maju terus mendorong untuk menyepakati TRIPs plus. TRIPs plus ini dikhawatirkan akan berdampak pada berbagai bidang kesehatan dan pertanian. Dalam bidang kesehatan HAKI akan berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses obat-obat murah, sementara di pertanian berpotensi mengkriminalisasi petani karena regulasi yang tidak membolehkan petani mengembangkan benihnya sendiri, sementara pemuliaan atas benih dan pertukaran benih antar petani bagi bangsa Indonesia merupakan budaya warisan turun temurun.
Salah satu isu besar yang dihadapi dalam negosiasi bab hak kekayaan intelektual adalah mengenai isu ‘eksklusifitas data’. Australia, New Zealand, Jepang, dan Korea Selatan membuat satu aliansi kuat dalam perundingan untuk mendorong secara agresif tentang isu ini, dan mendesak agar bab ini agar bisa segera disepakati dalam putaran perundingan RCEP ke-18 mendatang. Negara-negara yang sudah menjadi anggota TPP tidak akan keberatan, tetapi bagi Negara yang tidak menjadi bagian TPP akan sulit menghadapi kekuatan tersebut. India tentunya akan semakin tertekan dalam perundingan isu ini. ASEAN sendiri secara internal akan berhadapan dengan Singapura, Malaysia, dan Brunei yang sudah menjadi anggota TPP. Tentunya posisi ASEAN akan menjadi penentu bagi perundingan, sehingga ASEAN harus mengeluarkan posisi yang kuat dalam melakukan penolakan terhadap isu eksklusifitas data.
Isu sensitive lainnya dalam perundingan adalah mengenai bab investasi. Nampaknya, hampir seluruh Negara anggota RCEP menghendaki agar mekanisme gugatan investor terhadap Negara (Investor-State Dispute Settlement, ISDS) dimasukan ke dalam aturan bab investasi. Walaupun begitu, beberapa Negara seperti India, Indonesia, dan Australia mendesakan model aturan investasi, khususnya terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa, yang mereka miliki.
Sebagaimana diketahui, Indonesia pada tahun 2013 telah melakukan review terhadap model perjanjian perlindungan investasi yang dimilikinya, dan saat ini telah menyusun model perjanjian perlindungan investasi yang baru. Harapannya model yang baru ini dapat lebih memberikan perlindungan bagi kepentingan nasional Indonesia ketimbang kepentingan investor, serta dapat memberikan ruang kebijakan (policy space) yang lebih besar lagi untuk Negara.
Posisi Indonesia terhadap isu investasi, khususnya terkait dengan model mekanisme penyelesaian sengketa, akan menjadi sangat penting di dalam proses perundingan RCEP. Apalagi intervensi Indonesia di ASEAN pun akan menjadi strategis sehingga ASEAN bisa memiliki satu suara terhadap isu ISDS dan model aturan investasi di dalam RCEP. Hal ini harus menjadi posisi tawar yang kuat bagi Indonesia untuk terus mengatakan tidak pada mekanisme ISDS dan aturan perlindungan investasi yang merugikan kepentingan Indonesia.
Putaran perundungan RCEP ke-17 di Kobe, Jepang, masih belum menemukan kata sepakat dalam area perjanjian yang sensitive bagi para pihak.
Menuju Perundingan ke-18 Di Manila
Nampaknya, momentum Filipina sebagai Tuan Rumah ASEAN di tahun 2017 ini akan mendorong percepatan bagi perundingan RCEP. Negara-negara anggota ASEAN begitu berambisi untuk menyelesaikan perundingan RCEP ditahun 2017 ini. Bahkan diupayakan pada saat putaran perundingan RCEP Ke-18 di Manila pada 2-12 Mei 2017, perundingan RCEP akan segera dirampungkan. Paling tidak dalam putaran selanjutnya itu akan diprioritaskan pada penyelesaian bab perdagangan barang dan jasa.
Tapi apakah bisa, mengingat bab-bab sensitive masih sulit dipecahkan dalam perundingan????.
Bagi Indonesia sendiri, isu perdagangan barang tampaknya masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung usai. Walaupun Indonesia sudah menerapkan tariff 0% pada hampir seluruh komoditas barang di dalam kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan kerjasama bilateral lainnya dengan China, Jepang, Korea, dan Australia.
Satu analisis menarik yang ditulis oleh Ragimun, peneliti di Kementerian Keuangan, yang menyebutkan bahwa manfaat RCEP bagi ekspor produk Indonesia dikhawatirkan akan lebih kecil daripada kemungkinan membanjirnya produk impor ke Indonesia. Sehingga, kemudahan RCEP hanya dapat dinikmati oleh negara anggota yang banyak memproduksi dan mengekspor produk-produk manufaktur yang membutuhkan rantai pasok yang panjang. Artinya, negara-negara mitralah yang paling diuntungkan. Indonesia yang masih bergantung pada ekspor produk berbasis komoditi sumber daya alam akan mendapatkan manfaat yang minimal dari terbentuknya RCEP.***
Tim Penyusun:
Megawati, Koordinator Kampanye & Manajemen Pengetahuan)
Rachmi Hertanti, Direktur Eksekutif
Indonesia for Global Justice
Jl.Duren Tiga Raya No.9A
Jakarta Selatan, Indonesia
www.igj.or.id / Twitter: @IGJ2012
Email: igj@igj.or.id
Telp: 021-7941655