• id Indonesia
  • en English
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
  • Beranda
  • Agenda Prioritas
  • Media
  • Publikasi
  • Tentang Kami
No Result
View All Result
Indonesia for Global Justice
No Result
View All Result

Ekonomi Rakyat Terdampak, DPR Harus Menjalankan Amanat Konstitusi Dalam Membahas Perjanjian RCEP

November 17, 2020
in RCEP, Siaran Pers
Home Fokus Pemantauan RCEP
1k
SHARES
2.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Rilis Merespon Perjanjian RCEP

Jakarta, 17 November 2020 – Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia mengecam tindakan Pemerintah Indonesia yang menandatangani perjanjian RCEP pada 15 November 2020 ditengah pandemik yang tidak dilakukan secara hati-hati yang berpotensi berdampak terhadap menyempitnya ruang fiskal negara untuk bisa memiliki kemampuan mengatasi persoalan covid19. Hal ini sebelumnya juga telah ditegaskan oleh Ekonom Senior UNCTAD, Rashmi Banga, dalam webinar pada (10/11) mengenai dampak RCEP terhadap Negara Berkembang.

Dampak RCEP Terhadap Sektor Perikanan

Salah  satu  sektor  yang  terdampak  dalam  perjanjian  RCEP  ini  adalah  sektor perikanan. KIARA melihat ketidakterbukaan pemerintah terkait narasi perjanjian RCEP  ini  jelas  akan  merugikan  banyak  aktor-aktor  produsen  kecil,  khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Tidak hanya kemudian perjanjian ini akan mendatangkan lebih banyak investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya di sektor pesisir dan maritim, namun RCEP juga akan memberikan peluang yang lebih besar terhadap praktek IUU fishing yang ada di perairan Indonesia.

Sekertaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Susan Herawati, menyatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian RCEP ini hanya akan meningkatkan praktek perampasan ruang yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Perjanjian  RCEP  tidak  hanya  berbicara  mengenai  aktivitas  perdagangan  ekspor impor saja, dan hal ini tentu akan berdampak secara mendalam terhadap nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia. Sebagai contoh adalah bab ROO (Rules of Origin) yang mana akan berdampak pada peningkatan praktek IUU fishing dan pencurian ikan  di  perairan  Indonesia.  Secara  tidak  langsung,  upaya  pemerintah  Indonesia selama beberapa tahun terakhir dalam memerangi pencurian ikan dan praktek IUU fishing seakan tidak ada artinya” jelas Susan.

Secara  lebih  lanjut,  Susan  menjelaskan  bahwa  dengan  meningkatnya  potensi praktek pencurian ikan dan IUU fishing di perairan Indonesia, maka hal ini juga akan berdampak pada praktek kerja paksa dan perbudakan modern terhadap abk-abk kapal  di  industri  perikanan  tangkap.  Hal  ini  tentu  tidak  dapat  dikesampingkan karena  pada  mayoritas  praktek  IUU  fishing maka  aka  nada  praktek  perbudakan modern juga pada kapal penangkapan ikan tersebut.

DPR Harus Menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi

Indonesia for Global Justice (IGJ) juga mendesak kepada DPR RI untuk tidak memberikan persetujuan terhadap Perjanjian RCEP tanpa adanya analisis dampak dari  teks  RCEP  secara  komprehesinve  untuk  memastikan  dampak  yang  akan dihadapi oleh Indonesia di masa depan dan dalam jangka waktu panjang.

Direktur  Eksekutif  Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan bahwa DPR RI sangat memegang kunci kedaulatan rakyat Indonesia dan sudah seharusnya DPR RI membahas RCEP secara hati-hati serta melakukan analisis dampak yang komprehensive terhadap kehidupan generasi rakyat Indonesia di masa depan.

“DPR RI harus menganalisis teks RCEP diluar dari nilai ekspor dan impor, tetapi harus dilakukan terhadap seluruh aturan detail dari puluhan babyang telah disepakati. Hal ini  karena  perjanjian  yang  komprehensive  seperti  RCEP  memiliki  konsekuensi  isi aturan yang harus diadopsi ke dalam regulasi nasional, dan ini akan berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan negara dan kedaulatan negara untuk menyusun peraturan perundang-undangan nasional untuk melindungi kepentingan rakyat serta berpotensi bertentangan dengan Konstitusi”, jelas Rachmi.

Lebih   lanjut   Rachmi   menambahkan   bahwa   Pemerintah   dan   DPR   juga   harus membuka   teksnya   kepada   publik   dan   melibatkan   publik   secara   luas   dalam pengambilan keputusan untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi Perjanjian RCEP.

“publik wajib dilibatkan dalam melakukan analisis dampak terhadap teks RCEP, sehingga ketersediaan dan transparansi teks RCEP sangat krusial. Termasuk, menjadikan  masukan  analisis  publik  sebagai  bahan  pertimbangan  dalam pengambilan keputusan wajib dilakukan oleh DPR RI, untuk memastikan bahwa RCEP tidak akan bertentangan dengan Amanat Konstitusi UUD RI 1945. Hal ini sejalan dengan   Putusan   MK   13/PUU-XVI/2018tentang   Perjanjian   Internasional”,   tegas Rachmi.

Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 telah menegaskan bahwa dalam hal memutuskan sebuah perjanjian internasional memerlukan atau tidak memerlukan persetujuan DPR RI, maka DPR RI harus melakukan penilaian analisis dampak secara komprehensive terhadap sebuah perjanjian internasional. Hal ini bertujuan untuk menilai sebuah perjanjian internasional berpotensi menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang sesuai dengan kriteria dalam pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945. Secara tidak langsung, hasil analisis  dampak  ini  menjadi  bahan  pertimbangan  utama  bagi  DPR  RI  untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap ratifikasi perjanjian internasional.

Pertimbangan penting lainnya adalah Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018  harus  menjadi  landasan  DPR  RI  dan  Pemerintah  untuk mengambil    keputusan    tentang    Perjanjian    RCEP,    khususnya    tentang    tujuan keikutsertaan  dalam  perjanjian  internasional,  yaitu  ikut  melaksanakan  ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, secara a contrario pemerintah Indonesia wajib menentang (setidak-tidaknya tidak boleh ikut serta) dalam upaya-upaya yang mengatasnamakan   ketertiban   dunia   jika   bertentangan   dengan   kemerdekaan, perdamaian  abadi, dan keadilan sosial. 

“Putusan MK No,13/PUU-XVI/2018 tentang UU Perjanjian Internasional sudah sangat jelas  menyatakan  bahwa  perjanjian  internasional  termasuk  perdagangan internasional yang bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bertentangan dengan Konstitusi, untuk itu wajib ditolak. Inilah Amanat  Konstitusi  yang  wajib  dilaksanakan  oleh  DPR  RI  dan  Pemerintah”,  tegas Rachmi. 

****

Keterangan:

Lebih    lengkap    kajian    implikasi    hukum    putusan    MK    dapat    diakses    disini:

https://igj.or.id/implikasi-hukum-atas-putusan-mahkamah-konsitusi-nomor-13- puu-xvi-2018/

Kontak:

•      Rachmi Hertanti, Direktur IGJ, +62 817-4985-180

•      Susan Herawati, Sekjend KIARA, +62 821-1172-7050

Tags: PerikananPerjanjian Perdagangan & InvestasiRCEP
Previous Post

RCEP Akan Memperburuk Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi

Next Post

Siaran Pers: Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Sejak Proses Pembentukannya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Indonesia for Global Justice

Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu,
Jakarta Selatan - Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12540
Telepon: (021) 7941655

© 2023  - Indonesia for Global Justice


Berlangganan Sekarang!

Ikuti berita terbaru dari Indonesia for global justice, berlangganan sekarang!

Terimakasih telah berlangganan di Indonesia for global justice


  • id Indonesia
  • en English
No Result
View All Result

Indonesia for Global Justice
Jl.Rengas Besar No.35 C, RT.14/RW.2, Jati Padang, Ps. Minggu Jakarta Selatan - 12540
Telepon: (021) 7941655

  • Indonesia