Jakarta, Gatra.com – Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai strategi yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk menghadapi Amerika Serikat dalam penyelesaian kasus impor hortikultura dan produk daging di WTO jadi dilematis bagi kepentingan Petani Indonesia dan agenda kedaulatan pangan.
Hal ini karena baik pelaksanaan putusan panel WTO maupun sanksi dagang AS sama-sama memberikan hasil yang tidak menguntungkan bagi petani.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa putusan Panel WTO yang meminta Indonesia untuk mematuhi perjanjian WTO tentunya akan mendorong perubahan kebijakan nasional yang selama ini sangat dibutuhkan petani lokal dan pelaksanaan agenda kedaulatan pangan di Indonesia.
Menurut Rachmi, kebijakan pembatasan impor sebenarnya sebagai upaya Pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-undang Pangan yang mengutamakan penyerapan produksi domestik untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
“Seharusnya kebijakan itu tetap dipertahankan dan posisi itu tidak bisa ditawar hanya dengan alasan mematuhi aturan WTO dan menghindar ancaman sanksi dagang Amerika”, kata Rachmi kepada GATRA melalui pesan tertulis, Kamis (09/08).
Selanjutnya, ia mengatakan, bahwa sanksi dagang ini sengaja dilakukan oleh Amerika Serikat untuk memuluskan agenda mereka untuk melakukan kebijakan pembatasan perdagangan dengan mitra dagangnya yang mengalami surplus.
Sehingga, tentunya hal ini akan ikut mempengaruhi proses review GSP Indonesia oleh AS.
Ia menambahkan, sanksi dagang ini hanya ingin menekan posisi tawar kepentingan Indonesia untuk membuka akses perdagangan lebih besar lagi untuk AS, khususnya disektor pertanian.
Apalagi, menurut dia sebelumnya dalam rangka memastikan fasilitas GSP Amerika untuk Indonesia, Pemerintah Indonesia telah mem-barter sektor pertanian Indonesia untuk dibuka seluas-luasnya bagi produk pertanian Amerika yang masuk ke Indonesia.
“Kepentingan petani kecil Indonesia harus sekali lagi dikalahkan demi fasilitas GSP Indonesia. Kondisi ini menjadi tidak adil bagi petani kecil. Buat apa GSP diberikan kalo hanya membuat petani menderita. Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak perlu takut dengan sanksi dagang AS dengan tetap mempertahankan kebijakan nasional demi kepentingan rakyat”, tambah Rachmi.
Oleh karena itu, terkait dengan kasus sengketa dagang di WTO, ia mengingatkan kembali bahwa pengikatan komitmen Indonesia ke WTO sudah tentu akan semakin menghilangkan kedaulatan Indonesia untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional yang berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional.
Apalagi pada akhirnya, kepentingan nasional juga akan terdesak oleh kepentingan negara lain yang mengklaim dirugikan.
Menurut Rachmi, mekanisme sengketa dagang dalam WTO adalah mekanisme yang memaksa negara untuk tunduk patuh pada rezim aturan internasional dan kepentingan negara lain, meskipun harus bertentangan dengan Konstitusi dan regulasi nasional.
“Sehingga, sudah sepantasnya rakyat Indonesia dan DPR mendesak Pemerintah Indonesia untuk mereview kembali strategi kebijakan perdagangan internasional Indonesia, khususnya terhadap perjanjian WTO maupun perjanjian FTA lainnya”, tegas Rachmi.
Ia menjelaskan bahwa rezim perjanjian perdagangan bebas tidak pernah bisa dilaksanakan secara konsisten oleh negara manapun termasuk negara maju sekalipun seperti AS dan Uni Eropa.
Menurut IGJ, berdasarkan laporan monitoring perdagangan WTO 2018, disebutkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 75 tindakan pembatasan perdagangan yang mana angka meningkat dari rata-rata 11 tindakan per bulannya.
Termasuk penerapan trade remedy yang meningkat sebesar 40% di tahun 2017, yang mana dari total tindakan 80% diantaranya akibat penerapan anti-dumping measures.
“Perlu dicatat kembali, AS dan Uni Eropa adalah negara yang paling banyak menerapkan pembatasan perdagangan dalam bentuk non-tariff measures (NTMs), yang masing-masing sebesar 4780 dan 6805. Sedangkan Indonesia hanya sebanyak 272 tindakan NTMs”, pungkasnya.