Muhammad Latief
JAKARTA
Indonesia mengajukan pembentukan compliance panel atau panel kepatuhan pada World Trade Organization (WTO) untuk menilai secara independen permintaan nilai retaliasi sebesar Rp5 triliun dari Amerika Serikat (AS) atas larangan kebijakan impor hortikultura yang diterapkan pemerintah.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan pada dasarnya Indonesia sudah mematuhi rekomendasi dari Badan Penyelesaian Sengketa WTO untuk mengubah kebijakan impor produk hortikultura, serta hewan serta produk hewan yang dipermasalahkan oleh AS dan Selandia Baru.
“Pemerintah sudah mengamendemen beberapa Peraturan Menteri Pertanian dan Peraturan Menteri Perdagangan sejalan dengan rekomendasi Badan Penyelesaian Sengketa WTO,” ujar dia dalam siaran persnya, Rabu.
Dengan amandemen tersebut pengusaha produk hortikultura, hewan dan produk hewan dari AS serta negara lainnya dapat mengekspor produk-produknya ke Indonesia. Menurut Iman, ada time lag antara perwakilan AS di WTO yang melaporkan adanya kesulitan ekspor ke Indonesia, dengan kunjungan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang juga sudah membahas sengketa ini.
Lewat mekanisme sidang pada panel kepatuhan itu, nanti akan dinilai secara lebih objektif apakah langkah penyesuaian Indonesia sudah sesuai rekomendasi atau belum.
Sebelumnya diberitakan, Amerika Serikat meminta WTO menjatuhkan nilai retaliasi sebesar USD350 juta atau Rp5 triliun karena Indonesia tidak melakukan penyesuaian aturan impor hortikultura dengan Article XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994) dan Article 4.2 of the Agreement on Agriculture.
Aturan yang dipersoalkan adalah Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 86/2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Permendag No 16/ 2013 tentang realisasi impor. Pada aturan ini, ada 18 measures yang dianggap oleh AS dan Selandia Baru inkonsten dengan komitmen Indonesia sebagai anggota WTO.
Keberatan kedua negara itu diterima dan aturan Indonesia dianggap tidak sejalan dengan prinsip dan disiplin yang disepakati di WTO. Indonesia sepakat melakukan penyesuaian untuk tahap pertama selambatnya pada 22 Juli 2018 dan tahap kedua pada 22 Juni 2019.
Menurut Iman, Badan Penyelesaian Sengketa WTO akan membahas permintaan AS ini pada 15 Agustus mendatang. Jika lembaga tersebut mengabulkan permintaan AS, selanjutnya akan dibentuk panel untuk menentukan besaran nilai retaliasi.
“Jelas, angka USD350 juta yang diajukan AS merupakan angka sepihak yang masih dapat diperdebatkan,” ujar dia.
Selain langkah di WTO, pemerintah juga berencana akan melakukan konsultasi dengan AS guna menjelaskan secara lebih rinci langkah-langkah yang telah diambil. Pihak AS telah memberikan indikasi kesediaannya untuk melaksanakan konsultasi bilateral sebelum keputusan final AS diambil apakah akan melakukan retaliasi atau tidak.
“Sengketa seperti ini biasanya jarang diselesaikan melalui langkah retaliasi, biasanya lewat konsultasi bilateral,” ujar Iman.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan bila Indonesia diberi kesempatan, pemerintah akan berupaya meyakinkan WTO bahwa mereka sudah melaksanakan putusan tersebut.
“Tapi kalau diberi sanksi nilainya tergantung WTO. Bisa sesuai, bisa juga lebih kecil atau lebih besar,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan upaya countermeasures atau retaliasi yang dilakukan AS ini termasuk bagian dari siasat untuk membatasi perdagangan dengan mitra yang surplus.
Saat ini perdagangan Indonesia-AS sedang dibahas termasuk masalah Generalized System of Preferences (GSP).
“Permintaan AS ini kepada WTO tentu akan menjadikan posisi Indonesia sulit untuk memiliki akses atau peluang besar untuk masuk ke pasar AS khususnya di tengah perang dagang AS dengan China,” ujar dia.