JAKARTA, KOMPAS – Koalisi masyarakat sipil untuk keadilan ekonomi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menunda proses ratifikasi berbagai perjanjian perdagangan internasional. Pasalnya, tanpa kajian mendalam dan komprehensif, perjanjian perdagangan internasional bisa berpotensi merugikan masyarakat.
Catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), hingga Maret 2019, terdapat 12 perjanjian perdagangan internasional yang berada dalam tahap ratifikasi. Beberapa di antaranya, yaitu perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia-Australia (IA-CEPA), perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia-European Free Trade Association (Indonesia-EFTA CEPA), dan perjanjian ASEAN dalam perdagangan elektronik.
“Berbagai perjanjian perdagangan internasional ini tidak hanya mengatur ekspor-impor, namun mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Termasuk di dalamnya hak kekayaan intelektual, pertanian dan pangan, kesehatan, pendidikan, ekonomi digital, dan sebagainya. Maka, pembahasan secara komprehensif oleh DPR RI mutlak dilakukan,” kata Direktur Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).
Aturan waktu terkait proses ratifikasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam Pasal 84 ayat 4 dikatakan, apabila DPR RI tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR RI.
Rachmi menyoroti, dalam masa menjelang pemilihan umum serentak pada 17 April 2019, fokus anggota parlemen tentu akan menjadi bias. Ia menilai, jika DPR RI terburu-buru dalam meratifikasi atau memutuskan tidak diperlukan persetujuan DPR, maka rakyat akan menanggung dampaknya.
Desakan ini disampaikan dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi dengan tema “Banyak FTA akan Diratifikasi, Nasib Rakyat Terabaikan Akibat DPR Sibuk Kampanye Pemilu 2019”.
Adapun narasumber lain dari berbagai koalisi yang hadir, yaitu Koordinator Riset Indonesia for Global Justice Rahmat Maulana Sidik, Peneliti Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi Lutfiyah Hanim, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Henrikus Setya A Pratama, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Parid Ridwanuddin, Konfederasi Serikat Nasional Aip Saipullah, dan Kesatuan Perjuangan Rakyat Herman Abdulrohman.
Impor meningkat
Sejalan dengan itu, Lutfiyah menyatakan, apabila perjanjian perdagangan internasional dinilai dapat memacu ekspor, pada kenyataannya tidaklah demikian. Sebab, rata-rata pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional masih rendah.
Data Kemendag menunjukkan, pada tahun 2018, persentase pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional untuk ekspor masih rendah. Misalnya, ASEAN Trade In Goods/ATIGA (54,7 persen), ASEAN-Australia Selandia Baru/AANZFTA Selandia Baru (54 persen), Indonesia-Japan/IJEPA (47,2 persen), dan ASEAN-Australia/AANZFTA Australia (46,4 persen).
Mengacu pada data yang sama, koalisi mencatat, rata-rata pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional hanya sebesar 30 persen sampai 35 persen. “Bahkan, dengan semakin banyak perjanjian perdagangan internasional yang ditandatangani, semakin banyak pula pintu impor yang terbuka, bukan sebaliknya,” tegas Lutfiyah.
Maka, jika tidak dikaji secara komprehensif, Lutfiyah menilai, kerja sama ini malah akan merugikan masyarakat Indonesia bahkan hingga ke para petani. Menurutnya, konsep economic powerhouse dalam IA-CEPA yang digadangkan untuk memberi nilai tambah pada produk Indonesia, pada praktiknya nanti, tidaklah demikian.
“Melalui konsep ini, alih-alih menggunakan dan menyerap produk pertanian lokal, yang terjadi malah akan meningkatkan penggunaan bahan baku produk pertanian asal Australia untuk diolah di Indonesia. Tentu produk impor Australia akan meningkat dan defisit perdagangan pun akan berlanjut,” tutur Lutfiyah.
Kemendag mencatat, dari perdagangan antarkedua negara pada 2018, Indonesia defisit sebesar 3 miliar dollar AS. Total perdagangan mencapai 8,6 miliar dollar AS, dengan ekspor Indonesia tercatat senilai 2,8 miliar dollar AS dan impor sebesar 5,8 miliar dollar AS.
Badan Pusat Statistik pun mencatat, neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Australia pada Januari 2019 defisit sebesar 208 juta dollar AS atau turun 16,85 persen dibandingkan tahun lalu.
Selain itu, alih-alih mengejar target ekspor melalui pemanfaatan perjanjian perdagangan internasional, Henrikus menegaskan, pemerintah seharusnya menyelesaikan pekerjaan rumah yang masih menghambat daya saing. Misalnya, persoalan impor garam.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi garam per Desember 2018 mencapai 2.719.256 ton, meliputi garam produksi petambak rakyat 2.349.630 ton dan PT Garam (Persero) 369.626 ton. Tahun lalu, pemerintah menetapkan kuota impor garam industri 3,7 juta ton, lebih tinggi daripada rata-rata impor garam industri yang sekitar 2 juta ton per tahun. Pada 2017, total produksi garam nasional 1,11 juta ton. (Kompas, 21 Januari 2019)
“Daripada mengimpor, mengapa pemerintah tidak membenahi industri lokal guna meningkatkan kapasitas produksi. Jika dikatakan kualitas garam lokal tidak memenuhi standar, mengapa tidak diperbaiki, jangan malah mengimpor,” kata Henrikus.
Tidak transparan
Di sisi lain, Maulana mengatakan, proses perundingan terhadap perjanjian perdagangan internasional tidak demokratis. Bahkan, DPR RI selaku perwakilan rakyat, tidak pernah membuka atau mengundang masyarakat sipil untuk memberikan pandangan terhadap analisis dampak yang ditimbulkan.
Berdasarkan survei Indonesia for Global Justice pada 2018, sebesar 64,8 persen masyarakat menilai, parlemen kurang serius mengambil peran dalam mengawasi perjanjian perdagangan internasional. Sebesar 50 persen masyarakat juga ragu jika anggota DPR RI mengetahui isi dari perjanjian tersebut.
“Perjanjian perdagangan internasional adalah kebijakan strategis jangka panjang, bukan hanya kebijakan teknis. Jangan sampai, ambisi pemerintah dalam merampungkan berbagai perjanjian, malah mengabaikan hak dan nasib rakyat Indonesia,” kata Maulana.
(SHARON PATRICIA)