Bersatu Melawan Perampasan Tanah, Jalankan Reforma Agraria
Pada penutupan periode pertama Kepemimpinan Joko Widodo kita disuguhi pengesahan sejumlah RUU maupun Revisi UU yang anti rakyat. Seperti pengesahan Revisi UU KPK yang mempreteli agenda pemberantasan korupsi, dan akan semakin menyuburkan korupsi agraria/Sumber Daya Alam. Lalu, Pengesahan UU Sumberdaya Air (SDA). Sebuah UU yang melegitimasi monopoli perusahaan air oleh swasta, yang melenceng dari Konstitusi dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait sumberdaya air.
Di sisi lain, kaum buruh juga berjuang agar revisi UU Ketenagakerjaan dibatalkan. Rencana revisinya memperlemah hak-hak buruh seperti memperluas buruh kontrak, bahkan melegalkan PHK sepihak dan tanpa pesangon bagi buruh oleh perusahaan.
Di bidang pesisir dan kelautan, nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam semakin sulit sebab harga pasar murah, sementara wilayah tangkap dan tanah nelayan di pesisir serta pulau terpencil telah dikapling-kapling oleh pemerintah, perusahaan pertambangan dan properti.
Pada Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) kita semua bersedih atas jatuhnya harga komoditas perkebunan rakyat. Harga jual anjok dialami petani karet, lada, kopi, kakao, kelapa dan sawit. Kita bersedih pula atas kekeringan sawah yang terjadi di berbagai wilayah. Kita menyaksikan pula ratusan ribu peternak unggas, mengalami kerugian akibat jatuhnya harga hasil ternak di pasaran. Sementara pemerintah abai memperkuat peternakan rakyat, sibuk membesarkan konglomerasi unggas, termasuk perusahaan asing. Perang harga oleh dan diantara para pengusaha raksasa mengakibatkan peternak rakyat makin terpuruk.
Saat ini, kita berduka untuk masyarakat Kalimantan dan Sumatera yang mengalami bencana asap. Ironisnya petani (peladang) dan masyarakat adat yang dituduh sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan. Lagu lama, setiap bencana asap terjadi, rakyat dijadikan kambing hitam. Padahal, kita tahu pembakar sesungguhnya adalah perusahaan-perusahaan perkebunan, yang sebelumnya bersekongkol dengan pemerintah untuk merampas tanah-tanah rakyat.
Pada hari tani tahun ini, kami menagih janji pemerintahan Jokowi untuk menyelamatkan rakyat. Kami telah lima tahun mengingatkan bahwa SUDAH CUKUP penderitaan rakyat terjadi akibat prioritas pembangunan ekonomi dan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi kelompok korporasi, konglomerat dan para elit. Sejak era Orde Baru hingga Reformasi hari ini masalah krisis agraria tetap menjadi wajah buruk bangsa kita, dan selalu dianggap masalah pinggiran yang kerap digunakan semata sebagai lip service politik, tetapi minus realisasi.
Tercatat, sepanjang 5 tahun saja (2014-2019) terjadi kejadian konflik agraria, sebanyak 2.243 kejadian, mencakup 5,8 juta hektar wilayah konflik di seluruh provinsi di Indonesia. Konflik agraria ini terjadi antara masyarakat utamanya petani dan masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, properti dan real estate, penggusuran dan pemindahan paksa untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan pariwisata dan proyek konservasi. Konflik agraria tersebut telah menimbulkan korban sebanyak 1.236 dikriminalisasi/dipidanakan, 656 dianiaya/terluka, 68 tertembak, bahkan 60 petani tewas akibat konflik agraria (KPA, 2019).
Lima tahun yang lalu, kita mendengar janji Nawa Cita untuk reforma agraria (RA) hendak dijalankan. Hari ini kita masih mendengar janji yang sama. Selama lima tahun, janji tersebut tidak direalisasikan. Hanya sedikit untuk rakyat, begitu besar pengalokasian tanah untuk korporasi! Dari 9 juta hektar tanah yang dijanjikan, realisasinya selama lima tahun banyak menyimpang dari tujuan reforma agraria yang dimandatkan. NOL hektar realisasi dari janji 4,1 juta hektar pelepasan klaim kawasan hutan, selebihnya penyertifikatan tanah biasa.
