Rilis Media Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi
Surat Terbuka Koalisi Pada DPR RI:
“Tunda Pembahasan Ratifikasi dan Perundingan FTA Di Tahun Politik 2019”
Jakarta, 14 Maret 2019. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mendesak DPR RI untuk menunda atau menghentikan sementara segala pembahasan proses ratifikasi dan perundingan perjanjian perdagangan bebas di tahun politik 2019. Hal dikarenakan kesibukan kampanye pemilu 2019 dan kejar target dipenghujung masa jabatan anggota DPR 2014-2019 akan berdampak terhadap ketidak-seriusan DPR RI untuk mengkaji, mengkritisi serta menganalisis dampak perjanjian secara komprehensive. Sehingga sekali lagi nasib jutaan rakyat Indonesia akan dipertaruhkan.
Desakan ini disampaikan koalisi melalui surat terbuka yang dikirimkannya pada hari ini (14/3) kepada Ketua DPR RI dan Ketua Komis VI DPR RI (surat terlampir). Surat itu dilayangkan bersamaan dengan perundingan ke-7 Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnerhsip Agreement (IEU CEPA) yang berlangsung sejak 11-15 Maret 2019. Koalisi juga mengingatkan bahwa beberapa waktu yang lalu Pemerintah Indonesia juga sudah merampungkan 2 perjanjian perdagangan yaitu: Indonesia-Australia CEPA pada 4 Maret 2019 dan Indonesia-Europe FTA atau EFTA pada 16 Desember 2018. Termasuk saat ini, Pemerintah Indonesia sedang mendesak untuk segera merampungkan perundingan Regional Comprehensive Economic Agreement (RCEP) antara ASEAN dengan 6 negara mitra ekonominya.
Direktur Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyampaikan peran DPR RI sangat penting dalam memastikan hak-hak rakyat Indonesia, khususnya rakyat kecil, yang diamanatkan Konstitusi tidak terlanggar akibat perjanjian perdagangan dan investasi internasional. Sehingga proses kedaulatan rakyat di dalam DPR RI sebelum Indonesia meratifikasi perjanjian internasional harus dilakukan secara serius dalam mengambil kebijakan strategis bagi Indonesia.
“DPR RI tidak boleh hanya berperan sebagai pemberi stempel dalam proses pengesahan perjanjian FTA. Tetapi sebelum perjanjian FTA itu diratifikasi, DPR RI harus melakukan penilaian dampak secara comprehensive, baik secara ekonomi, keadilan sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia, sebelum DPR RI memutuskan memberikan persetujuan kepada Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi”, jelas Rachmi.
Lebih lanjut Rachmi menjelaskan puluhan bab dan ratusan halaman perjanjian FTA yang akan diratifikasi tidak akan mungkin dibahas hanya dalam waktu 60 hari kerja. Butuh kajian secara seksama. Karena jika ternyata dalam kajiannya DPR RI menemukan bahwa perjanjian Perdagangan internasional dapat membahayakan kepentingan nasional bahkan bertentangan dengan keadilan sosial, maka DPR RI wajib menolak memberikan persetujuan perjanjian Perdagangan internasional. Hal ini juga telah dikukuhkan dalam Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018.
FTA Berdampak Langsung Terhadap Hidup Masyarakat Luas
Henri Pratama, dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mengungkapkan bahwa FTA bukan hanya persoalan jual beli tetapi juga masalah pengaturan dan tata kelola kenegaraan, maka dari itu kami mendorong DPR untuk lebih konsern sebagai representasi rakyat dalam sistem demokrasi yang disepakati. “Padahal, banyak masyarakat sudah tidak percaya kinerja DPR, tapi kami tetap mendorong DPR agar bekerja memperjuangkan nelayan kecil dan tradisional yang terdampak dari FTA itu, salah satu nya impor garam, impor ikan, yang menggerus kehidupan nelayan”, tegas Henri.
Parid Ridwanuddin dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mengatakan bahwa DPR harus bersikap proaktif didalam mengawasi berbagai perjanjian internasional, yang didalamnya terdapat poin-poin investasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. “Fakta di lapangan membuktikan bahwa masyarakat pesisir menjadi korban dari aktivitas investasi. Saat ini, pemerintah tengah menggenjot sepuluh proyek pariwisata baru, dimana 7 lokasi berada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Proyekini dinamakan kawasan startegis pariwisata nasional (KSPN). Di Mandalika, ada 300 keluarga nelayan terusir akibat invetasi pariwisata. Pada saat yang sama, lebih dari 1700 keluarga nelayan di Labuan bajo, juga terdampak proyek pariwisata”, jelas Parid.
