• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Sanksi Dagang AS Ancam Kedaulatan Pangan Indonesia

Agustus 10, 2018
in Berita IGJ, news, Uncategorized @id, WTO
Home Media Berita IGJ
962
SHARES
2.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai strategi yang diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk menghadapi Amerika Serikat (AS) dalam penyelesaian kasus impor hortikultura dan produk daging di WTO, akan dilematis bagi kepentingan petani Indonesia dan agenda kedaulatan pangan.

Hal ini karena baik pelaksanaan putusan panel WTO maupun sanksi dagang AS sama-sama memberikan hasil yang tidak menguntungkan bagi petani.

Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menjelaskan bahwa putusan Panel WTO yang meminta Indonesia untuk mematuhi perjanjian WTO, tentunya akan mendorong perubahan kebijakan nasional yang selama ini sangat dibutuhkan untuk petani lokal dan pelaksanaan agenda kedaulatan pangan di Indonesia.

“Kebijakan pembatasan impor itu kan upaya Pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Pangan yang mengutamakan penyerapan produksi domestik untuk kebutuhan pangan dalam negeri. Seharusnya kebijakan itu tetap dipertahankan dan posisi itu tidak bisa ditawar hanya dengan alasan mematuhi aturan WTO dan menghindar ancaman sanksi dagang AS,” tegas Rachmi dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Kamis (9/8).

Rachmi juga mengatakan bahwa sanksi dagang ini sengaja dilakukan oleh AS untuk memuluskan agenda mereka melakukan kebijakan pembatasan perdagangan dengan mitra dagangnya yang mengalami surplus. Yang tentunya hal ini akan ikut mempengaruhi proses review GSP Indonesia oleh AS.

Rachmi menambahkan, sanksi dagang ini hanya ingin menekan posisi tawar kepentingan Indonesia untuk membuka akses perdagangan lebih besar lagi untuk AS, khususnya di sektor pertanian. Apalagi, menurut Rachmi, sebelumnya dalam rangka memastikan fasilitas GSP AS untuk Indonesia, Pemerintah Indonesia telah membarter sektor pertanian Indonesia untuk dibuka seluas-luasnya bagi produk pertanian AS yang masuk ke Indonesia.

“Kepentingan petani kecil Indonesia harus sekali lagi dikalahkan demi fasilitas GSP Indonesia. Kondisi ini menjadi tidak adil bagi petani kecil. Buat apa GSP diberikan kalau hanya membuat petani menderita. Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak perlu takut dengan sanksi dagang AS dengan tetap mempertahankan kebijakan nasional demi kepentingan rakyat,” tambah Rachmi.

Perjanjian WTO dan FTA Perlu Ditinjau Ulang Terkait dengan kasus sengketa dagang di WTO, Rachmi mengingatkan kembali bahwa pengikatan komitmen Indonesia ke WTO sudah tentu akan semakin menghilangkan kedaulatan Indonesia untuk membuat peraturan perundang-undangan nasional yang berpihak kepada rakyat dan kepentingan nasional. Apalagi pada akhirnya, kepentingan nasional juga akan terdesak oleh kepentingan negara lain yang mengklaim dirugikan.

“Mekanisme Sengketa dagang dalam WTO adalah mekanisme yang memaksa negara untuk tunduk patuh pada rezim aturan internasional dan kepentingan negara lain, meskipun harus bertentangan dengan Konstitusi dan regulasi nasional. Sehingga, sudah sepantasnya rakyat Indonesia dan DPR mendesak Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali strategi kebijakan perdagangan internasional Indonesia, khususnya terhadap perjanjian WTO maupun perjanjian FTA lainnya,” tegasnya.

Apalagi, Rachmi menjelaskan bahwa rezim perjanjian perdagangan bebas tidak pernah bisa dilaksanakan secara konsisten oleh negara manapun termasuk negara maju sekalipun seperti AS dan Uni Eropa.

Menurut IGJ, berdasarkan laporan monitoring perdagangan WTO 2018, disebutkan bahwa terjadi peningkatan sebesar 75 tindakan pembatasan perdagangan yang mana angka meningkat dari rata-rata 11 tindakan per bulannya. Termasuk penerapan trade remedy yang meningkat sebesar 40 persen di tahun 2017, yang mana dari total tindakan 80 persen diantaranya akibat penerapan anti-dumping measures.

“Perlu dicatat kembali, AS dan Uni Eropa adalah negara yang paling banyak menerapkan pembatasan perdagangan dalam bentuk non-tariff measures (NTMs), yang masing-masing sebesar 4780 dan 6805. Sedangkan Indonesia hanya sebanyak 272 tindakan NTMs,” jelas Rachmi.

Sumber >>> https://kumparan.com/@kumparanbisnis/sanksi-dagang-as-ancam-kedaulatan-pangan-indonesia-1533799067124996044

Tags: EkonomiFREETRADEKedaulatan PanganPanganPetaniWTO
Previous Post

IGJ : Posisi Indonesia Dilematis, Menghadapi Ancaman “Perang Dagang” AS

Next Post

Indonesia ajukan ‘panel kepatuhan’ bahas permintaan retaliasi AS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia