Update Monitoring RCEP
Jakarta, 15 September 2020 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi mengadakan audiensi dengan Ibu Dr. Ir. Donna Gultom, M.sc, Kementerian Perdagangan RI pada 27 Juli 2020. Audiensi difokuskan untuk menggali informasi terkait perjanjian RCEP yang terus dibahas ditengah pandemic dan rencananya akan ditandatangani pada bulan November 2020. Pembahasan dalam audiensi ini diawali dengan penjelasan Ibu Donna terkait terus dibahasnya perundingan RCEP walau ditengah pandemi covid19.
RCEP Ditandatangani November 2020
Perundingan RCEP terus berjalan walau ditengah pandemi covid19. Perundingan terus berjalan dikarenakan perjanjian RCEP ini sudah ditargetkan penyelesaiannya pada 2020. Selain itu, perundingan RCEP yang sudah bertahun-tahun tidak selesai juga menjadi alasan bagi Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan perjanjian ini. Setidaknya penyelesaian perundingan terus tertunda sejak 2015 dan 2019. Dalam pertemuan Tingkat Menteri, seluruh Negara yang menjadi mitra dagang RCEP meminta agar segera diselesaikan dan ditandatangani pada November 2020.
Lebih lanjut Ibu Donna menyampaikan bahwa Komite Perunding tidak pernah mendapat arahan dari Kementerian masing-masing Negara untuk menghentikan perundingan ditengah pandemi covid19. Sehingga, perundingan terus dilakukan dengan cara daring/online Selama pandemi ini perundingan dilakukan secara daring/online. Perjanjian RCEP ini diyakini oleh Pemerintah Indonesia sebagai salah satu solusi Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat wabah covid19. Dikarenakan wabah ini membuat lesunya perekonomian nasional khususnya banyak keluhan dari para eksportir Indonesia yang kesulitan melakukan ekspor karena kebijakan lockdown/PSBB.
Ekspor Indonesia sejak April – Mei 2020 mengalami penurunan tajam disebabkan ada penolakan dari berbagai Negara karena adanya lockdown. Tentunya ekspor yang menurun tajam ini berdampak pada devisa Negara. Sehingga, salah satu kepentingan Indonesia segera menyelesaikan RCEP untuk peningkatan ekspor Indonesia ke Negara-negara mitra dagang RCEP.
World Bank meramalkan Indonesia akan mengalami resesi jika wabah covid19 semakin meningkat dan mengalami gelombang kedua (second wave). Bila tidak terjadi second wave pun, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan minus. Salah satu cara pemulihannya adalah dengan terus menjaga ekspor Indonesia. Tetapi hari ini ekspor Indonesia terhambat lockdown dari beberapa Negara.
Indonesia di RCEP: Menarik Investasi dan Menjadi Global Value Chain
Bagi Pemerintah Indonesia RCEP merupakan peluang pengembangan ekonomi perdagangan di masa depan untuk ASEAN. Sehingga, yang diinginkan Indonesia dari RCEP adalah membuka peluang investasi luar negeri (FDI) dan dalam negeri (PMDN). Disamping itu, Indonesia juga menginginkan adanya peningkatan kontribusi ekspor dan impor bahan baku industri ketika perjanjian ini disahkan.
Sehingga, tidak heran Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan segalanya mulai dari infrastruktur hingga regulasi domestik untuk menarik investasi agar Indonesia bisa terlibat dalam global value chain. Namun, yang dilupakan oleh Pemerintah Indonesia adalah memperbaiki daya saing domestik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kalau kedua hal itu tidak diperbaiki, maka RCEP menjadi ancaman serius bagi kepentingan nasional.
Dalam audiensi ini diungkapkan bahwa perjanjian RCEP diperkirakan akan diratifikasi dalam jangka waktu satu hingga dua tahun setelah penandatanganan. Sehingga, implementasi perjanjian ini baru bisa dilakukan ketika sudah diratifikasi dan aturan turunannya sudah sesuai dengan isi perjanjian.
ISDS Dibahas Kembali Setelah Implementasi Perjanjian RCEP
Investor State Dispute Settlement atau ISDS tidak jadi disepakati dalam putaran perundingan RCEP, karena ada perbedaan pandangan antar masing-masing Negara mitra dagang RCEP. Namun, mekanisme ISDS masih berpotensi dibahas setelah dua tahun implementasi perjanjian RCEP. Karena kalau ISDS ini terus dibahas sebelum penandatanganan maka perjanjian RCEP berpotensi tidak akan selesai hingga akhir tahun 2020.
Dalam audiensi ini diungkapkan bahwa pada November 2020 diharapkan 15 negara sudah menandatangani perjanjian ini dengan atau tanpa India. Dikarenakan kepentingan India tidak bisa diakomodir oleh kebanyakan Negara-negara mitra dagang RCEP. India ingin masuk dalam RCEP tapi dengan komitmen rendah, seperti membuka 7000 pos tarrif dagang bagi Negara lain, namun penentuan kebijakan Rules of Origin (ROO) ditentukan oleh regulasi domestik mereka sendiri. Selain itu, bila Indonesia mengekspor ke India, namun dalam produk ekspor Indonesia itu terdapat bahan baku dari China, maka India akan menerapkan tarrif berdasarkan penerapan yang ditetapkan India ke China. Bukan penerapan tarrif terhadap Indonesia. India melakukan itu karena neraca perdagangan India mengalami deficit yang sangat tajam dengan China. Sehingga, India sangat protektif dalam perundingan dimana ada China didalamnya.
Dalam hal investasi, Jepang menginginkan India masuk dalam RCEP. Sehingga, Jepang berharap semua Negara berusaha keras mengajak India masuk dalam RCEP. Hal ini, dikarenakan Jepang memiliki kepentingan investasi otomatif di India yang sangat besar dan sudah diberikan kemudahan investasi oleh Pemerintah India. Jepang mengkhawatirkan ketika India tidak masuk RCEP, maka kemudahan investasi yang sudah diberikan itu akan batal begitu saja. Karena tidak ada mekanisme ISDS dalam RCEP, bila terjadi kebijakan India yang tidak sesuai keinginan investor Jepang, maka kebijakan itu tidak bisa digugat di Arbitrase Internasional.
Liberalisasi Sektor Barang Hingga 20 Tahun
Dalam RCEP, Indonesia melakukan pembukaan pasar dengan mitra dagang sebesar 89-92% dalam jangka waktu untuk liberalisasi sampai 20 tahun. Pemerintah Indonesia membuka komitmen liberalisasi hingga 92% salah satu nya ke New Zealand, untuk Australia 90%, dan sisanya untuk Negara-negara lain sebesar 89%.
Komitmen yang diberikan Indonesia ke Negara lain berbeda-beda, contohnya ke Australia berkomitmen membuka akses terhadap produk pertanian. Jepang untuk produk perikanan dan tekstil. Dalam hal penurunan tarrif, Indonesia berkomitmen menurunkan tarrif secara perlahan di tahun ke-12 setelah implementasi perjanjian RCEP.
Pengaturan Sektor Jasa Berbeda dengan ASEAN+1
Komitmen liberaliasi sektor jasa sedikit berbeda dari yang sudah dikomitmenkan dalam ASEAN + 1. Perjanjian ini lebih mempromosikan pembangunan sektor jasa seperti jasa keuangan, telekomunikasi hingga pariwisata. Bila dalam ASEAN+1 dikomitmenkan untuk menghilangkan hambatan perdagangan jasa, maka di dalam RCEP lebih diliberalisasi terhadap pembangunan sector jasa di masing-masing Negara dengan jaminan tidak ada hambatan. Selain itu, Negara-negara RCEP juga mendorong pengembangan Mutual Recognition Agreement (MRA). MRA ini bertujuan untuk menyamakan standar kualifikasi tenaga profesional. Pengakuan kualifikasi ini akan menghasilkan kemudahan akses ke masing-masing negara di bidang jasa.
Bab Investasi Dalam RCEP Tidak Mengatur Mekanisme ISDS
Dalam audiensi ini disampaikan bahwa aturan mengenai penetapan daftar negatif investasi (DNI) yang telah ada dalam regulasi Indonesia menuai protes dari Negara-negara RCEP. Dikarenakan kebijakan DNI yang ditetapkan Indonesia sangat ketat dan tidak mendukung arus investasi asing agar masuk ke Indonesia. Salah satu yang mempersoalkan adalah Australia. Diplomasi selama perundingan dilakukan oleh Indonesia kepada Australia dengan menekankan bahwa Indonesia sudah melakukan perjanjian IA-CEPA dengan memberikan komitmen liberalisasi investasi bagi Australia. Untuk bab investasi tidak ada mekanisme ISDS didalamnya, sehingga yang bisa menjalankan bab investasi dalam RCEP adalah Government to Government (G to G) tidak untuk sektor swasta.
Fleksibilitas TRIPs Diatur Dalam Bab IPR di RCEP
Pengaturan mengenai Trips Flexibility tetap diadopsi dalam RCEP, dan mengikuti sesuai ketentuan yang ada dalam TRIPS Agreement. Kemudian, juga memasukkan perlindungan pengetahuan tradisional yang ada dalam Genetic Resources Traditional Knowledge Folklore (GRTKF). Dalam audiensi diungkapkan bahwa Indonesia sendiri punya kepentingan didalamnya dengan memasukkan GRTKF dalam RCEP, yakni hendak melindungi tradisi budaya dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari kekayaan intelektual. Kemudian, RCEP tidak mengatur mengenai paten term extension. Dimana pengaturan paten term extension ini memberikan hak eksklusif pada pemegang paten untuk memperpanjang paten, biasanya dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Mendorong penggunaan sistem digital dan penegakan hukum secara digital.
Bab Ecommerce Tidak Mengatur Isu Krusial
Ada dorongan dari Negara-negara RCEP untuk memberikan pengaturan terkait lokalisasi data lintas negara. Namun, Pemerintah Indonesia tidak memberikan komitmen untuk mengatur lokalisasi data dan informasi data lintas Negara (cross border data) tersebut. Dikarenakan ini akan membahayakan bagi perlindungan data pribadi. Tetapi dalam RCEP masih terdapat kelonggaran komitmen terhadap data tersebut, yakni lokalisasi data dapat diberikan ketika dilakukan dalam hal pembuatan kebijakan publik. Terkait soal jasa keuangan dan institusi keuangan dikecualikan dalam bab ecommerce.
Teks Perjanjian RCEP akan didiskusikan Bersama Civil Society dan Sektor Swasta
Kementerian Perdagangan berkomitmen akan membuka teks perjanjian RCEP ini ke publik sebelum penandatanganan perjanjian RCEP dilakukan. Bahkan, akan memberikan ruang bagi kalangan masyarakat sipil dan sektor swasta untuk mendiskusikan teks perjanjian RCEP ini bersama-sama.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi:
Indonesia for Global Justice (IGJ), Indonesia AIDS Coalition (IAC), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Perikanan (KIARA), Solidaritas Perempuan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Serikat Petani Indonesia (SPI), Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR).
***
Penyusun:
Rahmat Maulana Sidik
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Jalan Kalibata Tengah No. 1A, Kalibata, Jakarta Selatan. 12740
Website. www.igj.or.id | Email. keadilan.global@gmail.com