Herman Abdulrohman, Ketua Kesatuan Perjuangan Rakyat, menegaskan bahwa Perjanjian FTA mengatur perlindungan kepada investor asing, tetapi disisi yang lain tidak ada satupun ketentuan di dalam FTA yang disusun untuk melindungi buruh, khususnya dalam meminta tanggung jawab negara asal investor ketika si investor kabur dan lari dari tanggung jawabnya. “di dalam FTA ada mekanisme investor bisa gugat negara karena negara tidak melindungi investor, tetapi tidak ada aturan di FTA tentang mekanisme yang bisa meminta pertanggung jawaban kepada negara asal investor untuk menghukum investornya”, tegas Herman.
Lebih lanjut ia menambahkan selama ini Pemerintah Indonesia selalu menargetkan menambah investasi dengan memberikan banyak fasilitas dan perlindungan, tetapi banyak sekali di lapangan investasi yang masuk itu adalah investasi yang tidak berkualitas bahkan tidak memiliki itikad baik. Bahkan malah berperilaku buruk terhadap buruh di Indonesia. “jadi seharusnya kalo mau investasi, fokus pemerintah jangan hanya soal memberikan fasilitas, tetapi dipikirkan juga soal tindakan pencegahan ketika ada investor yang beritikad buruk, dan bahkan kabur”, tukas Herman.
Panik Soal Kinerja Ekspor, Solusinya Bukan FTA
Koalisi menilai bahwa Pemerintah gencar melakukan perundingan FTA hanya untuk meningkatkan kinerja ekspor, ini mindset keliru yang dibangun oleh Pemerintah. Hal ini karena dengan semakin banyak FTA ditandatangani maka semakin berpotensi membuka pintu impor Indonesia.
Lutfiyah Hanim, Peneliti dari koalisi, menjelaskan bahwa ketika komitmen akses pasar dibuka maka peluang untuk melakukan ekspor itu bukan hanya negara Indonesia, tetapi negara mitra ekonomi Indonesia juga punya peluang lebih besar untuk melakukan ekspor ke Indonesia. Artinya, impor juga berpotensi terbuka masuk ke Indonesia.
“selama ini Pemerintah tidak pernah membuka berapa cost atau biaya yang akan kita hadapi dari perjanjian FTA. Selalu yang diiming-imingi adalah potensi ekspornya. Termasuk misalnya, kajian pemerintah Indonesia mengenai regulasi nasional apa saja yang akan berubah kalo Indonesia itu menandatangani FTA” tegas Hanim.
Hanim menambahkan bahwa di dalam perjanjian perdagangan juga mengatur tentang “Rules” yang berisi mengenai prinsip-prinsip atau aturan hukum mengenai bagaimana negara menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan perjanjian, termasuk tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan negara dalam membuat regulasi domestic. Sehingga Hanim mengingatkan agar DPR RI dan Pemerintah Indonesia untuk tidak terlalu terburu-buru untuk meratifikasi perjanjian perdagangan. Banyak hal yang harus dihitung secara strategis.
“dengan semakin banyak FTA diikatkan, maka akan semakin membuat Indonesia malah tersandera dengan banyak komitmen dan tidak leluasa untuk membuat kebiijakan nasional yang melindungi kepentingan negara lebih luas. Apalagi sekali membuat komitmen, kedepan Indonesia tidak bisa menurunkan level liberalisasinya, tetapi menaikan level nya bisa. Apalagi, tidak ada jaminan apakah ketika FTA ditandatangani, investor asing langsung menanamkan modalnya. Tidak ada kewajiban investor untuk berbuat itu, yang ada Indonesia yang punya kewajiban” pukas Hanim.
****
Informasi Narasumber:
Rachmi Hertanti, Koordinator Koalisi & Direktur IGJ: 08174985180
Lufiyah Hanim, Peneliti Koalisi MKE: +62 898-1089-129
Henri Pratama, KNTI: +62 813-1569-3394
Herman Abdulrohman, KPR: +62 822-1342-6109
Parid Ridwanudin, KIARA: +62 812-3745-4623
Aip Saefulloh, KSN: +62 813-8136-4756
Rahmat Maulana Sidik, IGJ: 081280480561
Download >>>Surat Terbuka CSO untuk DPR RI