Akibatnya, tak ada korelasi antara pembagian sertifikat yang gencar dilakukan pemerintah dengan tujuan-tujuan RA yang dimandatkan UUPA. Tak ada upaya sistematis melakukan restrukturisasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan menjadi lebih berkeadilan untuk petani.
Penyimpangan Konstitusi dan UUPA 1960, yang dilakukan pemerintah telah dibiarkan oleh DPR RI tanpa adanya kontrol dan evaluasi selama 5 tahun ini. Bentuk penyimpangan tersebut seperti klaim Tanah Negara, Hutan Negara (Kawasan Hutan), konsesi HGU PTPN, HGU swasta, PERHUTANI, HTI, Ijin lokasi, Ijin tambang, Taman Nasional, Konservasi, Badan Otorita Pariwisata, dll., yang berada di atas tanah rakyat. Diterbitkan dengan cara menggusur dan merampas tanah rakyat adalah realita kejahatan sistematis, penuh korupsi antara pejabat pemerintahan dan perusahaan. Ini menjadi bukti bahwa tanah untuk rakyat masih di langit dan hanya janji kosong.
Di tengah janji yang belum terealisasi, Pemerintah dan DPR RI mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) yang sama sekali tidak memiliki keberpihakan pada petani. RUUP mengatur terlalu banyak kemudahan untuk kepentingan korporasi. Akibatnya akan mengancam hak masyarakat atas tanah, memperparah ketimpangan dan konflik agraria, membuka praktek korupsi agraria, hingga mendorong liberalisasi pasar tanah di Indonesia.
Kami mencatat RUUP mengandung 10 masalah mendasar, yaitu: (1) RUUP kuat melanggar UUD 1945, TAP MPR No. IX/2001 dan UUPA 1960; (2) Hak Pengelolaan (HPL) sebagai Penyimpangan Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan Kembalinya Domein Verklaring Kolonial; (3) Hak guna usaha (HGU) memperkuat monopoli tanah swasta dan memfasilitasi pemutihan pelanggaran perusahaan; (4) Penyimpangan reforma agraria; (5) Pengabaian konflik agraria. (6) Pembentukan Badan Spekulan Tanah oleh Negara melalui Bank Tanah/Lembaga Pengelolaan Tanah; (7) Pengingkaran terhadap hak (ulayat) masyarakat adat; (8) Melanjutkan sektoralisme pertanahan; (9) Banyak pasal karet/kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat; dan (10) Membuka lebih luas hak atas tanah oleh badan usaha asing.
Hari ini, 59 tahun lalu, 24 September 1960 Presiden RI Soekarno mengesahkan Undang-Undang No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Hari pengesahan UUPA ini dikenal sebagai Hari Tani Nasional (HTN).
Berdasarkan situasi agraria nasional, dan situasi ekonomi-politik yang berkembang saat ini, kami kaum tani di seluruh Indonesia bersama organisasi kerakyatan lainnya menyatakan tuntutan kepada Pemerintah RI dan DPR RI, sebagai berikut:
Kami akan terus menolak RUU Pertanahan yang berwatak liberal, yang mengutamakan penguasaan, pemilikan dan pengadaan tanah untuk korporasi baik di kawasan hutan dan non kawasan hutan. Ke depan, RUU mengenai agraria dan SDA harus menjadi peta jalan bagi Negara untuk menjalankan Reforma Agraria (RA), termasuk pengakuan wilayah adat. Oleh karena itu, RUU tsb harus sesuai dengan mandat UUD 1945, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960, demi mewujudkan keadilan sosial dan keberlanjutan hidup.
- Kami akan terus menolak RUU Pertanahan yang berwatak liberal, yang mengutamakan penguasaan, pemilikan dan pengadaan tanah untuk korporasi baik di kawasan hutan dan non kawasan hutan. Ke depan, RUU mengenai agraria dan SDA harus menjadi peta jalan bagi Negara untuk menjalankan Reforma Agraria (RA), termasuk pengakuan wilayah adat. Oleh karena itu, RUU tsb harus sesuai dengan mandat UUD 1945, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960, demi mewujudkan keadilan sosial dan keberlanjutan hidup.
