Rilis Merespon Perjanjian RCEP
Jakarta, 17 November 2020 – Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia mengecam tindakan Pemerintah Indonesia yang menandatangani perjanjian RCEP pada 15 November 2020 ditengah pandemik yang tidak dilakukan secara hati-hati yang berpotensi berdampak terhadap menyempitnya ruang fiskal negara untuk bisa memiliki kemampuan mengatasi persoalan covid19. Hal ini sebelumnya juga telah ditegaskan oleh Ekonom Senior UNCTAD, Rashmi Banga, dalam webinar pada (10/11) mengenai dampak RCEP terhadap Negara Berkembang.
Dampak RCEP Terhadap Sektor Perikanan
Salah satu sektor yang terdampak dalam perjanjian RCEP ini adalah sektor perikanan. KIARA melihat ketidakterbukaan pemerintah terkait narasi perjanjian RCEP ini jelas akan merugikan banyak aktor-aktor produsen kecil, khususnya nelayan dan masyarakat pesisir. Tidak hanya kemudian perjanjian ini akan mendatangkan lebih banyak investasi asing untuk mengeksploitasi sumber daya di sektor pesisir dan maritim, namun RCEP juga akan memberikan peluang yang lebih besar terhadap praktek IUU fishing yang ada di perairan Indonesia.
Sekertaris Jenderal KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Susan Herawati, menyatakan bahwa keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian RCEP ini hanya akan meningkatkan praktek perampasan ruang yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Perjanjian RCEP tidak hanya berbicara mengenai aktivitas perdagangan ekspor impor saja, dan hal ini tentu akan berdampak secara mendalam terhadap nelayan dan masyarakat pesisir Indonesia. Sebagai contoh adalah bab ROO (Rules of Origin) yang mana akan berdampak pada peningkatan praktek IUU fishing dan pencurian ikan di perairan Indonesia. Secara tidak langsung, upaya pemerintah Indonesia selama beberapa tahun terakhir dalam memerangi pencurian ikan dan praktek IUU fishing seakan tidak ada artinya” jelas Susan.
Secara lebih lanjut, Susan menjelaskan bahwa dengan meningkatnya potensi praktek pencurian ikan dan IUU fishing di perairan Indonesia, maka hal ini juga akan berdampak pada praktek kerja paksa dan perbudakan modern terhadap abk-abk kapal di industri perikanan tangkap. Hal ini tentu tidak dapat dikesampingkan karena pada mayoritas praktek IUU fishing maka aka nada praktek perbudakan modern juga pada kapal penangkapan ikan tersebut.
DPR Harus Menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi
Indonesia for Global Justice (IGJ) juga mendesak kepada DPR RI untuk tidak memberikan persetujuan terhadap Perjanjian RCEP tanpa adanya analisis dampak dari teks RCEP secara komprehesinve untuk memastikan dampak yang akan dihadapi oleh Indonesia di masa depan dan dalam jangka waktu panjang.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) menyatakan bahwa DPR RI sangat memegang kunci kedaulatan rakyat Indonesia dan sudah seharusnya DPR RI membahas RCEP secara hati-hati serta melakukan analisis dampak yang komprehensive terhadap kehidupan generasi rakyat Indonesia di masa depan.
“DPR RI harus menganalisis teks RCEP diluar dari nilai ekspor dan impor, tetapi harus dilakukan terhadap seluruh aturan detail dari puluhan babyang telah disepakati. Hal ini karena perjanjian yang komprehensive seperti RCEP memiliki konsekuensi isi aturan yang harus diadopsi ke dalam regulasi nasional, dan ini akan berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan negara dan kedaulatan negara untuk menyusun peraturan perundang-undangan nasional untuk melindungi kepentingan rakyat serta berpotensi bertentangan dengan Konstitusi”, jelas Rachmi.
Lebih lanjut Rachmi menambahkan bahwa Pemerintah dan DPR juga harus membuka teksnya kepada publik dan melibatkan publik secara luas dalam pengambilan keputusan untuk meratifikasi atau tidak meratifikasi Perjanjian RCEP.
“publik wajib dilibatkan dalam melakukan analisis dampak terhadap teks RCEP, sehingga ketersediaan dan transparansi teks RCEP sangat krusial. Termasuk, menjadikan masukan analisis publik sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan wajib dilakukan oleh DPR RI, untuk memastikan bahwa RCEP tidak akan bertentangan dengan Amanat Konstitusi UUD RI 1945. Hal ini sejalan dengan Putusan MK 13/PUU-XVI/2018tentang Perjanjian Internasional”, tegas Rachmi.
Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 telah menegaskan bahwa dalam hal memutuskan sebuah perjanjian internasional memerlukan atau tidak memerlukan persetujuan DPR RI, maka DPR RI harus melakukan penilaian analisis dampak secara komprehensive terhadap sebuah perjanjian internasional. Hal ini bertujuan untuk menilai sebuah perjanjian internasional berpotensi menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang sesuai dengan kriteria dalam pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945. Secara tidak langsung, hasil analisis dampak ini menjadi bahan pertimbangan utama bagi DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak terhadap ratifikasi perjanjian internasional.
Pertimbangan penting lainnya adalah Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 harus menjadi landasan DPR RI dan Pemerintah untuk mengambil keputusan tentang Perjanjian RCEP, khususnya tentang tujuan keikutsertaan dalam perjanjian internasional, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, secara a contrario pemerintah Indonesia wajib menentang (setidak-tidaknya tidak boleh ikut serta) dalam upaya-upaya yang mengatasnamakan ketertiban dunia jika bertentangan dengan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
“Putusan MK No,13/PUU-XVI/2018 tentang UU Perjanjian Internasional sudah sangat jelas menyatakan bahwa perjanjian internasional termasuk perdagangan internasional yang bertentangan dengan nilai-nilai kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bertentangan dengan Konstitusi, untuk itu wajib ditolak. Inilah Amanat Konstitusi yang wajib dilaksanakan oleh DPR RI dan Pemerintah”, tegas Rachmi.
****
Keterangan:
Lebih lengkap kajian implikasi hukum putusan MK dapat diakses disini:
https://igj.or.id/implikasi-hukum-atas-putusan-mahkamah-konsitusi-nomor-13- puu-xvi-2018/
Kontak:
• Rachmi Hertanti, Direktur IGJ, +62 817-4985-180
• Susan Herawati, Sekjend KIARA, +62 821-1172-7050