Penulis: Michael Reily
Editor: Ekarina
Penyelesaian kasus impor hortikultura dan produk hewan di WTO akan dilematis bagi kepentingan petani dan agenda kedaulatan pangan.
Ombudsman Republik Indonesia akan mengawasi perubahan aturan yang dilakukan pihak pemerintah terkait rekomendasi World Trade Organization (WTO) dalam Dispute Settlement 477 dan 478 tentang produk hortikultura, hewan, dan produk hewan. Dalam sengketa tersebut, Indonesia diberikan 18 rekomendasi untuk mengubah Peraturan Menteri dan Undang-Undang.
Komisioner Ombudsman Alamsyah Saragih menyatakan akan memonitor kerangka penerapan perubahan kebijakan pemerintah.“Jika ada laporan atau indikasi maladministrasi tentu akan kami tangani sesuai kewenangan Ombudsman,” kata Alamsyah kepada Katadata, Selasa (14/8).
Sesuai rekomendasi WTO, pemerintah sebelumnya menyatakan bahwa telah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) sebelum tenggat tahap pertama berakhir, pada 22 Juni 2018. Beberapa poin kebijakan perdagangan telah diubah pemerintah, salah satunya yaitu tidak mengatur pembatasan waktu pengajuan permohonan ijin impor yang berkaitan dengan persyaratan masa panen.
Padahal, perubahan itu tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. “Kewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri dilakukan melalui pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri,” bunyi aturan tersebut sebagaimana yang tertulis dalam pasal 15 ayat 2.
Ombudsman menilai pemerintah harus melakukan dua tindakan. Pertama, untuk jangka pendek, pemerintah harus menyiapkan data dan fakta untuk renegosiasi parsial dalam tataran operasional yang fokus pada tiap permintaan rekomendasi.
Kemudian, pemerintah juga bisa menggunakan jaliur diplomasi melalui jaringan masyarakat sipil internasional. “Kita harus bisa memberikan kerangka kebijakan yang masuk akal, terukur, dan konsisten dalam negosiasi,” ujar Alamsyah.
Dia mengatakan, nasib petani tidak mungkin dikorbankan dan WTO juga punya kerangka kebijakan terkait keberlangsungan pekerja dalam sektor pertanian. Sehingga, dia berharap dalam setiap penetapan kebijakan, pemerintah bisa berangkat dari tolak ukur kepentingan petani.
Kedua, untuk jangka menengah, Alamsyah meminta pemerintah serius untuk membenahi kelembagaan sosial ekonomi petani dan melakukan transformasi aset. Sebab, kekalahan dalam kasus di WTO berawal dari kegagalan dan rendahnya daya tawar pertanian. “Jika tidak, kita terkesan tak menghargai Undang-Undang sendiri,” katanya lagi.
(Baca : Indonesia Minta WTO Bentuk Tim Penilai Terkait Denda AS Rp 5 Triliun)
Ombudsman mengingatkan, tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi adalah kesejahteraan masyarakat umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sikap Indonesia juga tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “…ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadlian sosial.”
Menurut Alamsyah, pemerintah harus memiliki mitigasi risiko dalam pergaulan internasional sesuai mandat konstitusi. “Jika tidak, upaya pembentukan peraturan tersebut inkonstitusional,” ujarnya.
Sementara itu, Indonesia for Global Justice (IGJ) juga menilai strategi yang diambil oleh pemerintah untuk menghadapi AS dalam penyelesaian kasus impor hortikultura dan produk hewan di WTO akan dilematis bagi kepentingan petani dan agenda kedaulatan pangan. Penyebabanya, pelaksanaan putusan panel WTO maupun sanksi dagang AS sama-sama memberikan hasil yang tidak menguntungkan bagi petani.
Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti menjelaskan putusan WTO akan mendorong perubahan kebijakan nasional yang sangat dibutuhkan petani lokal. Dia menilai, kebijakan pembatasan impor adalah upaya pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-Undang yang mengutamakan penyerapan produksi domestik untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
“Seharusnya kebijakan itu tetap dipertahankan dan posisi itu tidak bisa ditawar hanya dengan alasan mematuhi aturan WTO dan menghindari ancaman sanksi dagang AS”, ujar Rachmi.
Dia pun menilai sanksi dagang dilakukan AS untuk menekan posisi tawar Indonesia dan membuka akses perdagangan lebih besar lagi di pihak AS, khususnya di sektor pertanian. Karenanya, dia menuturkan, Indonesia tidak perlu takut terhadap sanksi dagang dan tetap mempertahankan kebijakan nasional demi kepentingan rakyat.
Sebaliknya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyatakan perubahan empat Peraturan Menteri tidak melanggar aturan yang lebih kuat. “Sejauh ini perubahan Permentan dan Permendag masih sesuai dengan UU yang mengaturnya,” kata Oke.
Adapun dua Permentan baru yang mengubah aturan sebelumnya adalah Permentan Nomor 23 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 34 Tahun 2016 tentang pemasukan karkas, daging, jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah negara Republik Indonesia. Kedua, Permentan Nomor 24 Tahun 2018 tentang perubahan atas Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Sementara itu, dua Permendag juga berkaitan dengan revisi Permentan dan mengubah regulasi sebelumnya. Pertama, Permendag Nomor 64 Tahun 2018 tentang perubahan keempat atas Permendag Nomor 30 Tahun 2017 tentang ketentuan impor produk hortikultura. Kedua, Permendag Nomor 65 Tahun 2018 tentang perubahan ketiga atas Permendag 59 Tahun 2016 tentang ketentuan ekspor dan impor hewan dan produk hewan.