- Segera hentikan praktek-praktek pemindahan paksa, penggusuran dan perampasan tanah rakyat yang dilakukan oleh pemerintah dan korporasi, baik secara sendiri maupun bersama-sama atas nama pembangunan dan peraturan perundang-undangan;
- Mendesak Presiden segera menjalankan RA secara nasional dan sistematis, dengan cara membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria, yang bertugas: (a) Merestrukturisasi penguasaan dan penggunaan tanah oleh konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, BUMN/BUMD, dll agar stuktur agraria nasional menjadi lebih berkeadilan; (b) Melakukan re-distribusi dan pengembalian tanah kepada rakyat, dengan prioritas petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan, perempuan dan masyarakat miskin; (b) Mengeksekusi penyelesaian seluruh konflik agraria struktural untuk memulihkan hak-hak korban dan penciptaan keadilan, jaminan hukum dan keberlanjutan ekologis; (c) Mengintegrasikan program pendukung RA, seperti permodalan, pendidikan, infrastruktur pertanian/desa, produksi, pemasaran dan lembaga ekonomi berbasiskan kerakyatan. Badan ini wajib mengikutsertakan organisasi rakyat, dan harus dipimpin langsung oleh Presiden RI.
- Menghentikan kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan yang memperjuangkan haknya atas tanah dan pangan. Termasuk menghentikan cara-cara kekerasan dalam penanganan konflik agraria oleh aparat kepolisian dan tentara. Negara juga harus menjamin kebebasan berserikat dan berusaha, termasuk usaha petani memuliakan benih lokal dan varietas unggul.
- Segera melakukan evaluasi dan koreksi kebijakan ekonomi, pangan, impor pangan, pertanian dan industri yang melemahkan ekonomi kerakyatan. Lakukan pemulihan ekonomi petani, nelayan, masyarakat adat dan buruh akibat jatuhnya harga-harga komoditas pertanian, perkebunan dan hasil tangkap perikanan, dengan menjamin hasil produksi rakyat diserap dengan harga yang menguntungkan.
- Mencabut ijin konsesi perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan. Selanjutnya, menjamin keselamatan rakyat dengan membangun sistem respon cepat yang utuh untuk menangani Karhutla dan dampaknya. Lakukan pemulihan ekonomi dan sosial bagi masyarakat yang terdampak, serta lakukan pemulihan ekologis atas wilayah bekas kebakaran hutan dan lahan.
- Menolak pengesahan segala RUU dan revisi UU yang berwatak anti-kerakyatan, yakni RUU KUHP, RUU SBPB, RUU Minerba, RUU Perkelapasawitan, RUU Perkoperasian dan Revisi UU Ketenagakerjaan.
Hormat Kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Dewi Kartika
Koordinator Umum Hari Tani Nasional 2019
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA):
KPA, SPP Garut, SPP Ciamis, SPP Tasikmalaya, SPP Pangandaran, SPM, P2B, API, FPPB, STIP, SETAM, Hitambara, STT, BPRPI, SPB, STI, STKS, STSP, PPC, AMAN, KPBI, KSN, WALHI, RMI, SPRI, KPRI, KASBI, ELSAM, STN, IHCS, HuMa, JKPP, SP, KRKP, BRWA, SW, IGJ, Sains, PUSAKA, Bina Desa, JMPPK, Tuk-Indonesia, FIELD, SPR, PPJ, SPB, STAB, SNEB, SPS, LKM Liku Dengen, KSPPM, LBH Jakarta, Lokataru, SGBN, JARKOM SP Perbankan, LMND, AKMI, SINDIKASI, FPPI, PPSS, SPSB, FUTASI, Jaka Tani, FARMACI, FPPMG, Perempuan AMAN, Sepetak, FPMR, RTI, SPPQT, ORTAJA, FPPK, FPKKS, SEKTI, PPAB, SPL, SPGB, STS, KTSPB, PRS, APMMP, SNTP, STS, SPM, BEM IPB, BEM UNUSIA, FMNU, SEMPRO, HIMAPOL ISIP, KA UNPAD, Mahasiswa Unsub, Jatayu, Masyarakat Kampung Pilar Bekasi, Mahasiswa UBK, Lembaga Adat Adati Totongano Wonua Kampo Hukaea-laea, Lembaga Adat Sarano Wonua, FMTNW Angata, Forma Tani.
Download >>>Pernyataan Sikap KNPA HTN 2019 –